Dorong Industri Lebih Kondusif, Tiga Asosiasi Fintech Teken Kode Etik Bersama
Sebagai payung hukum sementara, sembari menunggu UU perlindungan data pribadi disahkan
Tiga asosiasi fintech yakni Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), dan Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI), menandatangani kode etik bersama atau joint code of conduct untuk perkuat aspek perlindungan konsumen dan iklim industri p2p lending yang jauh lebih sehat.
Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi menjelaskan, masing-masing asosiasi sebenarnya sudah memiliki kode etik, namun dengan penyatuan ini diharapkan bisa saling menguatkan satu sama lain. Sebab semangat akhir yang ingin dituju adalah pelayanan masyarakat yang lebih baik, untuk proteksi data mereka dan perlindungan konsumen itu sendiri.
"Ada yang kami bagian yang kami tambahkan agar kode etik ini saling melengkapi satu sama lain dan bisa diimplementasi oleh tiga asosiasi fintech," katanya, Selasa (24/9).
Ketua Umum AFSI Ronald Yusuf Wijaya menambahkan, "Asosiasi sepakat bahwa kita harus payungi inovasi yang bergerak sangat cepat sekali ini dengan norma-norma dan etika dalam berbisnis fintech."
Lewat kode etik bersama ini, ada sejumlah penyempurnaan, misalnya terkait privasi data dan perlindungan konsumen. Keseluruhan poin yang terangkum dalam kode etik ini berisi semua prinsip, proses, dan panduan yang mengikat semua anggota fintech dan penyelenggara pendukungnya.
Bila terbukti ada melanggar, ada hukuman yang siap diberikan. Terparah adalah dikeluarkan dari keanggotaan asosiasi.
Payung sementara sebelum regulasi resmi terbit
Kehadiran kode etik ini sebenarnya sangat dibutuhkan oleh industri untuk menekan praktik ilegal, mengingat UU perlindungan data pribadi yang belum disahkan oleh pemerintah. Itu di luar kuasa OJK maupun asosiasi.
Maka, tindakan preventif yang perlu dilakukan adalah membuat kode etik. Dari sisi OJK, hanya mensyaratkan para pemain fintech lending yang terdaftar boleh akses kamera, lokasi, dan mikrofon dari perangkat konsumen. Di luar ketiga itu, akan ada tindak tegas oleh regulator.
Pada intinya, kode etik ini punya empat prinsip dasar yang meliputi: perlindungan konsumen termasuk transparansi produk dan harga, penawaran layanan atau metode produk yang bertanggung jawab, penyebaran informasi terkait risiko, penanganan keluhan dan standar sistem manajemen, dan lain-lain; mitigasi dan manajemen risiko; tata kelola perusahaan yang baik; anti pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menjelaskan, keberadaan UU perlindungan data pribadi tidak hanya dibutuhkan oleh fintech saja, tapi juga seluruh perusahaan teknologi.
More Coverage:
Pasalnya, ada era teknologi 4.0 ini seluruh transaksi sudah dilakukan tanpa tatap muka. Alhasil data pribadi akan terekam dan ini yang dikhawatirkan bisa terjadi kebocoran. Lantaran belum ada payung hukum yang jelas, bisa mengakibatkan tidak ada hukuman buat pelaku yang setimpal.
"UU PDP saat ini belum gol. Jadi jangan heran kebocoran airline [Lion Group] terjadi karena ini sulit ditangani. Kami khawatir ke depannya [hal-hal sejenis] bisa ada lagi di kemudian hari, jadinya kontradiktif dan tidak ada pertanggungjawaban dari pelakunya," pungkas dia.