Pro Kontra Implementasi Balon Internet Google di Indonesia
Isu keamanan data, kesempatan inovasi lokal, hingga monopoli bisnis telekomunikasi
Salah satu yang menjadi perbincangan hangat dari rangkaian kunjungan pemerintah ke Amerika Serikat adalah diusungnya kerja sama implementasi Project Loon (balon internet Google) di Indonesia. Tiga operator terbesar di Indonesia (XL, Indosat dan Telkomsel) akan memberikan dukungan dengan memberikan spektrum 900 MHz untuk peredaran konektivitas via balon udara tersebut. Pro dan kontra pun muncul, bahkan dari para penggiat open source. Langkah ini menjadi salah satu hal yang diwanti-wanti.
Salah satunya diungkapkan Heru Sutadi, seorang pakar telekomunikasi sekaligus mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Menurutnya kerja sama ini tidak perlu terburu-buru dilakukan, karena banyak aspek yang justru berisiko, seperti celah kebocoran data dan keamanan negara. Sedangkan menurut Direktur Eksekutif ICT Watch Donny Budhi Utoyo, jika pemerintah mau memberikan ijin spektrum nasional untuk perusahaan asing, selayaknya inovasi dalam negeri (dalam hal ini OpenBTS) juga harus mendapat dukungan yang lebih baik.
Yang diinginkan
Secara sederhana keinginan pemerintah dengan balon udara Internet Google ialah untuk persebaran konektivitas ke wilayah terpencil. Dinilai persebaran melalui udara akan memberikan dampak yang lebih cepat. Di sisi lain saat ini pemerintah bersama dengan BUMN Telekomunikasi Nasional PT Telkom juga sedang mengupayakan pita lebar, untuk menyebarkan jangkauan kabel fiber untuk konektivitas di seluruh Indonesia. Pemerintah menginginkan percepatan persebaran akses telekomunikasi di seluruh wilayah Indonesia yang berpulau-pulau dengan medan yang cukup sulit.
Pertimbangan implementasi balon udara Internet
Jika dikaitkan dengan misi untuk percepatan pemerataan konektivitas di seluruh wilayah Indonesia, terutama untuk menjangkau daerah pelosok, medium udara memang cenderung lebih efisien untuk wilayah kepulauan, dari sisi waktu dan mungkin biaya. Dari misi tersebut yang justru banyak dipertanyakan kini apakah sebegitu mendesaknya untuk kebutuhan ini? Jawabannya tentu tidak ada salahnya jika di seluruh daerah di Indonesia dapat terkoneksi pada media komunikasi modern lebih cepat.
Jangan lupa, menyasar wilayah "pelosok" tak hanya bisa bermodalkan memberikan fasilitas publik yang dapat diakses bersama. Edukasi menjadi hal esensial di sini. Sangat esensial. Pertama, diyakini akan banyak yang baru mengenal teknologi komunikasi modern jika membicarakan tentang pelosok. Kedua, proyek ini ditangani dan dikontrol penuh oleh sebuah perusahaan asing, sangat berisiko pengguna non-tech-savvy dibiarkan menggunakan moda komunikasi tanpa adanya sebuah perlindungan. Siapkan pemerintah dengan hal ini?
Selain edukasi, perlu diperhatikan juga terkait dengan kepentingan kedua belah pihak. Tentu win-win solution selalu menjadi sebuah pertimbangan. Pemerintah tentu memiliki kepentingan untuk memberikan akses komunikasi yang mudah untuk masyarakat, sedangkan Google tak lain adalah kepentingan bisnis. Akan sangat indah jika kerja sama ini adalah sebagai alternatif, sembari menunggu tatanan pita lebar nasional beres. Dan tentu inovasi anak bangsa yang dapat mem-backup kebutuhan tersebut.
Selain melihat dari sisi konsumen akhir, perlu diperhatikan juga bahwa implementasi teknologi tersebut dapat mengayomi bisnis telekomunikasi secara keseluruhan. Menurut data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) saat ini terdapat 350 perusahaan penyedia jasa internet. Menurut APJII, seperti disampaikan Jamalul Izza, hingga saat ini mayoritas perusahan penyedia layanan internet terkenala indrastruktur last mile atau infrastruktur akhir yang diakses langsung oleh internet.
Data APJII juga menyiratkan bahwa porsi persebaran trafik di antara 350 anggota APJII 70 persen di antaranya dikuasai Indosat, Telkomsel dan XL, sedangkan 30 persen diperebutkan oleh lainnya. Ketika balin internet ini akan menjadi infrastruktur pendukung, terutama di bagian last mile, bisa jadi justru akan mematikan yang lain. Oleh karenanya pemerintah juga perlu mempersiapkan mekanisme untuk memberikan kesempatan kepada pemain lain untuk turut bekerja sama dengan proyek tersebut.
Cara lain mempercepat pemerataan Internet
Implementasi balon internet Google sendiri belum berjalan di Indonesia bersama tiga operator pendukung, tentu kita belum bisa menilai secara teknis apakah benar memberikan efisiensi dari pelaksanaannya. Namun sebenarnya juga ada beberapa inovasi yang patut dicoba untuk dioptimalkan, seperti salah satunya yang sudah disinggung di awal, yakni dengan pemanfaatan teknologi OpenBTS. Dalam beberapa riset yang telah dilakukan anak bangsa, teknologi ini mampu memberikan solusi atas kesenjangan pembangunan infrastruktur telekomunikasi. Bahkan beberapa kali pengujian juga dilakukan dalam keadaan pemulihan ketika terjadi bencana.
Selain itu juga terdapat solusi yang ditawarkan oleh salah satu perusahaan internasional juga, yakni Microsoft. Tak melalui medium balon udara, Microsoft mengusulkan untuk menggunakan TV White Space, yakni memanfaatkan spektrum frekuensi pemancar TV yang tidak dipakai. Namun pemerintah sudah secara tegas melakukan kerja sama dengan Google untuk implementasi balon udara Internet. Mungkin pemerintah hanya ingin secara cepat melakukan eksekusi dan implementasi, pasalnya memang akan terjadi perdebatan panjang saat harus memilih dari berbagai alternatif yang ada.
Keterbukaan terhadap perusahaan raksasa di bidang teknologi
Ini adalah kali kedua dalam pemberitaan kunjungan Silicon Valley pemerintah isu kerja sama dengan korporasi penguasa teknologi dunia menguak. Sebelumnya sempat ramai masalah kerja sama pemerintah dengan Microsoft terkait implementasi Office 365 untuk pendidikan di seluruh Indonesia. Protes masyarakat terhadap kerja sama pemerintah dengan Microsoft dan Google tak lain dilandasi kekhawatiran bahwa kerja sama tersebut akan menguntungkan sepihak, yakni korporasi dari sisi bisnis. Khawatir kerja sama seperti ini akan menggerus bisnis teknologi dalam negeri.
Kekhawatiran masayarakat ini tentu menjadi sebuah implikasi dari kematangan pemahaman mereka terkait dengan bisnis teknologi. Hal ini menyiratkan bahwa ke depan pemerintah harus benar-benar terbuka melakukan diskusi dengan masyarakat untuk sebuah keputusan strategis seperti kerja sama dengan korporasi seperti ini.
Masyarakat pun pasti juga menyadari bahwa teknologi kini menjadi landasan fundamental kehidupan, dan diakui memang ketergantungan nasional masih banyak bergantung kepada perusahaan internasional. Sejauh ini memberikan porsi tepat untuk korporasi tersebut mengudara di Indonesia adalah keputusan yang lebih bijak, sembari mendukung industri nasional untuk mampu bertumbuh dan bersaing.