Ovo Segera Hadirkan Produk Reksa Dana, Tunjuk CEO Bareksa Karaniya Dharmasaputra Jadi Presdir
Untuk integrasi masih tunggu restu dari Bank Indonesia dan OJK
Bareksa dan Ovo mengumumkan kolaborasi bisnis terbaru, memungkinkan hadirnya produk reksa dana di dalam aplikasi Ovo. Inisiasi tersebut diharapkan dapat mendongkrak jumlah investor dengan semakin mempermudah akses pembayaran melalui uang elektronik.
Hanya saja, kedua perusahaan masih menunggu restu dari Bank Indonesia dan OJK selaku regulator di masing-masing industri. BI mengarahkan saldo reksa dana akan terpisah dari saldo Ovo, namun itu belum menjadi keputusan final, lantaran inovasi ini adalah pertama kalinya hadir di Indonesia.
Co-Founder & CEO Bareksa Karaniya Dharmasaputra menerangkan sebelumnya konsep penjualan reksa dana dengan memanfaatkan channel distribusi dari platform e-commerce Bukalapak dan Tokopedia telah terbukti sukses dan bisa dilaksanakan. Dia pun optimis, regulator akan sangat mendukung inisiasi bisnis dari Bareksa dan Ovo.
"Kami sedang minta arahan dari BI dan OJK terkait integrasi bisnis e-investing dan e-money. Ini adalah hal yang baru, namun kita bisa lihat sebelumnya konsep e-commerce dan e-investing berhasil dilakukan dan memberikan hasil yang luar biasa," terangnya di acara Bareksa-Kontan 3rd Fund Awards 2019, kemarin (18/9).
CEO Ovo Jason Thompson menambahkan, kemitraan dengan kedua perusahaan diharapkan dapat mendorong pendalaman pasar. Alhasil, siapapun dan di manapun bisa berinvestasi reksa dana lewat Ovo. Dari data yang ia kutip, ada 99,7% orang Indonesia yang belum memiliki akun SID.
Pihaknya mendesain ambang minimum investasi yang terjangkau, mudah untuk membeli dan menjualnya, dan imbal hasil yang menarik. "Kami ingin menyelesaikan masalah nyata terjadi di Indonesia dengan cara termudah yang bisa langsung diadopsi oleh konsumen," terangnya.
Bakal ada panduan dari OJK
Turut hadir dalam kesempatan yang sama, Kepala Bagian Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Investasi OJK Solihin. Ia mengatakan sebenarnya kolaborasi Bareksa sebagai APERD dengan pemain uang elektronik sudah diakomodasi dalam POJK Nomor 23 Tahun 2016. Di dalamnya menyebutkan pembayaran transaksi bisa memakai sistem pembayaran elektronik.
"Namun, yang ini [Bareksa dan Ovo] agak sedikit berbeda karena ada integrasi saldo e-money-nya dengan dana di reksa dana, sehingga butuh kajian dulu. Kita sudah berdiskusi dengan BI, nanti akan kita keluarkan panduan bagaimana seharusnya penempatan produk reksa dana di dalam aplikasinya karena kita harus tetap memperhatikan aspek kehati-hatian dan pemasarannya harus sesuai," terang Solihin.
Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Ida Nuryanti menambahkan, baik Bareksa maupun Ovo harus memperhatikan bahwasanya bank sentral telah membuat aturan main dari uang elektronik. Artinya, ketika akan digunakan untuk membeli reksa dana, haruslah konsumennya sudah terdaftar dalam sistem.
Lalu, maksimal dana yang dapat disimpan dalam satu akun adalah Rp10 juta dan transaksi dalam sebulan tidak boleh lebih dari Rp20 juta. Rambu-rambulah ini harus diperhatikan.
Bank sentral juga tidak ingin tutup mata, apabila ke depannya masyarakat makin menikmati penggunaan transaksi lewat uang elektronik untuk menaikkan ambang batas (capping) dari sebelumnya.
"Nanti bisa saja kita evaluasi dari maksimal dana di uang elektronik, tentunya masukan dari masyarakat sangat kami harapkan," kata Ida.
Menurut data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), jumlah investor reksa dana melonjak pesat dari sebelumnya stagnan di 350 ribu pada empat tahun lalu. Kini, per 9 Agustus 2019 telah mencapai 1,39 juta. Kenaikan juga didukung oleh meningkatnya dana kelolaan (AUM) naik 98% dari 2015 menjadi Rp538,4 triliun.
Pencapaian dari Bareksa sendiri telah menggaet 1,3 juta investor per Agustus 2019, atau diklaim merepresentasikan 42% investor reksa dana di seluruh Indonesia.
Penggunaan uang elektronik dipercaya akan semakin mendorong jumlah investor reksa dana. Mengacu dari data BI, nilai transaksi pembayaran uang elektronik mencapai Rp47,19 triliun pada tahun lalu. Nilai itu melonjak empat kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp12,37 triliun.
Karaniya Dharmasaputra ditunjuk jadi Presiden Direktur Ovo
Sejalan dengan kemitraan, Karaniya kini resmi ditunjuk sebagai Presiden Direktur Ovo menggantikan posisi Adrian Suherman yang telah menjabat selama 3 tahun. Sejauh ini belum ada kabar tentang pengganti posisinya sebagai CEO di Bareksa, sehingga bisa dibilang ia kini memegang kendali dua perusahaan sekaligus.
"Kepercayaan ini merupakan sebuah amanah untuk terus membangun Ovo, bukan hanya sebagai pelaku industri fintech terpercaya tapi juga sebagai aset nasional strategis yang akan menjadi mitra pemerintah dan pemangku kepentingan lain, dalam mendorong laju inklusi keuangan serta pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui teknologi digital," sambut Karaniya.
More Coverage:
Pengumuman kolaborasi dengan Ovo ini sebenarnya memperkuat indikasi terjadinya akuisisi yang sudah diisukan sejak beberapa waktu lalu, hanya saja kedua belah pihak masih enggan menanggapinya. Techcrunch bahkan sudah mempublikasi akuisisi Bareksa oleh Ovo pada April 2019 senilai $20 juta (sekitar 281 miliar Rupiah).
Dalam presentasinya Jason menjelaskan, Ovo menerapkan konsep open ecosystem sehingga semua pihak bisa bergabung ke dalamnya. Bareksa menjadi salah satu perusahaan yang melengkapi portofolio Ovo, bersama dengan Tokopedia dan Grab.
Rangkaian bisnis Ovo menyangkut tiga pilar, yakni sistem pembayaran, reward, dan fintech. Dalam bisnis fintech, Ovo telah menyediakan layanan merchant lending, asuransi, big data enabled consumer, dan terintegrasi dengan instrumen manajemen dan investasi.
Di ritel offline, Ovo telah dimanfaatkan oleh 122 juta pengguna dan 500 ribu merchant. Saldo Ovo bisa dipakai untuk berbagai kebutuhan, seperti transfer dana ke antar pengguna, bayar tagihan, dan sebagainya.
Bicara capaian bisnis, tanpa menyebut angka detail, Jason memaparkan pertumbuhan MAU tembus 11,5 kali lipat di Juli 2019 dibandingkan Mei 2018 dan annualized transactions naik 27,8 kali lipat. Dalam kurun waktu yang sama, secara nominal, annualized TPV (Total Payment Volume) naik 18,6 kali lipat, dan SVF (Stored Value Facilities) naik 6,9 kali lipat.