Mengapa Perusahaan Telekomunikasi Lokal Gandeng Startup Asing?
Kemarin kami mengabarkan bahwa Telkom membawa startup Malaysia 8Share masuk ke pasar Indonesia. Ini bukan pertama kalinya perusahaan telekomunikasi lokal melakukan hal serupa karena sebelumnya Telkomsel sebagai anak perusahaannya telah membawa Pixable sebagai bagian kerja samanya dengan SingTel. Tidak cuma itu, Telkom menggandeng eBay untuk joint venture e-commerce penerus Plasa-nya, sementara XL Axiata menggandeng SK Planet Korea Selatan untuk alasan yang sama. Hal yang tanda tanya adalah mengapa perusahaan telekomunikasi kita tidak menggandeng startup anak negeri?
Tidak terlibat langsung dengan pihak internal perusahaan telekomunikasi membuat kami bertanya-tanya hal yang sama. Mengapa hal seperti bisa berkembang menjadi suatu tren? Pertimbangan seperti apa yang mendasari keputusan ini? Apakah tidak ada startup teknologi dari negeri sendiri yang layak untuk dipromosikan oleh perusahaan telekomunikasi kita? Berdasarkan analisis pihak ketiga, sejumlah poin yang menjadi petimbangan adalah sebagai berikut:
1. Tidak ada startup lokal yang memiliki model bisnis unik dengan potensi masa depan bagus dan skema pendapatan yang stabil, baik untuk pasar lokal maupun pasar regional, setidaknya dalam jangka waktu 1-3 tahun ke depan
Perusahaan telekomunikasi dengan layanan tambahannya (Value Added Services) tentu saja berusaha mencari variasi pendapatan untuk menunjang pendapatan utamanya di bisnis seluler. Kebanyakan dari mereka berharap kerja sama yang dihasilkan memberikan potensi pendapatan dari hari pertama. Startup sebagai perusahaan yang masih mencari jatidiri dan model bisnis bisa dibilang belum semuanya mampu memenuhi kriteria tersebut. Jika pun ada, perolehan pendapatannya masih belum memenuhi harapan perusahaan telekomunikasi sebagai partnernya
2. Perusahaan telekomunikasi tidak mengetahui adanya startup lokal yang memenuhi kriteria (1) karena lemahnya sisi pemasaran dan komunikasi antara kedua bisnis yang terkait
Poin (2) ini cukup "tragis" karena bisa jadi ada sejumlah startup yang memenuhi persyaratan di poin (1) tapi tidak terdeteksi radar karena tidak memiliki publikasi dan skema pemasaran yang jitu untuk menjangkau calon partnernya, yaitu perusahaan telekomunikasi. Poin (2) menunjukkan bahwa memiliki model bisnis yang ok dan eksekusi yang bagus belum tentu cukup untuk mengembangkan perusahaan jikalau unsur-unsur pendukungnya (pemasaran dan publikasi misalnya) tidak ditingkatkan ke level yang seharusnya
3. Startup asing yang dibawa ke Indonesia simply memiliki kualitas yang teruji di pasarnya sendiri, membuatnya layak untuk diuji coba di pasar benchmark terbesar di kawasan Asia Tenggara
Startup yang berhasil biasanya mampu bertahan dari berbagai ujian setidaknya dalam 3-5 tahun pertama. Dengan tingkat kematangan yang relatif baru, tak heran tidak banyak startup di negeri ini yang sudah mencapai kondisi tersebut. Sejumlah startup asing, bahkan dari negara tetangga sekalipun dengan didukung oleh regulasi dan investor yang tepat, mampu mencapai kondisi yang jauh lebih baik dan sudah siap untuk memperluas konsumennya ke pasar terbesar di kawasan regional
4. Memang perusahaan telekomunikasi lebih mementingkan nama besar produk impor
Poin (4) membidik ke hal non teknis. Jika ternyata ada startup yang memenuhi poin (1) dan tidak terjebak permasalahan di poin (2), bisa jadi memang perusahaan telekomunikasi lokal masih enggan untuk bekerja sama dengan startup negeri sendiri. Nama mentereng startup asing, meskipun belum tentu berkualitas terbaik, sudah dianggap nilai plus yang menjual. Dengan mental konsumen Indonesia yang kebanyakan masih lebih percaya dan menyenangi brand impor, cukup logis jika akhirnya perusahaan telekomunikasi menggandeng startup asing dengan harapan konsumen kita akan benar-benar menggunakannya karena tren dan hype.
Tentu saja empat poin di atas baru mencapai tahap dugaan. Bisa jadi masalah yang dihadapi antara perusahaan telekomunikasi dan startup lokal lebih kompleks dan lebih pelik ketimbang yang kita bayangkan, bahkan berhubungan dengan regulasi, yang menjadikan keputusan menggandeng startup asing menjadi pilihan yang lebih masuk akal. Apakah pembaca kami memiliki pandangan lain tentang fenomena ini?
[Ilustrasi foto: Shutterstock]