Arah Industri Startup Asia Tenggara di Bidang Finansial, Pendidikan, Kesehatan dan AI (Bagian 2)
Bidang kesehatan dan pendidikan menyasar langsung pasar primer, namun banyak improvisasi dan kebutuhan khusus di dalamnya
Pada artikel sebelumnya (Bagian 1) kami telah membahas tentang bagaimana dua lanskap kategori startup sati ini berkembang di Asia Tenggara, yakni fintech dan AI. Selain dua kategori startup tersebut –masih menyimpulkan dari sesi Future Stage di Echelon Asia Summit di Singapura—ada dua kategori lain yang dinilai tengah dalam fase “hot”, yakni Edtech dan Healthtech. Di Indonesia pun startup di segmen tersebut sudah bermunculan, bahkan beberapa bertumbangan, baik yang mengerjakan di sektor B2C ataupun B2B.
Menarik, saat ada yang bisa bertahan dengan proses bisnis yang dimiliki dan beberapa lainnya harus gulung tikar –minimal pivot ke proses lain. Kendati terlihat memiliki pangsa pasar yang besar, namun membutuhkan effort lebih untuk menggeser cara-cara yang sudah ada. Tidak hanya di Indonesia, permasalahan tersebut juga tengah menjadi tantangan yang ingin dipecahkan para startup di Asia Tenggara secara umum.
Healthtech: Masih banyak tantangan sekaligus jalan untuk menjadi “disruptive”
Salah satu sesi dalam Future Stage membahas seputar "Disruptive Innovation For Better Healthcare". Dalam diskusi panel ini dihadirkan tiga pemateri yang terdiri dari Nawal Roy (Founder & CEO Holmusk), Julien de Salaberry (Co-founder Galen Growth Asia) dan Gillian Tee (Co-founder & CEO Homage).
Salah satu poin yang awal disinggung dalam diskusi panel tersebut terkait dengan intensitas pendanaan. Jika dibanding dengan yang lain, terlebih fintech, sektor healthtech memang masih jauh. Kategori startup ini lebih minim pendanaan, pun demikian dalam hype-nya di lanskap startup secara umum.
Poin menarik tentang potensi adalah saat ini para pemain di sektor kesehatan tentang mematangkan posisinya, untuk masuk secara mendalam dari unsur teknologi perangkat keras pendukung (dukungan IoT) atau perangkat lunak (khususnya analisis data).
Terdapat salah satu pernyataan Nawal Roy yang menjadi sebuah keniscayaan. Saat startup bermain di bidang kesehatan –jika melihat yang ada sekarang—konsentrasi mereka justru belum pada misi kesehatan secara intensif, misalnya startup yang menyerukan penyembuhan diabates, sangat sedikit yang menawarkan solusi langsung terhadap penyelesaian masalah, beberapa startup bahkan hanya memanfaatkan tren untuk pemasaran semata.
Roy turut mengungkapkan bahwa inovasi tetap menjadi fokus, namun para pemula di bidang ini justru lebih suka bergelut di masalah seputar ekonomi (khususnya makro) yang berhubungan dengan kesehatan.
Terkait dengan potensi di waktu sekarang ini, Gillian Tee lebih suka melihat startup hadir sebagai tech-enabler dalam lanskap bisnis kesehatan dan juga pengelolaan data. Tak mudah memang mendapatkan akses ke data kesehatan, namun di sana terdapat banyak hal yang bisa dilakukan. Ia juga menceritakan, bahwa memahami apa yang benar-benar dibutuhkan klien menjadi hal yang sangat krusial.
Untuk itu startup yang ia gawangi, Homade, mencurahkan tahun pertamanya untuk mempelajari apa yang berhasil dan apa yang dibutuhkan. Selain tim teknis non kesehatan, saat ini Homeage memiliki tim operasi klinis dengan spesifikasi masing-masing berpengalaman minimal 11 tahun.
"Di lapangan ini bukan hanya tentang implementasi IoT atau teknologi lain pada permasalahan (kesehatan), tapi benar-benar tentang memahami bagaimana teknologi berdampak menjadi enabler," ujar Gillian.
Mencoba melihat dari sudut padang investor, Julien Salaberry mengatakan untuk lanskap kesehatan saat ini masih banyak pertanyaan "membingungkan". Baik terkait dengan solusi teknologi yang digunakan ataupun pada dampak inovasi yang digarap dengan penanganan kesehatan itu sendiri. Misalnya saat membicarakan tentang bioteknologi, pertanyaannya pasti berujung pada bagaimana strategi membawa konsep tersebut ke dalam industri.
Jika melihat dari tren yang ada di Indonesia, healthtech kebanyakan mencoba memfasilitasi –baik untuk paramedis maupun konsumen—dalam bentuk layanan yang menghubungkan atau menjadi asisten virtual. Artinya apa yang dilakukan belum bisa dikatakan benar-benar “mengganggu” industri kesehatan secara umum, karena penopang dalam proses bisnisnya masih di industri yang sudah ada.
Sama seperti pada kategori lainnya, bisa jadi juga ini berkaitan dengan penerimaan calon konsumen yang ditargetkan. Secara kasat mata sangat terlihat, jika bidang kesehatan mungkin banyak konsumen yang memilih tidak untuk “bertaruh”, dalam artian mencoba hal yang baru pun ragu. Karena tingkat risikonya yang tinggi.
Namun apa pun itu, para pemateri dalam panel meyakini bahwa teknologi tetap menjadi jembatan paling penting dalam menggerakkan industri kesehatan, untuk terciptanya solusi inovatif nan efisien, dalam waktu cepat atau lambat.
Edtech: Peta layanan dan arah pertumbuhan yang semakin jelas
Tentang lanskap pendidikan, Founder & CEO Topica Edtech Group Tuan Pham menyampaikan banyak hal dalam presentasinya. Salah satu yang menjadi titik poin, saat ini layanan dan produk berbasis edtech terdiri dari empat karakteristik utama, yakni (1) on-demand learning, (2) immersive experiences (3) direct to empolyers, dan (4) guidance by AI.
Poin pertama didasarkan pada tren pendidikan yang berangsur disampaikan melalui teknologi. Dicontohkan beberapa perguruan tinggi kini mulai mengadakan kuliah online, yang berimplikasi pada kepercayaan publik terhadap efektivitas sistem pembelajaran jarak jauh.
Di Asia Tenggara menurut Pham tren ini juga mulai terjadi, bahkan di Indonesia. Memang, jika menilik beberapa startup seperti Ruangguru atau Kelase misalnya, mereka mampu menyuguhkan proses dan sistem pembelajaran melalui medium teknologi yang akrab dengan pengguna.
Perkembangan teknologi modern juga berpengaruh di sektor ini, terutama berkaitan dengan bagaimana konten disampaikan. Contohnya tren Virtual Reality atau Augmented Reality yang mulai ramai digarap, tak lain menggunakan unsur edukasi sebagai konten primer yang disajikan.
Sementara itu kanal pembelajaran premium juga tetap menjadi bagian penting terhadap lanskap edtech. Pham mencontohkan bagaimana Udacity dan Pluralsight memiliki segmentasi yang membuat konten di dalamnya eksklusif bagi para pelanggan, didukung dengan keahlian sistem cerdas di dalamnya yang mampu memahami kebutuhan belajar penggunanya.
Diungkapkan juga pasar ini masih tergolong sangat terfragmentasi, kuncinya adalah pada "resolving the culture". Apa yang dilakukan Topica Edtech Group salah satunya dengan menjalin kerja sama strategis dengan institusi pendidikan resmi. Bahkan menyesuaikan pembelajaran dengan standar yang dituntut oleh negara, dalam hal ini Tropica mempraktikkan di negara Vietnam dan Bangkok.
Edtech harus benar-benar menyesuaikan dengan pangsa pasar, pun demikian ketika startup akan melakukan ekspansi. Setiap negara bahkan kota memiliki diferensiasi yang tinggi. Mulai dari cakupan segmentasi pengguna, tatanan konten, platform sebagai medium hingga strategi distribusi.
Ketika berbicara pada strategi monetisasi, Co-Founder & CTO Remind David Kopf menceritakan pengalamannya, bahwa diperlukan momen dan titik awal yang pas ketika mengarahkan platform pendidikan menjadi sesuatu berbayar. Apa yang ia lakukan bersama startupnya dalam bisnis model yang telah dirumuskan, selama tahun ke-1 sampai 3 fokus pada penjelajahan pangsa pasar, kemudian tahun ke-4 fokus pada growth dan baru melakukan monetisasi pada tahun ke-6.
Prosesnya pun harus disiasati dengan baik. Beberapa layanan tidak bisa dijual langsung, misalnya penyaji konten. Ketika tidak dapat dielaborasikan dengan institusi resmi seperti sekolah, maka model bisnisnya harus dijalankan setelah memiliki traksi yang kuat. Misal edX, dengan konten premium yang mereka miliki, monetisasi dilakukan dengan cara menjual sertifikat premium untuk setiap capaian belajar.
Kesimpulannya, edtech masih menyimpan sejuta potensial, perlakukannya yang harus menyesuaikan kultur pendidikan di cakupan wilayah pasarnya. Tidak semua strategi dapat berjalan baik, bahkan cenderung harus diberi perlakuan berbeda.
Sign up for our
newsletter