Kisruh Pajak E-Commerce, idEA Minta Penangguhan
idEA sudah mengirim surat audiensi untuk penangguhan pemberlakuan aturan baru
Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PML.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Pemerintah menyebut peraturan ini hanya mempertegas tata laksananya saja.
Dalam pasal 2 PMK ini, menjelaskan sistem perpajakan di platform e-commerce meliputi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Pajak Penghasilan (PPn).
"Ini bukan hal baru, tapi yang kami atur adalah tata laksananya," jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani dikutip dari CNN Indonesia.
Tata caranya juga terbilang serupa dengan badan usaha lain, yakni wajib memiliki NPWP, mau memungut PPN dan PPh terkait penjualan barang, dan penyediaan layanan platform marketplace, dan wajib melakukan rekapitulasi transaksi setiap periodenya.
Sri Mulyani juga menyatakan bahwa skema pajak yang diterapkan di platform e-commerce ini bertujuan untuk menjaga iklim investasi makanya disusun dengan sangat hati-hati. Meskipun demikian, dia mengaku masalah perpajakan ini memang sesuatu yang masih sensitif.
"Saya selaku Menteri Keuangan juga harus menjaga iklim investasi. Masalah perpajakan itu bukanlah hal mudah."
Tak hanya mengatur platform e-commerce, beleid ini juga menyentuh pelaku usaha yang melaksanakan kegiatan perdagangan barang dan jasa melalui online ritel, classified ads, daily deals, dan media sosial. Keseluruhannya wajib mematuhi ketentuan terkait PPN, PPnBM, dan PPh sesuai aturan yang berlaku.
idEA minta penangguhan
Pasca aturan ini terbit, Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) langsung meminta kepada pemerintah untuk segera menangguhkan pelaksanaannya yang sudah ditetapkan pada 1 April 2019 mendatang. Keputusan yang diambil asosiasi tentunya secara tidak langsung demi kepentingan anggotanya dan pihak terkait.
Dalam konferensi pers yang diadakan idEA pada hari ini (14/1), Ketua Umum idEA Ignatius Untung mengkhawatirkan terjadinya perpindahan para pengusaha mikro yang sudah memanfaatkan platform e-commerce ke media sosial.
Pasalnya menurut hasil studi internal idEA, 95% pelaku UKM masih berjualan di platform media sosial dan hanya 19% yang sudah menggunakan marketplace.
"Seharusnya yang dikejar adalah yang 95% [yang berjualan di media sosial," katanya.
Seperti yang disebutkan, aturan baru memang sudah menyentuh perpajakan di media sosial dan platform sejenis. Akan tetapi, masih sulit untuk pemerintah pungut pajaknya karena belum ada kajian konkret mengenai tata cara memajaki penjual yang memanfaatkan media sosial untuk berjualan. Apalagi, baik individu maupun pelaku usaha belum banyak yang sudah memiliki NPWP.
Hal lain yang menjadi perhatian adalah infrastruktur penyedia marketplace untuk memungut pajak atau memverifikasi NPWP. Hingga kini belum ada integrasi dengan sistem Ditjen Pajak atau Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil).
"Kesiapan infrastruktur itu enggak akan kekejar sampai 1 April karena ini butuh koneksi dengan antar bagian pemerintah. Kalau NPWP-nya palsu bagaimana? kan verifikasinya repot."
Dengan berbagai alasan inilah yang memutuskan untuk meminta penundaan implementasi PMK 210 hingga ada kajian lebih lanjut. Adapun saat ini idEA tengah melakukan kajian mengenai dampak pungutan pajak terhadap penjual, marketplace dan ekonomi negara. Karena studi ini bakal melibatkan lintas institusi, dia memprediksi hitungan kasar yang dibutuhkan sekitar satu tahun.
"Studinya enggak mungkin selesai dalam tiga bulan. Kami meminta untuk ditangguhkan penerapan pada 1 April ini sampai studi selesai. Dugaan kami harusnya tidak [selesai] di 2019 paling cepat di 2020, dengan catatan semua prosesnya lancar."
"Kami sudah kirim surat untuk audiensi dengan Kemenkeu," tutup Untung.
Penangguhan kurang beralasan
Pengamat Informasi Teknologi (IT) dan Siber dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Kun Arief Cahyantoro mengatakan pendapat idEA kurang beralasan. Menurutnya, di Pasal 3 Ayat 9 dan 10 telah menjelaskan bagaimana aturan terkait pedagang mikro tersebut (pada PMK-10 disebut sebagai pedagang kecil) bahwa pedagang mikro yang belum melewati batasan pengusaha kecil "dapat tidak dikukuhkan" sebagai PKP.
"Sehingga poin penting dalam PMK ini terkait pajak pedagang mikro bahwa pedagang mikro akan "sangat diuntungkan" karena mereka tidak akan dibebani pajak sama sekali," terangnya kepada DailySocial.
Di sisi lain, sambungnya, sesuai PMK-10 Pasal 6, seluruh pedagang dan penyedia jasa "wajib memiliki NPWP" menjadi poinpenting yang menguntungkan pedagang mikro. Karena dengan aturan ini para pedagang akan dijamin usahanya terutama menghadapi persaingan usaha dengan pedagang-pedagang yang berasal dari luar negeri.
Lagipula, tujuan utama dari setiap pedagang punya NPWP adalah jaminan keamanan ekonomi bukan hanya lokal bahkan nasional. Ketiadaan data pedagang yang terdaftar, menjadi potensi pencucian uang seperti kejadian beberapa tahun lalu yang terjadi pada bisnis pulsa elektronik seluler. Di mana uang dicuci melalui pelapak-pelapak kecil dari penjual pulsa.
"Masalah shifting ke platform media sosial, PMK-10 pasal 3 ayat 1 (b) menjelaskan bahwa media sosial adalah salah satu platform yang juga menjadi pengawasan pajak," tandasnya.