“New Economy”, Permata Tersembunyi di Gempita Bisnis Teknologi
Menerawang perkembangan UKM mendominasi bisnis nasional melalui sentuhan digital
Belum lama ini, kami berbincang dengan Fabian Budi Seputro selaku pemilik Sate Ratu di Yogyakarta. Ada yang unik dari bisnis kulinernya, selain sajian sate dengan bumbu spesial, mereka mencatat ratusan kunjungan pelanggan dari luar negeri setiap bulannya. Sekurangnya kedai tersebut sudah dikunjungi wisatawan asing dari 83 negara. Bukan datang begitu saja, empunya merancang strategi khusus untuk memperkenalkan bisnisnya ke tamu internasional.
Konsep pemasaran digital dijalankan secara konsisten oleh Budi, sehingga menguatkan “online presence”. Ia memanfaatkan situs ulasan pariwisata seperti Tripadvisor untuk menginformasikan sajiannya kepada para turis yang berencana mengunjungi Yogyakarta. Juga memanfaatkan layanan iklan berbayar untuk menargetkan suguhan konten promosi yang dibuat kepada calon pelanggan potensial.
Merek sepatu Brodo mungkin tidak asing bagi generasi muda yang gemar mainkan media sosial di tengah gempuran produk sneakers global. Manfaatkan kanal e-commerce dan media sosial, bisnis yang berdiri sejak tahun 2010 tersebut terapkan model bisnis yang berbeda dengan produsen sepatu pada umumnya, yakni menjual langsung ke konsumen (direct-to-consumer), alih-alih melalui ritel distribusi. Dampaknya tentu pada harga jual yang lebih rendah, karena memotong rantai pasok, sehingga bisa fokus pada kualitas produk.
Cerita bisnis lainnya, Mimpi. Sebuah produsen kasur premium dengan bahan-bahan yang memungkinkan untuk dikemas sangat ringkas, bahkan untuk dibawa oleh kurir yang menggunakan sepeda motor. Mantap dengan inovasi pengemasan, mereka luncurkan situs jual-belinya sendiri dan hanya melayani penjualan secara online. Memotong rantai penjualan, pihak Mimpi mengklaim dapat memberikan efisiensi harga hingga 1/3 dari produk dengan kualitas yang sama di toko.
Pemberdayaan alat-alat digital dalam aspek spesifik pada bisnis di atas yang kami sebut sebagai “new economy”. Tidak diaplikasikan dalam seluruh proses bisnis, hanya tertentu saja, namun memiliki dampak signifikan-–bahkan menjadi ujung tombak—dalam mengakselerasi penjualan produk.
Sentuhan teknologi dalam takaran yang tepat
Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, per tahun 2018 ada sekitar 64 juta UMKM yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia. Keberadaannya berhasil menyerap 116,9 juta tenaga kerja, atau setara 97% dari seluruh serapan tenaga kerja nasional. Angka tersebut diproyeksi akan terus meningkat, seiring terbukanya akses dan peluang untuk berbagai usaha baru, termasuk permodalan. Dari total unit yang ada, baru sekitar 8% yang sudah memanfaatkan platform digital untuk mengakselerasi bisnis.
Namun jika ditelusuri, 8% artinya ada sekitar 5,1 juta unit bisnis yang telah memanfaatkan layanan teknologi, dalam artian secara intensif mereka mendapatkan manfaat yang berarti melalui transaksi secara digital – mayoritas memang menggunakan untuk membantu pemasaran produk. Angka tersebut terus diupayakan meningkat, salah satunya melalui rangkai program “go-digital” yang diinisiasi pemerintah menggandeng perusahaan-perusahaan teknologi di Indonesia.
Jargon “transformasi digital” memang kadang terlihat klise, namun nyatanya teknologi tepat guna dapat menghadirkan keuntungan berlipat untuk pebisnis. Sayangnya menurut riset McKinsey, sejauh 70% dari bisnis yang melakukan transformasi mengalami kegagalan. Ada banyak cerita kegagalan yang disampaikan, tapi ada dua yang paling sering diutarakan. Pertama, pemimpin tidak punya tujuan yang jelas dari transformasi yang dilakukan. Yang kedua, kompetensi digital yang tidak mumpuni justru menghadirkan hambatan bisnis. Tampaknya tidak hanya terjadi pada bisnis berskala besar, pun demikian dengan UKM.
Cerita new economy adalah tentang mereka yang berhasil mengadopsi teknologi sesuai takaran. Teknologi diterapkan untuk benar-benar menunjang produktivitas, kendati beberapa malah menjadi “nyawa” dari bisnis itu sendiri. Itu juga cerita tentang kejelian pelaku UKM yang mampu melihat peluang emas yang mungkin tidak terpikirkan pebisnis lain. Seperti yang dilakukan Budi dengan strategi Sate Ratu; siapa sangka bisa menggaet tamu internasional di tengah opsi kuliner sate legendaris yang banyak dijajakan di Yogyakarta.
Mereka yang sudah bersiap mendukung new economy
Di Indonesia ada banyak startup digital yang sengaja mengembangkan produk untuk membantu UKM. Jenisnya sudah cukup banyak merata di semua aspek, mulai dari finansial, operasional, ekspasi hingga dukungan lainnya. Kendati banyak dari UKM yang juga manfaatkan platform luar seperti media sosial populer atau situs yang menjangkau pengguna global.
Peluangnya memang masih terbuka lebar untuk menjadikan UKM sebagai target pengguna. Mengingat produk-produk UKM sendiri juga mengakomodasi semua segmen masyarakat – baik umum maupun spesifik, dari usia batita hingga manula. Daya jangkauan konsumennya pun sangat luas, hingga pada segmen pengguna yang tidak terjamah layanan digital, misalnya dari area 3T.
Secara lebih spesifik, Sensus Ekonomi yang dilakukan BPS pada tahun 2016 berhasil memetakan bidang bisnis UKM di Indonesia. Saat ini bidang perdagangan masih menempati porsi yang paling dominan.
Senada dengan jenis startup digital yang coba hadirkan teknologi untuk UKM, sebagian besar inline untuk diaplikasikan dalam sektor perdagangan – membutuhkan kanal penjualan, logistik, pencatatan hingga pendanaan. Tak ayal para unicorn pun bergegas hadirkan program yang secara khusus untuk menggandeng UKM di bidang tersebut ke dalam bisnisnya, salah satunya melalui program kemitraan.
Strategi lain yang turut dilancarkan bisnis untuk menggandeng UKM salah satunya direpresentasikan dalam program Gojek Xcelerate. Dalam program akselerasi putaran ketiga, mayoritas diisi oleh UKM yang memproduksi produk dan memanfaatkan kanal digital untuk distribusi. Seperti Callista yang menjajakan produk kesehatan kulit, Pijak Bumi sebagai pesaing Brodo, Mayer Food yang coba digitalkan proses jual beli daging ayam, dan lain sebagainya.
Beberapa investor early-stage pun juga tampak bersiap menyambut meledaknya bisnis ini. Teranyar East Ventures pimpin pendanaan Greenly, startup non-teknologi yang menyajikan pilihan makanan dan minuman sehat. Berbasis di Surabaya, bisnis tersebut memang diinisiasi oleh ahli nutrisi. Untuk mendistribusikan produknya, mereka manfaatkan kanal digital, seperti aplikasi GoFood dan GrabFood -- juga miliki ritel yang akan dioptimalkan dengan pendekatan online to offline.
Dengan porsi pelaku bisnis yang paling besar, selain penyerapan tenaga kerja, sektor UKM diharapkan dapat meningkatkan perekonomian secara nasional. Menurut Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (Akumindo), kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun 2019 mencapai 65% atau sekitar Rp2.394,5 triliun, tumbuh 5% dari tahun sebelumnya. Harapannya dengan makin meleknya pelaku UKM dengan teknologi, diharapkan bisa memacu perkembangan bisnis melalui ekspansi pasar dan inovasi produk yang makin terjangkau.