PP E-Commerce Resmi Berlaku, Pedagang Wajib Berbadan Usaha
Kekhawatiran pedagang kembali beralih ke platform media sosial kembali terjadi
Presiden Joko Widodo menandatangani aturan mengenai perdagangan melalui sistem elektronik atau e-commerce, tertuang dalam PP Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Aturan ini terdiri dari 19 bank dan 82 pasal, telah berlaku sejak diundangkan pada 25 November 2019.
Dalam beleid tersebut menjelaskan pelaksanaan transaksi melalui PMSE, baik dari sisi pelaku usaha, konsumen, hingga produk. Konsumen bisa mengadu secara online ke Menteri Perdagangan jika merasa dirugikan.
Definisi PMSE ini bisa merupakan pelaku usaha, konsumen, pribadi, atau instansi baik di dalam negeri maupun luar negeri. Artinya, siapa saja yang masuk ke dalam definisi tersebut bisa dilaporkan konsumen.
Poin ini tertuang dalam Pasal 18: "Dalam hal PMSE merugikan konsumen, konsumen dapat melaporkan kerugian yang diderita kepada Menteri," seperti dikutip dari Katadata.
PMSE yang dilaporkan konsumen harus menyelesaikan pelaporan. Jika tidak, mereka akan masuk ke dalam daftar prioritas pengawasan oleh menteri. Yang mana di dalam daftar ini bisa diakses oleh masyarakat umum. Ketentuan lebih rinci akan diatur dalam Peraturan Menteri.
PP ini juga mewajibkan PMSE memerhatikan prinsip-prinsip itikad baik, kehati-hatian, transparansi, keterpercayaan, akuntabilitas, keseimbangan, serta adil dan sehat.
Khusus untuk pelaku usaha asing yang melakukan PMSE kepada konsumen Indonesia, yang memenuhi kriteria dianggap hadir secara fisik di Tanah Air. Oleh karenanya, mereka wajib tunduk terhadap peraturan perundang-undangan, termasuk pajak.
Kriteria yang dimaksud dapat berupa jumlah dan nilai transaksi, paket pengiriman, dan/atau traffic atau pengakses (user). Pelaku asing ini bisa menunjuk perwakilannya yang ada di Indonesia.
Pedagang harus berbadan usaha resmi
Poin lainnya yang paling mencuat dalam beleid adalah kewajiban pelaku usaha yang berjualan melalui e-commerce untuk memiliki izin usaha. Ini tertuang dalam Pasal 15: "Pelaku usaha wajib memiliki izin usaha dalam melakukan kegiatan usaha PMSE."
Pemerintah menyiapkan kemudahan untuk permudah pelaku usaha jadi tertib, salah satunya bisa melalui sistem perizinan berusaha terintegrasi atau online single submission (OSS).
Namun, ada pengecualian untuk tidak memiliki usaha, yaitu penyelenggara sarana perantara yang bukan merupakan pihak yang mendapatkan manfaat secara langsung dari transaksi dan tidak terlibat langsung dalam hubungan kontraktual para pihak yang melakukan transaksi online.
Topik ini menjadi sorotan karena paling tegas ditolak oleh Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), terutama saat wacana pemberlakuan pajak e-commerce (PMK Nomor 210 Tahun 2018) pada awal tahun 2019.
Mereka ingin pemerintah membuat perlakuan yang adil dengan platform media sosial. Selama itu bisa dipenuhi pemerintah, dengan senang hati para pemain e-commerce akan patuh.
Akhirnya dari desakan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani setuju untuk tidak mewajibkan pedagang online memiliki NPWP karena banyak di antara mereka yang memiliki penghasilan di bawah batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) di bawah Rp54 juta per tahun.
Dengan ditariknya PMK ini, pedagang online tidak lagi memiliki kewajiban melaporkan NPWP ke penyedia layanan marketplace. Sementara pihak marketplace tidak perlu mengembangkan sistem untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait penjualan barang dagangan.
Yang tetap berlaku adalah kewajiban perpajakan untuk UKM, berupa pajak final 0,5%, bagi mereka yang memiliki omzet di bawah 4,8 miliar Rupiah per tahun.
Saat PP Nomor 80 Tahun 2019 ini diberlakukan, muncul kembali kekhawatiran idEA yang selama ini ditakutkan, beralihnya para pedagang online ke platform media sosial. Di sana tidak diberlakukan sama sekali aturan, alias bebas dari cakupan pengawasan PP.
Hasil studi internal idEA pada awal tahun ini menunjukkan 95% pelaku UKM masih berjualan di platform media sosial. Hanya 19% yang sudah menggunakan marketplace.
Sign up for our
newsletter