Arip Tirta: Teknologi Bisa Mengubah Orang dan Bisnis Secara Cepat dan Signifikan
Berawal dari Silicon Valley, Arip Tirta memiliki spesialisasi dalam modal serta pinjaman ventura, perusahaan ekuitas, start-up, wirausahawan, manajemen keuangan, dan model bisnis
Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.
Silicon Valley menjadi 'surga'nya industri startup dan Arip Tirta sempat menjajal kawasan ini selama hampir 7 tahun, menganalisis pasar untuk perusahaan pasar modal terkemuka yang berbasis di AS yang memberikan pinjaman kepada perusahaan teknologi, ilmu hayati, dan teknologi berkelanjutan.
Pada tahun 2011 ia memutuskan untuk pulang dan membangun usahanya sendiri. Ia memulai debut di bidang properti bersama UrbanIndo, sebuah layanan online yang membantu penggunanya untuk memasarkan, menjual, dan membeli properti di Indonesia. Setelah diakuisisi oleh startup proptech lain 99.co, Arip melanjutkan berjalanan bisnisnya di sektor akomodasi, Bobobox. Selain membangun usaha, dia juga aktif berinvestasi di startup, termasuk terlibat langsung dalam operasional perusahaan di beberapa startup.
Saat ini, Arip sedang fokus pada Evermos, sosial commerce pertama yang memberdayakan Usaha Kecil Menengah dan individu, dengan menghubungkan pemilik merek ke pengecer hingga konsumen akhir melalui platform. Ia memiliki semangat yang luar biasa dalam mengembangkan ekosistem UKM, juga berperan menjadi bagian dari komisaris BRI Ventures untuk membantu membangun ekosistem VC di Indonesia.
Selain pengalamannya di Silicon Valley, Arip Tirta memiliki spesialisasi di bidang modal ventura, pinjaman ventura, perusahaan ekuitas, start-up, wirausahawan, manajemen keuangan, dan model bisnis. Tim DailySocial berkesempatan untuk berdiskusi mengenai bisnis dan ekspektasi masa depan industri teknologi Indonesia.
Kapan pertama kali Anda menyadari ketertarikan pada industri teknologi?
Saya memiliki latar belakang pendidikan di bidang komputasi ilmiah. Sebuah ilmu kombinasi dari matematika terapan, statistik, dan ilmu komputer. Selama di kampus, saya selalu bermimpi untuk masuk ke Wall Street dan menjadi seorang trader. Namun, hidup tak selalu berjalan sesuai rencana. Di tahun terakhir kuliah saya, saya mendapat kesempatan wawancara dengan salah satu perusahaan modal ventura & ekuitas swasta yang berbasis di Palo Alto. Saat itu, sudut pandang saya tentang industri teknologi masih terbatas, namun, akhirnya saya diterima karena kemampuan teknis.
Perjalanan awal saya di industri teknologi adalah menjadi analis untuk perusahaan pasar modal terkemuka yang berbasis di AS yang memberikan pinjaman kepada perusahaan teknologi, ilmu hayati, dan teknologi berkelanjutan. Selama beberapa tahun pertama, saya adalah generalis sampai pada akhirnya memutuskan untuk fokus pada industri teknologi di tahun ketiga. Saat itu, semuanya mulai terasa lebih menarik. Selama hampir 7 tahun menganalisis pasar di Silicon Valley, saya memutuskan untuk pulang serta mengaplikasikan apa yang sudah saya pelajari di sana.
Setelah menghabiskan waktu cukup lama di Silicon Valley, apa yang meyakinkan Anda untuk meninggalkan kawasan itu dan pulang ke Indonesia?
Jika ada satu hal yang saya pelajari di Silicon Valley, teknologi dapat mengubah orang dan bisnis secara cepat dan signifikan. Contohnya, dalam hal pemasaran. Pada era ketika internet sangat eksklusif, orang harus mengeluarkan banyak uang untuk iklan. Saat ini, pilihan semakin banyak, banyak hal yang bisa dilakukan bahkan dengan keterbatasan finansial. Teknologi mengubah cara kerja pemasaran dan hal ini akan terus berkembang.
Pada tahun 2010, Indonesia mengalami era ledakan internet yang pertama, salah satu momen bersejarah adalah akuisisi Koprol oleh Yahoo! Saya menyaksikan pertumbuhan perusahaan teknologi Indonesia dari jauh dan cukup terkesan. Dengan beberapa pertimbangan serius, saya akhirnya mengambil keputusan besar dan meninggalkan Silicon Valley untuk berkontribusi dalam kapasitas saya dengan pengalaman saya ke pasar Indonesia.
Bagaimana pengalaman pertama Anda dalam membangun startup?
Ketika kita ingin memulai sesuatu, tidak yang namanya perfect timing. Beberapa bulan sebelum berangkat ke kampung halaman, saya sudah mengerjakan beberapa ide dan rencana bisnis, salah satunya adalah industri real estate.
Penampakan Indonesia di tahun 2010 adalah seperti wild wild west dimana infrastruktur dasar sangat terbatas. Oleh karena itu, kami [penggiat teknologi] secara kolektif berusaha mengembangkan fondasinya. Saya melakukannya di sektor properti, lalu yang lain juga melakukannya di berbagai sektor. Pada saat yang sama, kita pun perlu mengedukasi pasar. Dalam kasus ini, pasar tidak hanya mewakili pengguna akhir tetapi juga pemerintah, termasuk keluarga alias masyarakat.
Ketika menginjakkan kaki kembali di tanah air, saya sadar bahwa tidak seharusnya membandingkan kultur kerja di sini dengan yang ada di Silicon Valley. Oleh karena itu, semua saya lakukan tanpa ekspektasi tinggi, yang penting bisa berjalan lancar. Kami mendirikan UrbanIndo pada tahun 2011, layanan online yang membantu pengguna memasarkan, menjual, dan membeli properti di Indonesia.
Pertama, saya melihat dunia properti Indonesia kekurangan data pasar dan memutuskan untuk melakukan disrupsi agar lebih banyak orang dapat memiliki lebih banyak wawasan di sektor ini. UrbanIndo dibangun untuk menjadi situs properti terbaik di Indonesia dengan mendefinisikan ulang cara pandang masyarakat Indonesia terhadap properti. Dengan demikian, seluruh masyarakat Indonesia dapat mengambil keputusan terbaik terkait investasi properti. Kami fokus pada wawasan pasar, perubahan harga, proyeksi, undervalued property yang tersedia, dan sebagainya.
Kami melakukan segalanya dalam kapasitas kami untuk membangun platform ini, didukung oleh Gree Ventures, IMJ Fenox, East Ventures, dan angel investor terkemuka. Sebuah masa yang menyenangkan selama hampir 7 tahun membangun bisnis sampai pada akhir tahun 2017, kami akhirnya memutuskan untuk menerima unsolicited offer dari startup pencarian properti Singapura 99.co.
Diketahui aktif sebagai angel investor, Anda juga salah satu Co-Founder Bobobox serta secara langsung berkontribusi dalam operasionalnya sebagai Managing Director selama hampir satu tahun. Bagaimana Anda mengelola waktu dan kepentingan?
Ketika di UrbanIndo, saya juga menjalankan angel investing. Ada beberapa sektor yang rentan disrupsi. Dengan bobobox, saya terlibat sejak awal. Saya melihat industri travel sedang dalam puncak kejayaan. Banyak orang bepergian, sekedar untuk konten atau dengan harapan mendapat ketenangan pikiran. Lalu kami menemukan bahwa akomodasi yang memakan banyak biaya menjadi masalah besar di segmen ini. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memaksimalkan ruang sehingga menghasilkan penawaran harga yang hemat biaya.
Bobobox didirikan pada tahun 2018, solusi akomodasi baru, muda, ramping, gesit, dan cerdas untuk semua orang. Bobobox menjadi akomodasi alternatif bagi para pelancong milenial dan smarttraveler yang ingin mencoba sesuatu yang baru dan berbeda. Platform ini dibangun untuk merevolusi kebiasaan tidur dan membantu orang tidur lebih baik dan menyajikan pengalaman lebih banyak melalui teknologi.
Angel Investing di Indonesia semakin populer karena banyak pendiri startup telah exit dan individu dengan kekayaan berlimpah yang semakin tertarik untuk berinvestasi langsung di startup. Berbeda halnya dengan Silicon Valley, karena di sana sudah terjadi siklus penuh dari pendirian startup hingga exit. Sementara di Indonesia, tahun ini bisa terjadi full cycle ketika unicorn/decacorn nasional berhasil exit di bursa luar negeri.
Sebagai social commerce, Evermos fokus untuk memberdayakan UMKM dan individu pada platformnya, secara khusus brand-brand Muslim. Mengapa anda memutuskan menggunakan pendekatan seperti ini?
Kilas balik ke Silicon Valley, dulu saya sempat berpikir untuk memulai usaha di ranah e-commerce. Di setiap daerah, sektor yang biasanya lebih dulu take off adalah e-commerce, juga yang pertama menjadi unicorn. Namun, ketika saya melihat situasi di Indonesia saat itu, sudah ada beberapa pemain papan atas dan jika harus menambahkan, tidak akan ada perbedaan yang signifikan dalam hal value proposition.
Melaju ke 2018, saya melihat ada banyak pain points di industri ritel. Ada banyak perantara yang dibutuhkan untuk menyelesaikan siklus dari pemilik merek hingga pengguna akhir. Dan saya berpikir, bagaimana mendisrupsi pasar ritel ini? Bertahun-tahun telah berlalu sejak e-commerce berkembang di seluruh Indonesia, tetapi persentase pembelian online masih terhitung tidak cukup besar. Ada beberapa alasan, salah satunya adalah manusia sebagai makhluk sosial dan budaya.
Saat itu, perdagangan sosial belum menjadi sesuatu. Bahkan, kami juga berusaha membawa dampak positif e-commerce ke pasar yang lebih besar. Didirikan pada November 2018, Evermos menjadi social commerce pertama yang memberdayakan Usaha Kecil Menengah dan individu, dengan menghubungkan pemilik merek ke pengecer hingga konsumen akhir melalui platform kami.
Kami ingin menciptakan ekonomi dan kesejahteraan yang inklusif dengan memberikan akses, kesempatan, dan pelatihan bagi individu dan UKM untuk lebih mandiri secara finansial.
Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, oleh karena itu, kami memutuskan menjadi platform yang berbasis syariah. Namun, ini tidak eksklusif dan terbuka untuk semua jenis pedagang terlepas dari basis syariah tersebut. Pendekatan ini semata-mata demi membuat platform lebih inklusif.
Saya memutuskan fokus dengan UKM karena industri ini telah menyumbang 60% dari PDB kita dan menyerap sekitar 97% tenaga kerja domestik. Belum dihitung dengan pekerja unskilled. Evermos dianggap mengambil jalan yang sulit, jauh lebih mudah menjangkau merek global dengan pola pikir yang berkembang dan teknologi yang canggih. Namun, kami mempertanyakan diri sendiri, dampak seperti apa yang ingin diberikan, apakah itu menghasilkan keuntungan jangka pendek atau keuntungan jangka panjang. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk fokus pada merek lokal yang dapat memberikan dampak bagi perekonomian bangsa.
Kami percaya sekelompok orang atau UKM yang bekerja sama dengan platform dan insentif yang tepat, dapat mencapai sesuatu yang substansial. Itulah mengapa kami menaruh kepercayaan pada social commerce, karena ini adalah ekonomi kerakyatan, di mana kami dapat menjadi jembatan bagi UKM di tahap awal. Dengan Evermos, mereka dapat fokus pada produksi untuk menciptakan harga yang kompetitif dengan pemain global. Saluran penjualan kami tersebar di seluruh Indonesia, sehingga merek lokal otomatis akan memiliki jangkauan nasional. Inilah yang menjadi proposisi nilai kami.
Ketakutan terbesar saya dari sisi startup teknologi atau UKM adalah negara kita menjadi konsumen tunggal. Kita harus bisa membangun nilai, bukan menjadi pedagang tunggal. Perekonomian Indonesia harus memiliki dampak positif, itu adalah bagian penting dari bangsa ini.
Anda telah mengarungi sektor properti, akomodasi, lalu social commerce. Apa yang menjadi tantangan terbesar atau pelajaran berharga dari semua pengalaman tersebut?
Setiap industri memiliki masalah yang berbeda. Sebenarnya, ada beberapa masalah serupa yang harus kita waspadai dan tingkatkan secara kolektif. Di Indonesia, beberapa startup biasanya mengalami kesulitan dalam monetisasi. Kesalahan kami sebelumnya adalah memikirkan pangsa pasar dan menjadi yang terdepan lebih dulu, lalu memikirkan tentang monetisasi. Strategi ini telah terbukti di banyak negara. Nyatanya, Indonesia adalah bangsa yang unik, banyak orang berpendapat solusi internet seharusnya gratis. Strategi seperti ini mungkin berhasil di negara lain tetapi di Indonesia adalah sebuah peruntungan.
Kedua, sumber daya manusia. Hingga saat ini, Indonesia masih mengalami krisis karena kurangnya pekerja di lapisan tengah. Dari sisi suplai, talenta masih cukup langka, terutama yang berlatar belakang teknologi. Saya pikir kedua masalah ini terjadi di hampir semua sektor.
Berpengalaman sebagai venture capitalist serta venture builder, bagaimana Anda melihat iklim investasi di Indonesia serta proyeksi pertumbuhan industri teknologi Indonesia beberapa tahun terakhir?
Seperti yang saya katakan sebelumnya, Indonesia belum pernah menciptakan satu siklus penuh dalam hal investasi ventura. Mulai dari investasi hingga panen. Tahun ini akan menjadi tahun validasi bagi unicorn/decacorn yang sudah memiliki rencana IPO. Semoga exit tersebut juga bisa menjembatani startup lain untuk kegiatan M&A. Indonesia sudah menjadi pasar yang sangat menarik, ini adalah cara kita untuk memicu lebih banyak kisah sukses yang berdampak pada seluruh ekosistem.
Di era pandemi, banyak orang mencari modal, sementara VC semakin selektif dengan investasinya. Melalui dua perspective, bagaimana menurut Anda sebuah bisnis layak mendapat investasi serta apa value utama yang dicari investor dari sebuah bisnis/seorang founder?
Pandemi ini adalah sebuah anomali dan yang menjadi reaksi pertama adalah menunggu dan mengamati. Seiring berjalannya waktu, investor semakin beradaptasi dan menyesuaikan dengan kondisi saat ini, melihat beberapa perusahaan dapat melewatinya dengan pertumbuhan yang sehat. Lagipula, ada sejumlah uang yang harus dikucurkan ke perusahaan. Ketika masa menunggu dan mengamati berlalu, para investor mulai masuk secara selektif.
Saat ini, banyak startup yang juga sedang menggalang dana, dan situasinya diharapkan semakin membaik. Mengenai penilaian VC, itu sangat tergantung pada pasar dan pengalaman pribadi. Ada kalanya pertumbuhan menjadi hal yang mendasar, dewasa ini, bukan lagi perihal pertumbuhan dengan cara apapun, tetapi pertumbuhan yang sehat.
Sebagai salah satu komisaris di BRI Ventures, saya pribadi memiliki dua hal. Pertama, perusahaan ingin membangun ekosistem VC di Indonesia. Karena banyak VC membangun kantor di negara ini, uangnya tidak tinggal di sini. Hal ini adalah tentang bagaimana membuat VC dan uangnya bisa tinggal untuk membangun ekosistem. Kedua, BRI sebagai bank yang fokus pada UKM sangat selaras dengan passion saya terhadap UKM.
Sebagai salah seorang yang layak disebut seasoned entrepreneur, apa hal yang dapat Anda sampaikan untuk para penggiat teknologi yang saat ini sedang berjuang membangun bisnis di era pandemi?
Untuk membuat startup teknologi, diperlukan pola pikir tertentu serta tidak menunggu waktu yang tepat. Selalu pikirkan jalan keluar terbaik dari situasi apa pun. Bagaimana kita bisa membuat kartu yang jelek bisa bekerja. Faktanya, ketika kita memutuskan untuk membangun usaha, tantangan adalah sesuatu yang sudah diantisipasi. Jika Anda harus menunggu waktu yang tepat, bagaimana Anda bisa menghadapi lebih banyak tantangan di depan.
Saya pribadi suka tangan saya kotor, itulah mengapa saya selalu terlibat di level operasional. Namun, saya mengerti bahwa inilah saatnya bagi kaum muda untuk berkembang. Saat ini saya sedang memfokuskan energi saya untuk membimbing dan sudah waktunya untuk menyerahkan tongkat estafet ini. Kita hidup di masa yang sangat menyenangkan. Sekitar 400 tahun yang lalu, hampir tidak mungkin menciptakan dampak besar dalam waktu sesingkat itu. Teknologi menciptakan kesempatan yang sama dan menarik kesenjangan lebih dekat bagi orang-orang untuk menciptakan dampak yang besar.
–Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian
Sign up for our
newsletter