Manuver Blue Bird Hadapi Pandemi Lewat Akselerasi Digital
Segudang rencana Blue Bird mewujudkan strategi multiplatform, multiproduct, dan multipayment
Ketika Gojek dan platform on-demand lainnya beroperasi secara komersial, sejumlah penyedia jasa transportasi konvensional sempat berteriak. Gojek dinilai telah mendisrupsi bisnis transportasi yang sudah ada. Kehadiran layanan seperti ini bahkan sempat memunculkan perseteruan antara penyedia transportasi konvensional vs on-demand.
Selang beberapa tahun kemudian, situasinya berkebalikan. Penyedia jasa transportasi konvensional maupun on-demand kini saling merangkul untuk me-leverage peluang baru lewat teknologi.
Konteks di atas turut terjadi pada operator taksi terbesar di Indonesia, Blue Bird, yang pada akhirnya berkolaborasi dengan Gojek di 2016. Korporasi semakin melihat esensi digitalisasi terhadap keberlangsungan bisnis.
Lalu bagaimana manuver Blue Bird menghadapi perkembangan digital, terutama di masa pandemi? Simak selengkapnya lewat wawancara DailySocial dengan Chief Strategy Officer Blue Bird Paul Soegianto.
Transformasi digital Blue Bird
Bicara transformasi digital, Blue Bird dinilai perlu mengambil langkah baru dengan posisinya sebagai operator taksi terbesar di Indonesia. Apalagi, teknologi telah mengubah bagaimana pasar berperilaku.
Sejak 2015 hingga 2019, Blue Bird mencatatkan penurunan pada kinerja keuangannya. Puncak penurunan ini mulai terlihat pada pendapatan Blue Bird di periode 2015-2017, di mana saat itu popularitas layanan transportasi on-demand tengah meroket di sejumlah kota besar Indonesia.
Yang tidak banyak diketahui, Blue Bird sebetulnya sudah lebih dulu mengembangkan aplikasi pemesanan taksi My Blue Bird sekitar 2011/2012. Dapat dikatakan aplikasi ini sudah jauh lebih dulu meluncur sebelum Gojek.
Menurut Andeka Putra, mantan Chief Information Officer Blue Bird di wawancara terdahulu, My Blue Bird kurang dipromosikan dengan baik sehingga popularitasnya belum dapat mengejar transportasi on-demand.
Kini, Paul Soegianto mengomandoi transformasi digital yang gencar dilakukan sejak tahun lalu oleh divisi Strategic Transformation Office (STO) untuk mengelola strategi, portofolio, dan transformasi digital perusahaan. Sebelumnya, transformasi digital dieksekusi divisi Business Transformation Office (BTO).
Paul mengungkap ada sejumlah inisiatif baru untuk mengakselerasi bisnisnya. Sebagai perusahaan berbasis aset, ia menilai Blue Bird perlu melakukan diferensiasi dengan kompetitor. Per akhir 2019, Blue Bird memiliki 20.633 unit armada taksi reguler, 883 unit taksi eksekutif, 6.231 unit limosin dan mobil sewaan, dan 601 unit bus.
Fokus utamanya adalah menjadi Mobility-as-a-Service (MaaS) di mana perusahaan menggunakan tiga pendekatan utama, yakni menjadi penyedia multiplatform/channel, multiproduct/service, dan multipayment. Tujuannya tak lain untuk menciptakan ekosistem layanan terintegrasi dan memperkuat posisinya di industri transportasi di era digital.
Pendekatan pertama, multichannel, adalah memperluas akses layanan transportasi Blue Bird di lebih dari satu channel. Sebelumnya, layanan ini sudah tersedia di Gojek dan Traveloka. "Kami akan perbanyak channel ini, akan ada akhir September ini," ungkapnya di sesi virtual meet dengan DailySocial.
Saat ini My Blue Bird menjadi platform utama perusahaan dalam pemesanan taksi. Menurut Paul, aplikasi tersebut akan hadir dengan sejumlah pembaruan pada Desember mendatang.
Blue Bird juga melakukan diferensiasi layanan di luar jasa transportasi, yakni sewa mobil dan bus, serta logistik. Paul juga menargetkan layanan tersebut juga dapat dipesan melalui multiplatform.
"Terkait mobility partnership, kami juga akan umumkan kolaborasi dengan salah satu perusahaan besar di Indonesia untuk layanan multimoda. Ini berkaitan ke multiproduct/service tadi," ungkap Paul.
Terakhir adalah multipayment. Opsi pembayaran beragam dinilai menjadi salah satu kunci utama di era inklusivitas layanan. Apalagi masuknya Gojek sebagai pemegang saham minoritas Blue Bird akan memungkinkan integrasi GoPay ke layanan My Blue Bird.
"Semua layanan Blue Bird menerima jenis pembayaran nontunai, termasuk platform digital. Bahkan sejak empat bulan terakhir, kami sudah roll out Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) ke 12.000 armada Blue Bird dan sudah selesai," tambahnya.
Tak kalah penting, lanjut Paul, perusahaan juga berupaya mendigitalisasi semua armada taksi selama sebulan terakhir. Paul mengungkap bahwa kini setiap armada dilengkapi front panel yang dapat mengukur sensor di dalam taksi, melakukan tracking akurat dengan GPS, dan safety management.
"Kami mendukung ujung tombak (pengemudi) dengan teknologi, seperti IoT dan AI. Sekarang kami lagi moving semuanya ke cloud based. Sistem dan jaringan juga kami revamp supaya baru semua di akhir tahun ini. Ini semua untuk meyakinkan konsumen bahwa kami dapat memenuhi good factor layanan kami," paparnya.
Masuk ke layanan logistik
Pandemi Covid-19 sangat memukul sektor transportasi di dunia. Dampaknya turut dirasakan Blue Bird akibat kebijakan pembatasan sosial yang mengharuskan kegiatan kerja dan sekolah di rumah.
Berdasarkan kinerja di kuartal II 2020, Blue Bird mengalami penurunan signifikan pada total pendapatan dan laba. Pandemi membuat kontribusi pendapatan dari jasa taksi Blue Bird turun 43 persen menjadi Rp865 miliar dibandingkan periode sama tahun lalu Rp1,5 triliun.
Blue Bird melakukan manuver dengan masuk ke layanan logistik sejak Maret lalu. Perusahaan memperkenalkan program COD (Chat-Order-Delivery) Blue Bird yang dapat dipesan melalui WhatsApp. Layanan ini tersedia untuk kawasan Jabodetabek, Bandung, Semarang, Surabaya, Bali, Medan, Padang, Pekanbaru, Batam, dan Palembang.
Program COD ini kemudian dikembangkan menjadi sebuah layanan baru, BirdKirim. Pelanggan dapat mengantar barang atau dokumen yang tarifnya disesuaikan dengan jarak kirim. Layanan yang tersedia di aplikasi My Bluebird ini diperkenalkan pada Juni lalu.
"Sekarang kami tinggal tunggu [pengembangan] untuk layanan logistik grosir, jadi dapat dipesan via aplikasi juga. Bagi kami, layanan logistik untuk korporasi sangat menarik. Sudah banyak perusahaan besar yang memindahkan layanan logistiknya ke kami. Ada [platform] e-commerce B2B yang pengiriman logistiknya sudah pakai jasa Blue Bird, hanya saja belum bisa kami umumkan," jelasnya.
Selain itu, Paul mengungkap bahwa pihaknya berencana mengumumkan kolaborasi dengan salah satu startup logistik yang sudah berjalan sejak Maret lalu. Lewat upaya kolaborasi ini, perusahaan memproyeksikan pertumbuhan bagus dari layanan logistik.
Menentukan "Make-or-buy decision"
Bicara tentang pengembangan inovasi, baik sendiri maupun kolaborasi ini, tentu dibutuhkan komitmen solid dari top level. Dalam prosesnya, Paul menegaskan pentingnya menerapkan strategi "make-or-buy decision".
Menurutnya, model ini belum diterapkan dengan baik oleh banyak perusahaan di Indonesia. Di Blue Bird sendiri, Paul mengaku terus mengamati kapabilitas perusahaan untuk memahami perlunya pengembangan sendiri, pengelolaan sendiri, atau berkolaborasi dengan pihak ketiga.
Sebetulnya model ini sudah tak asing bagi korporasi. Umumnya, strategi membeli lewat akuisisi sering dipilih karena lebih efisien secara waktu dan sumber daya. Dan konsep ini dinilai lebih cepat untuk men-deliver layanan di pasar. Namun, mengembangkan sendiri juga tidak ada salahnya selama ada modal dan sumber daya yang cukup dan mumpuni.
Di konteks ini, saham minoritas Blue Bird bahkan telah diakuisisi Gojek senilai $30 juta atau sekitar Rp411 miliar) pada Februari 2020.
Sampai saat ini belum diketahui rencana besar apa di balik pembelian saham Blue Bird oleh Gojek. Yang pasti, Blue Bird saat ini tengah menyiapkan sinergi menguntungkan bagi kedua belah pihak. Paul sendiri menolak berkomentar terkait rencana selanjutnya dari akuisisi tersebut.
"Beberapa hal yang bukan kompetensi Blue Bird pasti akan kami beli. Artinya, skema beli ini untuk long term partnership. Sebentar lagi, Blue Bird akan ada tanda tangan kontrak besar terkait hal ini," ujarnya.