Perusahaan Internet Indonesia Go Public Tahun 2015: Baca Dan Tanggung Sendiri Resikonya (Bag. 1)
Editor: Bagian pertama dari artikel ini, Andi S Boediman mencoba menganalisa industri internet Indonesia saat ini dengan menjabarkan gambaran makro dari industri yang sedang berkembang, baik itu dari sisi infrastruktur, konsumerisasi internet sampai ke pemain-pemain global yang merangsek masuk ke pasar lokal. Artikel ini pertama kali dimuat di blog pribadi Andi S Boediman, diambil, diterjemahkan dan dimuat kembali di Dailysocial sesuai ijin dari yang bersangkutan.
Startup Asia merupakan acara yang selalu bagus untuk dihadiri, terutama di acara yang baru-baru ini diadakan dimana saya melihat makin banyak pengunjung dari luar negeri yang ingin ekspansi ke Indonesia dan juga wajah-wajah baru yang saya temui. Dengan perbincangan dengan beberapa rekan disana-sini, saya memutuskan untuk mengambil resiko untuk memprediksi lanskap industri internet Indonesia tahun 2015. Dengan banyaknya informasi yang saya temukan, meskipun beberapa informasi masih bersifat rahasia, saya ingin menulis melalui kapasitas saya sebagai investor dengan buah pikiran dan naluri bisnis saya, jadi silahkan baca tulisan ini dan tanggung sendiri resikonya.
Era Consumer Internet telah tiba
Berbagai studi memproyeksikan bahwa pengguna internet di Indonesia pada tahun 2013 akan mencapai 70-75 juta pengguna, dan akan tumbuh hingga 90-95 juta pengguna di tahun 2015. Jumlah tersebut sudah mewakili 30% dari populasi penduduk Indonesia. Angka pengguna internet yang sebenarnya memang sangat sulit dihitung, apalagi satu orang bisa memiliki lebih dari satu akses ke internet melalui banyak perangkat. Tapi ini semua tidak memiliki dampak apa-apa. Di negara lain, adopsi internet secara mainstream adalah faktor penentu dari konsumerisasi industri internet. Hal ini berarti internet akan menjadi hal umum layaknya listrik dan air. Pengguna ingin terkoneksi dengan mudah sebagai bagian dari kebutuhan dasar. Internet telah menjadi milik semua orang, bukan lagi segelintir early adopter.
Dan ketika semua orang memiliki akses ke internet, akan ada perubahan perilaku, dimana internet akan digunakan untuk hampir semua hal. Internet dulu digunakan sebagai medium komunikasi, lalu sekarang berevolusi menjadi media sosial. Saat ini, dengan adopsi mainstream perilaku berbelanja juga akan berubah, konsumen akan lebih sering berbelanja online. Korporasi akan menggunakan internet untuk semua hal mulai dari procurement, sourcing, operations, keuangan, distribusi dan fungsi-fungsi lainnya.
Fokus investasi saya saat ini adakan internet untuk konsumen. Startup seperti Urbanesia yang berfungsi seperti Yelp, kini menjadi makin berharga karena pengguna butuh informasi secara lokal. Hal ini akan diikuti dengan media sosial lokal seperti Picmix dan lainnya.
Sisa pemain dari model 2.0 seperti Airbnb, Kickstarter, Uber mungkin akan mulai melihat inkarnasi masing-masing startup di Indonesia seiring pertumbuhan pengguna internet. Solusinya bisa datang dalam berbagai model, model yang cocok untuk menyelesaikan masalah secara lokal.
Tantangan infrastruktur: Ketika telko menghasilkan terlalu banyak laba Pertumbuhan pengguna internet ini akan menemukan tantangan yang signifikan dengan kurang mapannya investasi di bidang infrastruktur. Penghasilan Telkomsel tahun 2012 lalu adalah sebesar Rp. 54.5 triliun dengan laba yang mencapai Rp. 30.6 triliun. Terlepas dari komitmennya untuk berinvestasi di infrastruktur, pengeluaran modal ini terbilang rendah untuk ukuran Indonesia yang memiliki kebutuhan tinggi untuk konetivitas broadband. Kita membutuhkan investasi yang lebih besar untuk infrastruktur. Indosat, yang dimiliki oleh Oooredoo dan XL yang dimiliki oleh Axiata merupakan perusahaan luar negeri. Jadi keduanya tidak memiliki banyak keuntungan strategis untuk berinvestasi lebih banyak di infrastruktur.
Seharusnya, hal ini menjadi PR untuk perusahaan yang dimiliki oleh negara, untuk mendongkrak besarnya investasi mereka di infrastruktur guna menurunkan harga konektivitas broadband untuk memperluas dan mempermudah akses ke pengguna. Mirip seperti yang terjadi dengan kemacetan di Jakarta, pola yang sama terlihat di konektivitas mobile. Indonesia masih kurang berinvestasi di infrastruktur yang akan menjadi beban untuk pertumbuhan pengguna internet.
Lanskap media digital di Indonesia: Google, portal dan raksasa media Tahun 2012 lalu di Indonesia, $6.2 milyar telah dihabiskan oleh para brand untuk iklan, media digital mengambil porsi 2.2% dari revenue iklan. Dan yang lebih parah lagi, 60% dari dana tersebut dihabiskan di Google dan Youtube. Media lokal masih belum berusaha meningkatkan jatah iklannya. Grup TV melakukan hal ini dengan membuat paket iklan yang memungkinkan pengiklan untuk menghabis dana untuk TV dan digital secara bersamaan. Media lokal seperti KapanLagi kini menjual Content Marketing dengan klien-klien seperti Unilever untuk strategi media sosial mereka.
Perang portal juga masih jauh dari selesai, saat ini Yahoo masih memimpin segmen portal media dengan diperkuat oleh tim editorialnya sendiri. PlasaMSN sebagai salah satu anak perusahaan Telkom yang bergerak di bidang digital media, telah menikmati traffic yang cukup tinggi meskipun bisa dibilang kurang mendapat perhatian dari Telkom. Model yang telah sukses dijalankan oleh Microsoft dan Yahoo di negara lain seperti NineMSN dan Yahoo7 di Australia. TV lokal dan pemain portal internasional bisa mereplikasi model ini. Pemain portal besar dari Korea Selatan dan Cina kini sedang mempelajari Indonesia dan pastinya sedang mempertimbangkan untuk bekerjasama dengan TV lokal yang memiliki konten.
Dengan memahami lanskap media di Indonesia, kita dapat mengerti siapa yang akan menjadi pemain besar nantinya. Sejauh ini cuma terdapat beberapa pemain saya di lanskap media:
- MNC Group pemilik dari RCTI, Global TV, MNC TV dan Okezone.com
- SCTV - Grup Indosiar
- Trans Group pemilik dari Trans TV, Trans 7 dan Detik.com
- ANTV, TV One and Vivanews.com
- Grup Kompas-Gramedia pemilik dari Kompas cetak dan Kompas.com
Saya melihat hanya ada dua pemain media yang cukup kuat untuk menantang grup-grup besar di atas:
- Kaskus, yang dimiliki oleh grup Djarum
- Kapanlagi yang berafiliasi dengan Trikomsel - Skybee
Memang agak sulit untuk mengkategorisasikan Kaskus sebagai media sosial atau e-commerce, namun Kaskus memiliki tempat khusus untuk pengguna internet Indonesia. Grup Kapanlagi adalah satu-satunya media independen yang memiliki posisi unik yang memungkinkan mereka untuk bekerjasama dengan media lainnya.
Dengan konsumerisasi internet, kompetisi selanjutnya adalah di vertikal media dan user generated content. Di sisi media sosial, Indonesia belum menemukan sosok yang setara dengan "Mark Zuckerberg" yang bertumbuh di Indonesia. Cina memiliki QQ dan Renren, kenapa kita tidak bisa?
Pemimpin pasar untuk aplikasi pengirim pesan saat ini di Indonesia adalah BlackBerry, diikuti oleh Whatsapp. Line ada di posisi ketiga dengan 3 juta pengguna aktif dengan Wechat dan Kakaotalk menyusul di belakang. Melihat angka ini, saat ini Indonesia merupakan pasar tunggal yang luar biasa penting untuk BlackBerry, namun perusahaan tersebut tidak serius di Indonesia. Sangat disayangkan.
BlackBerry saat ini divaluasi sekitar $4.7 milyar, saya pikir perusahaan seperti Telkomsel memiliki dana yang cukup untuk membeli kontrol dan mengambil alih BlackBerry melalui akuisisi strategis seperti yang terjadi ketika Lenovo mengakuisisi divisi laptop dari IBM. Misalnya bisa bekerjasama atau joint venture dengan produsen handset dari Cina seperti ZTE, pengguna bisa menikmati pengalaman BlackBerry dengan harga yang minimal. Untuk Indonesia, ini merupakan kesempatan yang bagus untuk mendapatkan hak kekayaan intelektual sembari mengakuisisi pengguna setia dari messenger tersebut. Saya hanya bisa berharap bahwa telko benar-benar tidak hanya berfikir sebatas model bisnis yang sekarang berjalan. Jika tidak, Ooredoo, Axiata atau Singtel bisa mempertimbangkan opsi ini, toh mereka juga pemegang kepentingan di perusahaan telko di Indonesia. BlackBerry seharusnya menjadi perusahaan Indonesia.
Line, Wechat dan Kakaotalk sangat serius untuk menjejakkan kakinya di Indonesia. Dan Whatsapp sebagai perusahaan barat biasanya tidak serius di Indonesia. Melihat kekuatan marketing dan model bisnis mereka, saya percaya Line pada akhirnya akan menjadi pemenang. Jika ini benar, Naver pasti akan menggunakan strategi serupa untuk layanan mereka yang lain.
Selain aplikasi pengirim pesan sebagai gerbang menuju konten dan aplikasi, sejarah membuktikan bahwa hanya akan ada segelintir portal aplikasi yang bertahan, contohnya adalah iTunes dan Google Play. Lalu masing-masing telko mulai memiliki app store mereka masing-masing. Lalu pemain lain masuk yang masuk menggunakan basis pengguna mereka melalui layanan lain, di Cina dan Korea Selatan hal ini didorong oleh pencarian.
Dua tahun ke depan kita akan melihat peperangan besar antara pemain portal aplikasi.
photo:shutterstock
Andi S Boediman adalah seorang entrepreneur kreatif. Pendiri dari Ideosource, pemodal venture untuk bisnis digital di Indonesia, dan juga pendiri IDS (International Design School). Sebelumnya Andi juga memegang posisi Chief Innovation Office untuk Plasa.com, anak perusahaan PT Telkom Indonesia yang bergerak di bidang e-commerce dan konten.