Pemerintah dan Industri Tidak Sependapat dalam Revisi Aturan Konten Premium
Beberapa provider dan penyelenggara jasa konten tidak sependapat dengan Pemerintah dalam revisi aturan konten premium yang sedang dilakukan pemerintah melalui Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bersama Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri (Permen) Komunikasi dan Informatika (Kominfo) No. 1 Tahun 2009 tentang Jasa Pesan Premium dan Pengiriman SMS ke banyak tujuan. Salah satu hal yang dipermasalahkan adalah pasal 23 yang mengatur tentang kebijakan option in untuk penawaran konten ke banyak tujuan.
Seperti dijelaskan oleh IndoTelko, Kemenkominfo berencana untuk menerapkan aturan option in, yang artinya, untuk dapat mengirim broadcast sms iklan, penyelenggara jasa konten dan operator harus mendapatkan izin dari pemilik nomor tujuan broadcast tersebut. Izin tersebut bisa didapatkan melalui pesan singkat dan/atau pernyataan tertulis.
Penyelenggara jasa konten dan operator, menentang rencana ini karena dianggap akan mematikan bisnis iklan mobile. Mereka mengajukan option out yakni konten premium dikirimkan ke semua pelanggan, kemudian menyusul persetujuan pelanggan setelahnya. Jalan tengah juga bisa diambil dengan pilihan option out dengan profiling. Dalam opsi ini, konten dikirimkan kepada pelanggan sesuai klasifikasi kebutuhan pelanggan setelah meminta persetujuan pelanggan.
Provider dan penyelenggara jasa konten menginginkan adanya suasana bebas namun bertanggung jawab dalam bisnis ini. Menurut mereka, banyaknya aturan justru akan menghambat industri kreatif ini.
Namun, tampaknya mereka lupa bahwa selain mereka, ada penyelenggara jasa konten lain yang tidak sebertanggung jawab mereka. Pihak-pihak ini memanfaatkan kebebasan yang diberikan dengan merugikan konsumen. Karena ulah-ulah mereka lah, bisnis konten premium sempat dihentikan secara masal tahun lalu sehingga juga merugikan penyelenggara konten yang bertanggung jawab.
Berkaca dari pengalaman unreg massal tersebut, sepertinya aturan memang harus ada. Terutama sebagai batas untuk membedakan mana penyelenggara jasa konten yang bertanggung jawab, mana penyelenggara jasa konten yang “nakal”.