Kendati Jumlah Pengguna Menurun, XL Yakin Transformasi 3R Memberikan Dampak Baik Jangka Panjang
Tranformasi 3R ingin bawa bisnis pada revenue per user, memindahkan target bisnis dari satuan volume kepada value
Industri telekomunikasi terus bergejolak. Ketepatan dan kecepatan adaptasi dengan perilaku pengguna mobile yang sedang bertransisi menjadi tantangan yang harus disikapi dengan pas oleh penyedia layanan telekomunikasi (provider). Mengacu pada data yang diterbitkan GSMA Intelligence keadaan tersebut kini telah merubah tatanan ranking provider terbaik nasional. XL Axiata menjadi salah satu yang harus rela peringkatnya merosot ke posisi keempat, setelah sebelumnya terus bertahan menjadi runner up di bawah Telkomsel. Konon XL sudah tidak berfokus lagi pada seberapa banyak subscriber yang ada pada layanannya, melainkan ingin memaksimalkan keuntungan dari setiap pengguna.
Secara mendetil peringkat provider terbaik masih dipimpin oleh Telkomsel dengan pangsa pasar stabil mencapai 45 persen. Improvisasi perluasan jaringan Indosat memberikan dampak cukup baik, 14 juta sambungan memberikan dampak pada perluasan pangsa pasar mencapai 21,6 persen, dan membawanya ke peringkat kedua.
Peringkat ketiga diduduki oleh Hutchison (pengusung produk 3) membawa penguasaan pangsa pasar 14,4 persen. Sedangkan XL dari peringkat kedua tahun lalu merosot ke urutan keempat setelah pangsa pasarnya jatuh dari 20,6 persen ke 14 persen di kuartal kedua tahun ini. Sekurangnya 17 juta sambungan lenyap dalam 12 bulan terakhir. XL sendiri mengatakan bahwa lenyapnya pengguna tersebut memang menjadi bagian dari upaya "bersih-bersih" untuk mendapatkan statistik persebaran layanan aktif yang lebih aktual.
XL ingin memfokuskan bisnis untuk memaksimalkan revenue per user
XL Axiata sebelumnya juga baru saja melakukan pergeseran proses bisnis yang berfokus pada penciptaan nilai jangka panjang (dikenal dengan transformasi 3R). Strategi untuk mengkonversi dari capaian berbasis volume ke value, yang dikatakan akan memberikan dampak negatif pada basis pelanggan dalam jangka pendek. Perpindahan dari target volume ke value tersebut merupakan usaha XL untuk menfokuskan bisnis pada revenue per user. Hal ini berimplikasi pada tatanan persebaran pengguna yang pastinya akan terus menurun, terutama dari sisi persebaran nomor.
XL mencoba menghadirkan kualitas ketimbang kuantitas dalam roda produksinya. Di mana-mana kualitas mencerminkan suatu hal itu baik atau kurang baik. Dengan memfokuskan pada perhitungan jumlah pengguna/nomor aktif, XL mungkin akan mengalami banyak sekali penurunan persebaran dan jumlah pengguna, akan tetapi fakta riil di lapangan ini justru menjadi sebuah amunisi terbaik XL untuk mengetahui seberapa luas bisnis dan jaringannya berkembang.
Namun faktanya Dian Siswarini dan tim masih harus berjuang lebih gigih. Tergerusnya layanan seluler dari OTT sepertinya sudah tak begitu menjadi "perang bisnis" utama. Momentum 4G dan persebarannya kini yang sedang giat untuk dioptimalkan dari sisi bisnis provider, selain memaksimalkan layanan berbasis konten (termasuk advertising). Bisnis tetap dinilai dari pencapaiannya secara finansial, dan data menyebutkan XL masih "jeblok" untuk semester pertama di tahun fiskal ini.
Dari laporan keuangan yang diterbitkan rugi bersih XL semester pertama 2015 ialah senilai Rp 851 miliar, yang artinya hampir dua kali lipat dari masa yang sama di tahun lalu. Hal tersebut diklaim karena faktor melemahnya nilai tukar rupiah. Pendapatan pun juga turun 4 persen year-on-year dampak dari penurunan basis pelanggan 27,6 persen. Menarik pula melihat rivalnya yang sekarang menduduki raking XL tahun lalu, Indosat berhasil menumbuhkan pendapatan hingga 8,7 persen dengan basis pelanggan yang bertumbuh 25 persen.