Polemik Operator Versus OTT adalah Dampak Tak Berkesudahan Belum Balik Modalnya Investasi Infrastruktur Data
Apa yang disampaikan oleh CEO XL Axiata (XLL) Hasnul Suhaimi tentang OTT di sela-sela Forum Indotelko sesungguhnya bukan hal yang baru. Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) jelas sudah menyatakan pihaknya menolak net neutrality karena dianggap tidak adil bagi pembangun jaringan, yaitu operator seluler. Menurut saya, polemik ini tidak akan berkesudahan jika kita tidak menyelesaikan akar permasalahannya.
Hasnul dalam acara tersebut mengatakan, “Masak, kita yang bangun (jaringan) tapi mereka yang dapat uang. Kalau kita tidak invest kan OTT juga tidak dapat akses. Padahal kami yang bikin jalan segala macam, eh pasang iklan (interstitial ads) malah dimarahi. Itu Google tidak dimarahi."
Akar permasalahannya jelas. Biaya yang dikeluarkan oleh operator seluler untuk meningkatkan kualitas kecepatan Internet sampai sekarang belum tertutupi. Komisioner Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono menyebutkan investasi yang dilakukan untuk 3G sejak tahun 2006 masih belum "balik modal", meskipun Nonot tidak menyertakan data pendukungnya.
Dengan tuntutan implementasi LTE yang harus terlaksana tahun 2015, operator seluler mau tak mau harus berinvestasi lagi supaya tetap kompetitif. Setiap operator harus menggelontorkan biaya triliunan Rupiah, biasanya melalui utang, demi meningkatkan kualitas jaringannya. Tak heran jika laporan keuangan kebanyakan operator menunjukkan rapor merah.
Tarif yang diberikan oleh operator seluler di Indonesia memang terbilang murah. Investasi yang dikeluarkan untuk mengantarkan data satu MB seharusnya lebih tinggi ketimbang tarif yang dikenakan, apalagi jika pembangunan infrastruktur berbasiskan pinjaman dalam mata uang asing karena terus melemahnya nilai tukar Rupiah. Semua ini dilakukan supaya lebih banyak pelanggan seluler yang mendaftar dan menggunakan paket data.
Chart yang ditunjukkan TeliaSonera, sebuah operator seluler Skandinavia, menarik untuk disimak. Realitasnya, pembangunan infrastruktur data membutuhkan biaya investasi lima kali lipat ketimbang pembangunan infrastruktur panggilan telepon (voice call). Masalahnya pendapatan yang diperoleh dari mobile data, untuk biaya investasi yang sama, adalah lima kali lebih kecil ketimbang voice.
Tren global 2014 menunjukkan secara global pendapatan dari data menguasai 2/3 pendapatan operator, artinya sebenarnya untuk memperoleh pendapatan yang relatif sama ketimbang 4-5 tahun yang lalu, operator harus menggelontorkan investasi infrastruktur yang berkali-kali lipat lebih besar.
Untuk menutupi defisit pendapatan ini, operator mulai memutar otak. Salah satu hasilnya adalah pemberlakuan interstitial ads yang kontroversial untuk pengaksesan berbagai situs.
Sebenarnya ide-ide kreatif operator dalam memanfaatkan jaringannya tidaklah selalu buruk. Data pelanggan yang dikumpulkan secara anonim dan dikemas menjadi suatu analisis big data, seperti yang dilakukan Telkomsel M-Sight, adalah terobosan yang menarik, selama tidak menyinggung privasi pelanggan.
Kembali ke permasalahan operator vs OTT, operator memang dihadapkan ke pilihan sulit. Di satu sisi jika mereka memberlakukan tarif paket data yang seharusnya, yang mahal di kebanyakan kantong masyarakat, mereka akan ditinggalkan pelanggan. Terbayangkah jika biaya bulanan paket data saja mencapai Rp 500 ribu sebulan? Di sisi lain, jika mereka tidak meningkatkan atau memperluas sumber pendapatan, cerita laporan keuangan yang berdarah-darah tidak akan usai.
Bisnis telekomunikasi memang cenderung dikatakan tidak ekonomis di era aplikasi dan platform mobile yang rakus data. Hal ini adalah masalah operator secara global, tetapi mereka harus bisa bertahan.
Salah satu contoh operator yang sukses bertahan di masa sulit seperti saat ini adalah Softbank Jepang. Meskipun secara market size mereka memiliki jumlah pelanggan lebih sedikit ketimbang Docomo atau KDDI, ternyata pendapatan dan keuntungan (operating income dan net income) yang diperolehnya setahun terakhir menunjukkan lonjakan pesat. Salah satu pendorongnya adalah keterlibatan Softbank dalam berinvestasi di bisnis OTT. Softbank, melalui anak perusahaannya Softbank Internet and Media (SIMI), bahkan menjadi investor utama dalam investasi $100 juta yang menghebohkan untuk layanan marketplace Tokopedia.
Ada banyak jalan menuju Roma, tinggal pilihan jalan mana yang ingin ditempuh operator seluler untuk tetap kompetitif di era berjualan data seperti sekarang.