Roadmap E-Commerce: Asosiasi Soroti Isu Perpajakan
Akan membuat kajian akademis dengan mengambil contoh patokan yang sukses diterapkan negara lain
Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) menyoroti isu tentang persamaan perlakuan perpajakan antara pemain asing dan lokal, termuat dalam Peraturan Presiden No.74/2017 tentang Roadmap E-commerce. Sebagai langkah awal untuk mengatasi isu tersebut, asosiasi akan melakukan kajian bersama tim Pelaksana dan Project Management Office (PMO) e-commerce untuk menentukan patokan.
Patokan (benchmark) perlu dibuat agar aturan yang dilahirkan tidak memberatkan pemain lokal ataupun menguntungkan asing. Contohnya yang dilakukan pemerintah Tiongkok untuk meringankan beban pajak pemain e-commerce hanya diberlakukan bila mereka fokus pengembangan UKM lokal.
Mengingat isu ini cukup sensitif dan bersinggungan dengan aturan-aturan sebelumnya yang sudah berlaku, pihak idEA mendorong agar seluruh stakeholder saling sinkron satu sama lain.
"Di Indonesia hal ini [pajak e-commerce] belum ada dan tidak gampang untuk mengubah aturan, khususnya tentang perpajakan. Makanya kami butuh benchmark dan perlu lakukan kajian bersama tim PMO, mudah-mudahan kita bisa sama-sama merumuskan," terang Ketua Bidang Pajak, Infrastruktur dan Cyber Security idEA Bima Laga, Rabu (16/8).
Dalam Perpres Roadmap E-Commerce, hanya disebutkan pada Februari 2018 pemerintah, dalam hal ini Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, merealisasikan inisiasi persamaan perlakuan perpajakan atas pelaku e-commerce asing dan lokal sesuai ketentuan yang berlaku.
Tidak hanya soal persamaan perlakukan dan insentif untuk investor, dalam aturan juga disebutkan inisiasi penyederhanaan pemenuhan kewajiban perpajakan. Inisiasi ini menyebutkan arahan kepada pemerintah untuk menyederhanakan tata cara perpajakan bagi pelaku usaha e-commerce dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun.
Pekerjaan berat
Ketua Umum idEA Aulia E. Marinto melanjutkan terbitnya aturan ini menjadi awalan untuk melanjutkan pekerjaan berikutnya mewujudkan Indonesia sebagai ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara senilai US$130 miliar pada 2020.
"Kita bekerja saja. Harus dicoba dan optimis untuk mencapai itu," terang Aulia.
Meski begitu, prediksi tersebut bisa saja direvisi. Pasalnya angka tersebut masih sebatas proyeksi saja.
"Kita fokusnya potensi itu belum tereksplorasi. Yang sekarang [data valid] saja belum terungkap. Soal angka itu bisa revisi lagi. Tapi mengatakan angka itu sudah menggambarkan potensi, that's good."
Untuk itu dia mendorong seluruh pihak saling sinkron satu sama lain, agar aturan turunan yang dilahirkan dari perpres tidak merugikan salah satu pihak saja.