1. Startup

Apakah Indonesia Butuh Layanan Reservasi Restoran Secara Online?

Sekitar seminggu yang lalu, sebuah layanan reservasi restoran secara online Qraved mengumumkan perolehan pendanaan dari konsorsium yang beranggotakan Rebright Partners, investor Silicon Valley terkenal 500 Startups dan salah satu pendiri Skype, Toivo Annus. Beberapa bulan yang lalu, kita juga kedatangan layanan LivEpicly yang memiliki misi serupa dan telah memperoleh pendanaan dari INCYTE (Systec Group). Yang jadi pertanyaan sekarang, apakah masyarakat Indonesia, khususnya di kota-kota besar yang menjadi target pasar layanan seperti ini, benar-benar membutuhkan layanan reservasi restoran secara online?

Kami berbincang dengan seorang praktisi di layanan ini, yang tak ingin disebut namanya, dan mengatakan bahwa memang benar kebanyakan investor memiliki kecenderungan ingin berinvestasi kepada startup yang mengumpulkan data restoran dan memberikan layanan reservasi sebagai main course-nya. Meski demikian, yang bersangkutan menolak untuk mengarahkan layanan perusahaannya ke tren tersebut dan berkilah bahwa budaya reservasi bukanlah budaya orang Indonesia dan tidak akan bertahan lama dalam jangka waktu panjang.

Coba kita tilik dulu tentang budaya yang melatarbelakangi semuanya. Konsumen di Amerika Serikat relatif sudah biasa untuk melakukan booking terhadap restoran-restoran terkenal berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan sebelumnya. Meskipun demikian, seperti di tempat lain, sebenarnya tidak selalu penting untuk melakukan reservasi restoran di awal.

Aplikasi reservasi restoran populer, seperti OpenTable, biasanya menyiasatinya dengan banyak menggandeng penyelenggara acara makanan (misalnya festival kuliner) untuk memastikan bahwa setiap peminat acara seperti ini harus menggunakan OpenTable untuk melakukan reservasi. Tidak cuma itu, OpenTable juga memberikan added value seperti daftar lengkap menu dan informasi operasional restoran. Sebelum datang ke restoran, konsumen bisa saja sudah memiliki acuan untuk pilihan menunya. Di banyak area, informasi yang diberikan lebih lengkap ketimbang Yelp -- meskipun basisdata restoran Yelp jauh lebih besar.

Di Indonesia sendiri, budaya pemesanan tempat di restoran biasanya sering dilakukan jika konsumennya biasanya bakal mengadakan kegiatan/acara dengan jumlah orang yang datang cukup banyak. Kegiatan reservasi biasanya dilakukan via telepon dan konsumen terkadang perlu melakukan ricek (dengan menelepon ulang) untuk memastikan bahwa pemesanan tempatnya sudah dilakukan. Jika hanya untuk dua orang, misalnya untuk kencan, jarang sekali dibutuhkan reservasi di awal dan konsumen, misalnya di restoran sushi ataupun steak yang selalu rame pengunjung, memilih untuk menunggu giliran di depan lobi.

Berkaca dari budaya di atas, tak heran bahwa layanan seperti ini bakal sukses jika misalnya partner-partner restorannya cenderung menitikberatkan penggunaan aplikasi seperti ini ketimbang sekedar komplemen bagi kanal pelayanan yang sudah ada. Memang pasar ini cenderung masih niche, untuk itu target yang diharapkan tentu harus realistis, disesuaikan dengan usaha yang dilakukan untuk mengkonversi konsumen menggunakan layanan seperti ini.

Qraved dan LivEpicly sebagai startup bisa menjadi bukti nyata apakah layanan seperti ini benar-benar digunakan oleh konsumen dan bisa bertahan lama. Kita tunggu apakah mereka masih bertahan tahun depan atau malah terpaksa gulung tikar karena tak mampu menantang hegemoni budaya.

[ilustrasi foto: Shutterstock]

Are you sure to continue this transaction?
Yes
No
processing your transaction....
Transaction Failed
Try Again

Sign up for our
newsletter

Subscribe Newsletter
Are you sure to continue this transaction?
Yes
No
processing your transaction....
Transaction Failed
Try Again