Rudiantara dan Semangat Membangun "Design House" Smartphone 4G
Rumah desain smartphone independen adalah awal mula berdirinya ekosistem smartphone Tiongkok
Semangat Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dalam membangun industri smartphone 4G menarik untuk diperhatikan dan dinanti aksi nyatanya. Pekan lalu akhirnya Rudiantara mengungkap tujuannya menciptakan regulasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) smartphone berteknologi 4G LTE.
"Kita tidak bisa hanya menuntut barang (goods), tetapi kita harus menciptakan value dengan memperkuat design house," ujar Rudiantara seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Secara gamblang akhirnya terungkap niat Rudiantara menciptakan regulasi TKDN ini adalah untuk menumbuhkan keberadaan Independent Design House (IDH) di Indonesia. Dia tidak mau semata membangun industri hardware atau menjadikan Indonesia sebagai "tukang jahit" untuk produk smartphone. Lebih dari itu, dia ingin menjadikan Indonesia sebagai desainer smartphone.
Istilah design house memang terdengar asing, tapi punya peran sangat penting. Dosen Institut Teknologi Bandung, Adi Indrayanto, menganologikan IDH sebagai desainer fashion dalam industri garmen yang berarti posisinya berada di antara produsen bahan kain dan tukang jahit. Itu berarti, dalam konteks rantai produksi industri smartphone, IDH berada di antara vendor chipset dan perusahaan manufaktur.
Keberadaan IDH di Indonesia saat ini masih bisa dihitung oleh jari. Salah satunya adalah TSM Technologies yang berbasis di Batam. Perusahaan ini dimiliki oleh seorang pengusaha Indonesia yang memiliki IDH di Tiongkok.
Tiongkok memulai industri smartphone dengan ekosistem IDH
Langkah yang mau dibangun Rudiantara kurang lebih sama dengan yang dirintis Tiongkok sekitar belasan tahun lalu ketika teknologi komunikasi mobile sedang berada dalam transisi dari 2G ke 3G.
Waktu itu Tiongkok mulai membangun ekosistem IDH mereka dengan membuat smartphone imitasi. Mungkin Anda salah satu yang tertipu melihat ponsel yang desainnya sangat mirip dengan iPhone atau BlackBerry, tetapi ketika dieksplorasi software-nya, terlihat jelas itu bukan iPhone atau BlackBerry asli karena produk mereka tidak pernah dibekali dengan dua slot SIM Card.
Fitur ini kemudian dikenal sebagai Dual SIM. Sebuah fitur yang waktu itu dihindari perusahaan ponsel besar sekelas Nokia atau Sony Ericsson.
Tetapi para produsen ponsel tiruan melihat Dual SIM sebagai kesempatan karena permintaan dari negara berkembang sangat besar.
Produsen ponsel tiruan berusaha memperbaiki citra mereka dan mendorong inovasi. Dari situ lahirlah ponsel yang mampu menangkap sinyal televisi, ponsel dengan baterai yang bisa tahan seminggu, kehadiran ponsel dengan tiga slot SIM Card, sampai ponsel yang tombolnya dibuat besar-besar untuk memenuhi kebutuhan orang lanjut usia. Bahkan ada yang berani melapisi ponsel dengan material emas untuk memuaskan keangkuhan konsumen.
Fitur-fitur ini mungkin terlihat konyol di mata produsen besar Nokia dan Sony Ericsson. Tetapi sebenarnya perusahaan dari Tiongkok ini telah melakukan sesuatu yang amat cerdas karena mereka mengetahui, mendengar, dan menyediakan, apa yang dibutuhkan konsumen kelas menengah ke bawah di pasar negara berkembang seperti Asia, Amerika Latin, dan Afrika.
Blue-print dari ponsel-ponsel unik ini menyebar dan terus dipercepat pengembangannya. Dengan upah murah para buruh di Tiongkok, ketersediaan ponsel-ponsel unik tersebut bisa hadir ke pasar dalam hitungan minggu. Kemampuan teknis para pelaku bisnis ponsel (yang tadinya membuat produk imitasi) terus meningkat, dan tanpa sadar mereka sedang dalam transisi menjadi ahli ponsel kelas dunia.
Desain-desain ponsel unik itu kemudian diberikan kepada perusahaan manufaktur yang telah terbiasa merakit ponsel dari perusahaan ternama. Xiaomi, contohnya, perusahaan seumur jagung dari Beijing, kini merakit produk-produknya di Foxconn yang telah lama jadi pemanufaktur Apple.
Wajah industri smartphone Tiongkok mulai berubah pada 2008 setelah Google memperkenalkan sistem operasi Android. Sistem operasi mobile yang bisa diadopsi oleh siapa saja dan membuat perusahaan Tiongkok bertindak cerdas mengembangkan alternatif yang layak. Tentu saja dengan harga terjangkau.
Dalam waktu singkat perusahaan Tiongkok menggeser strategi mereka yang tidak mau disebut jago kandang. Meizu, Huawei, ZTE, membangun mereknya di pasar global, dan kini ada Xiaomi dan OnePlus yang segenap hati mau berinovasi. Ini mungkin hanya awal dari ombak besar Tiongkok menguasai industri ponsel dunia.
Bagaimana dengan Indonesia?
Rudiantara mengatakan Indonesia harus memulai sekarang. Saat sedang ada transisi teknologi 3G menuju 4G agar tak kehilangan momentum. Menteri kelahiran 3 Mei 1959 tersebut nampak tidak mengarahkan Indonesia untuk meningkatkan kemampuan diri dalam inti telekomunikasi seperti membuat antena komunikasi di ponsel, ikut mengembangkan atau mencari definisi 5G, atau memperkuat diri pada bisnis komponen hardware layar, storage, sensor kamera, seperti yang dilakukan Samsung dan LG di Korea Selatan.
Yang nampak jelas sekarang adalah meniru cara Tiongkok mengembangkan ekosistem smartphone dari IDH karena saat ini perusahaan hardware di Indonesia mulai tumbuh. Sepanjang 2013, Kementerian Perindustrian mencatat sekitar 15 pabrik komponen telekomunikasi telah dibangun, di antaranya meliputi produksi casing, keypad, baterai, charger, dan LCD.
Indonesia juga memiliki banyak perusahaan manufaktur atau Electronics Manufacturer Services (EMS) yang berlokasi di Pulau Jawa dan Batam. Sebut saja Sat Nusapersada yang luar biasa cakap merakit produk dari merek asing dan kini mereka dilaporkan sedang bersiap merakit smartphone Android seri Zenfone milik Asus dari Taiwan.
Para "tukang jahit" sudah ada, sekarang tinggal para "desainer fashion" yang harus didorong keberadaannya untuk mencari solusi atas kebutuhan pasar Indonesia yang begitu besar dan potensial ini.
IDH bakal menentukan desain luar smartphone, lalu merancang lay out PCB, dan menentukan hardware-hardware apa saja yang bakal digunakan agar sesuai dengan lay out PCB dan meminimalkan crash saat hardware dan software bekerja. Tak menutup kemungkinan IDH juga membantu dalam membuat sistem operasi atau aplikasi lain.
Dari IDH pula mungkin Indonesia bakal memiliki banyak paten teknologi yang tercipta dari pemikiran para engineer atau programmer ketika mereka mengembangkan smartphone. Jika paten mereka dipakai oleh merek lain atau perusahaan asing, Rudiantara berharap negara ini akan mendapat manfaat dari biaya lisensi.
Apple, Samsung, Sony, Huawei, Xiaomi telah menjadi desainer fashion untuk diri mereka sendiri dan dari proses penelitian dan pengembangan mereka menciptakan paten.
“Jika Indonesia memiliki banyak design house, maka kita tak perlu lagi membeli desain ponsel pintar ke Tiongkok,” ujar Adi Indrayanto, yang juga menjabat sebagai penanggungjawab Pusat Mikroelektronika Institut Teknologi Bandung. Adi juga memprediksi, pertumbuhan IDH di Indonesia juga akan dibarengi oleh pertumbuhan industri komponen hardware, dengan alamiah.
Rudiantara berjanji akan menerbitkan Keputusan Menteri soal TKDN smartphone 4G LTE di bulan Juni 2015 ini. Dari aturan TKDN ini pula Rudiantara berharap menekan defisit neraca perdagangan Indonesia yang salah satunya dipicu oleh tingginya angka impor produk telekomunikasi dari hulu ke hilir, mulai dari impor radio untuk BTS sampai perangkat ponsel yang merupakan komoditas nilai impor kedua terbesar setelah minyak dan gas.
Dia belum mengatakan berapa persentase komponen lokal yang final harus dipenuhi untuk perangkat subscriber station (SS) seperti smartphone dan tablet dan base station (BS) seperti radio di BTS. Tetapi dalam draf regulasi TKDN yang telah diuji publik, kementerian yang mengurusi teknologi informasi tersebut mengajukan angka 30 persen TKDN untuk subscriber station dan 40 persen untuk base station.
Langkah Apple membuat smartphone dari bahan metal, kemudian Samsung yang membuat layar melengkung di tepi, serta Lenovo yang membuat tablet sekaligus proyektor, sungguh adalah teknologi tingkat tinggi. Untuk mencapai tahap itu dibutuhkan para desainer fashion yang saat ini sedang ingin ditumbuhkan oleh Rudiantara.
Sepatutnya di masa depan kita mengucapkan terima kasih kepada Rudiantara, itu pun jika dia bisa mentransformasikan semangatnya menjadi regulasi yang menyehatkan sekaligus melindungi industri smartphone lokal.