1. Lifestyle

Menjajal Beyond: Two Souls di IGN Public Trial Jakarta

Game garapan Quantic Dream terakhir yang saya nikmati adalah Fahrenheit (atau dikenal dengan Indigo Prophecy di Amerika Serikat). Dirilis tahun 2005, saat itu saya memainkannya di Xbox. Saya sendiri belum berkesempatan menjajal Heavy Rain karena tidak pernah memiliki PlayStation 3. Dan di akhir hayat hidupnya, Sony - selaku publisher - kembali memutuskan untuk merilis Beyond: Two Souls secara eksklusif di current-gen console ini.

Saya tersenyum lebar saat IGN mengumumkan bahwa mereka akan berkunjung ke Jakarta dalam event Beyond: Two Souls Public Trial. Senyuman ini berubah menjadi cengiran saat Kenn Leandre - sang Editor IGN - menjawab langsung komentar saya di situs IGN. Namun semua itu berubah menjadi teriakan girang saat saya mendapatkan email yang menyatakan 'Anda adalah salah seorang pembaca beruntung untuk menghadiri Beyond: Two Souls Public Trial Jakarta...'

Pada nyatanya, jumlah para 'pembaca beruntung' ini tidak sedikit. Saya datang setengah jam sebelum acara dimulai, namun antrian sudah terlihat cukup panjang. Banyak sekali para pembaca IGN yang juga ingin mencoba Beyond: Two Souls, sangat lucu mengingat IGN sendiri memberikan review yang kurang hangat seolah-olah seirama dengan opini mayoritas para kritik.

Setelah beberapa menit mengantri, akhirnya tiba saat saya untuk mencobanya. Pengunjung sebelumnya memilih sebuah level bernama Hunted. Ketika ia bermain, saya mencoba memperhatikan bagaimana cara Beyond: Two Souls dimainkan. Penjelasan kontrol disajikan secara minimal untuk memaksimalkan cita rasa sinematik di dalam game. Dan itu menjadi masalah mengingat videogame ber-genreinteractive drama buatan Quantic Dream terakhir saya mainkan kurang lebih delapan tahun lalu. Level ini akhirnya selesai dan ia memberikan controller pada saya.

Saya memilih level The Experiment, dimana sang protagonis Jodie Holmes (diperankan Ellen Page) berada di masa kanak-kanaknya. Dalam level pengenalan ini pemain diajarkan sistem kendali dasar dan cara bagaimana Jodie mengendalikan kekuatan supranaturalnya. Saya tidak akan merusak kejutan cerita untuk Anda, jadi saya sama sekali tidak membahasnya. Namun dari segi narasi, Beyond: Two Souls disajikan sangat anggun. Anda pasti mengerti bagaimana kualitas sinematografi sineas kelas Hollywood, seperti itulah Beyond dibuat. Perbedaan terbesar adalah jika film disajikan satu setengah hingga tiga jam, game ini menuntut Anda untuk selalu fokus beberapa jam lebih lama.

Dan hal tersebut menjadi sebuah masalah. Pemain terkadang tidak tahu apakah mereka sedang melihat potongan film ataukah mereka sudah 'diperbolehkan' bermain. Tidak jarang gamer yang melewati pilihan-pilihan penting karena mereka pikir cutscene masih berjalan. Perspektif dan sudut kamera yang diubah-ubah juga tidak membantu meringankan problema ini. Beyond mengajak kita untuk melangkah maju, namun ia sendiri terperangkap di masa lalu ketika konsep videogame yang bagus adalah game yang 'menyerupai' film. Saat sesi uji coba saya berakhir, saya mengambil kesimpulan bahwa Beyond: Two Souls adalah permainan yang tidak membiarkan pemainnya benar-benar bermain. Akan lebih baik jika seseorang memainkannya dari awal, kemudian mengunggahnya di YouTube sehingga kita semua bisa menontonnya (hal itulah yang saya lakukan sehari sebelum acara ini dimulai).

Terlepas dari kritik tersebut, Beyond adalah salah satu permainan dengan visual tercantik yang pernah dibuat. Mungkin dengan tema sinematik yang Quantic Dream coba raih, mereka tidak tanggung-tanggung membuatnya. Apalagi mengingat game ini berjalan di sebuah platform berumur tujuh tahun.

Di akhir acara Public Trial ini saya berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan Kenn. Ia cukup terkejut dengan antusiasme gamer Indonesia dalam acara seperti ini. Bahkan menurut Kenn, jumlah pengunjung melebihi batas target sebelumnya, walaupun sudah melakukan pendataan (sepertinya tidak sedikit orang yang tak terpilih juga memutuskan untuk datang). Mungkin kita sendiri sering meremehkan potensi antusiasme gamer dalam negeri, atau mungkin IGN seharusnya membuat showcase yang lebih besar; bukan hanya sekedar jumpa temu.

Satu hal yang saya perhatikan adalah bagaimana para pengunjung lokal 'tertarik' ke acara ini karena terdapat nama IGN, Sony ataupun Beyond: Two Souls di dalamnya. Tetapi hanya sedikit orang yang sadar siapa dalang di belakang acara ini: Kenn Leandre dan para kru IGN Asia. Artikel-artikel dan kerja keras mereka-lah yang membuat IGN sebesar sekarang, dan membuat mereka lebih dekat dengan para pembaca. Tentu saja untuk saat ini, saya acungi jempol baik ke IGN, VGI.com selaku panitia lokal dan juga pengunjung.

Dan siapa tahu di lain kesempatan - dengan melihat potensi yang sangat besar tersembunyi di industri dan konsumen gaming nusantara - IGN berkenan untuk meliput Indonesia Game Show 2014...