Memvisualisasikan Metaverse di Masa Depan
Sesi diskusi webinar NXC International Summit 2022 bersama Stephen Ng selaku Chief Metaverse Officer WIR Group dan CEO Metaverse Indonesia
Bertemakan “Decentralizing The Future of Internet” teknologi web3 menjadi topik utama di gelaran acara Nexticorn International Summit (NXC) pada tahun ini. WIR Group, perusahaan yang fokus mengembangkan teknologi web3, memaparkan beberapa informasi menarik dari A sampai Z yang patut disimak.
Sebagai informasi, NXC akan kembali diselenggarakan di Bali pada tanggal 31 Agustus s/d 2 September 2022 mendatang. Kegiatan kali ini akan lebih fokus memberikan sosialisasi dan edukasi terkait web3 yang digadang-gadang menjadi masa depan industri teknologi internet.
Dalam rangkaian webinar menyambut NXC yang dihadirkan kali ini mengangkat tema “Metaverse: A Vision to the Future”, menghadirkan Stephen Ng selaku Chief Metaverse Officer WIR Group sekaligus CEO Metaverse Indonesia. Ia membahas seperti apa visual dunia nyata dengan metaverse ketika keduanya menjadi the new normal di masa depan.
Game "Second Life" jadi kenyataan
Stephen mengambil pendekatan dari game agar lebih mudah memvisualisasikan seperti apa bentuk metaverse. Second Life adalah game yang paling sering dikorelasikan dengan metaverse. Permainan digital yang dirilis pada 2003 oleh Linden Lab ini pada dasarnya adalah contoh metaverse dengan otoritas terpusat.
Meski game ini tidak dimaksudkan untuk mengubah kehidupan nyata, namun permainan ini menunjukkan banyak konsep yang ada dalam ide Meta untuk metaverse, antara lain membangun komunitas abadi yang terdiri dari jutaan orang yang hidup bersama di ruang virtual.
Second Life dilaporkan memiliki jutaan pengguna aktif di dunia virtual buatan sendiri lengkap dengan penjualan properti, pasar barang virtual, dan ekonomi yang berfungsi yang dilaporkan sendiri bernilai sekitar $500 juta dalam PDB sekitar 2007, menurut Time.
Beberapa pengguna Second Life mencoba mencari nafkah, yang lain mengekspresikan alter-ego, dalam beberapa kasus mereka mengadakan pernikahan virtual, membangun rumah impian, dan mengikuti gelar dengan menjalani kehidupan kedua.
“Second Life itu fulfills many roles dari posisi metaverse pada saat ini, tapi pada tahun tersebut belum ada web3. Dalam game tersebut ada perekonomian virtual yang belum bisa dibuktikan dengan menggunakan teknologi pada saat itu, tapi sudah ada virtual economy, virtual currency, dan sebagainya,” kata Stephen.
Pada dasarnya, game adalah pintu terbaik dalam memperkenalkan teknologi baru kepada masyarakat karena minim barrier. Korelasi inilah yang akhirnya membuat lahirnya konsep play-to-earn (P2E), yang memungkinkan platform memberi kesempatan kepada pemain untuk memperoleh segala bentuk aset dan item dalam game yang dapat ditransfer ke dunia nyata menjadi uang maupun alat tukar bernilai lainnya. Dalam dunia NFT, game P2E dikenal dengan istilah GameFi, gabungan antara gaming dan decentralized finance (DeFi).
“Istilah play and earn ini lambat laun akan mengubah behaviour orang di metaverse, sebab metaverse itu memungkinkan kita bisa mengekspresikan diri dengan cara baru yang menyenangkan, dalam bentuk avatars.”
Stephen menjelaskan, seperti kebanyakan teknologi baru lainnya yang diperkenalkan, generasi muda pada hal ini akan kembali menjadi early adopter karena keterikatan mereka yang erat dengan teknologi. “The rest will follow,” sambungnya.
Kondisi tersebut selaras dengan semakin banyaknya brand yang mulai memikirkan cara baru dalam mengakuisisi generasi muda tersebut sebagai pengguna mereka. Metaverse dapat menjadi channel baru. Pasalnya, metaverse menawarkan pengalaman yang lebih immersive kepada audiens. Di satu sisi, pengguna akan tetap terlindungi karya-karyanya berkat blockchain, memungkinkan mereka bisa tetap mendapat royalti di luar pendapatan dari iklan.
“Tiktok awalnya booming saat awal pandemi, orang-orang tiba-tiba jadi kreator. Bayangkan dengan metaverse, mereka tetap bisa jadi kreator tapi bisa kasih experience yang immersive kepada audiensnya. Metaverse Indonesia itu diciptakan untuk jadi platform untuk para kreator ini, makanya kami yakin metaverse itu akan di-driven oleh para kreator.”
Pemanfaatan luas
Bagi brand, masuk ke metaverse bukan semata-mata jadi kanal pemasaran baru. Tapi harus diperhatikan apa teknologi yang relevan bagi mereka, sebab relevansi itu adalah kunci karena bisa menciptakan keuntungan buat bisnis. Stephen menyampaikan, ada tiga hal yang harus dipertimbangkan bagi brand sebelum masuk ke metaverse.
Yakni, engagement-nya mau seperti apa, aktivitasnya mau seperti apa, dan seperti apa positioning-nya sebab mereka akan berkompetisi dengan brand lain. “Silakan mulai bersiap-siap [brand] karena dari sekarang kreativitasnya harus didesain ulang karena harus immersive. Juga dalam metaverse harus pikirkan cara monetisasi yang termudah untuk para user.”
Berkat potensi yang ditawarkan dari metaverse dan digabungkan dengan jumlah generasi muda di Indonesia, menimbulkan mulai dibutuhkannya talenta-talenta baru. Stephen bilang, mata pencarian yang bakal dibutuhkan di metaverse misalnya adalah urban planning (perencanaan kota) karena diperlukan pemetaan lingkungan yang mirip dengan realita.
Pemanfaatan metaverse tidak hanya untuk bermain game saja, tapi juga untuk fungsi edukasi. Salah satu contoh yang sedang dilakukan di global adalah membawa situs sejarah Machu Piccu ke dalam metaverse, sehingga semua orang di dunia dapat merasakan bagaimana sejarah Machu Piccu di mana pun mereka berada tanpa harus mendatangi lokasi.
“Bahkan kita juga bisa buat bagaimana sejarah Indonesia terjadi, bagaimana Presiden Soekarno membacakan teks naskah proklamasi dan melihat suku-suku di Indonesia. Metaverse itu membuka banyak kesempatan buat edukasi, juga diversity tanpa merusak hutannya. Belajar sejarah jadi lebih seru.”
Di samping gemerlapnya potensi yang bakal ditawarkan metaverse, Stephen juga menekankan bagaimana edukasi terhadap dampak negatifnya. Salah satunya adalah dampak disonansi antara kehidupan nyata dengan metaverse yang berdampak pada kesehatan mental.
“Kuncinya ada pada diri kita sendiri bagaimana memosisikan kita terhadap teknologi, bagaimana kita membuat privasi karena kehidupan sudah tercampur antara metaverse dengan reality. Itu yang semestinya mulai diajarkan di level-level sekolah,” pungkasnya.