Berharap Gemuruh Pertentangan Taksi Online Berakhir Lewat Revisi PMP Nomor 32/2016
Mendalami positif dan negatifnya 11 poin aturan revisi yang akan ditetapkan pemerintah
Pemerintah akhirnya menjawab akan segera melakukan revisi Peraturan Menteri Perhubungan (PMP) Nomor 32/2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, pasca aksi demonstrasi yang terjadi baru-baru ini di berbagai daerah.
Revisi ini rencananya akan diketuk palu pada 1 April 2017. Dalam aturan tersebut, nantinya akan ada 11 poin penting yang patut diperhatikan oleh perusahaan transportasi berbasis aplikasi (Grab, Uber dan Go-Car), serta mitra pengemudinya. Mulai dari perubahan definisi, tarif, kuota kendaraan, STNK berbadan hukum, kapasitas mesin kendaraan hingga pemberian sanksi.
Semangat yang ingin disampaikan oleh pemerintah sebenarnya cukup baik, yakni meredakan perselisihan dengan menyediakan aturan yang diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan kedua belah pihak.
Aturan main tersebut kini bisa dibilang jadi lebih jelas untuk perusahaan transportasi berbasis aplikasi, mengingat sudah ada payung hukum yang akan selalu memantau seluruh pergerakan mereka.
Beberapa aturan yang harus dipatuhi misalnya pengemudi taksi online diharuskan memakai stiker khusus berbentuk bulat sebagai simbol dari roda dan di dalamnya terdapat huruf T yang merupakan tanda dari kata Taksi.
Jumlah kendaraan beredar pun juga akan dibatasi sesuai kebutuhan daerah setempat. Kapasitas akan ditentukan dan terbuka kemungkinan untuk evaluasi berkala secara tahunan.
Dari sisi tarif, pemerintah menerapkan batas atas dan batas bawah agar terjadi keseimbangan dengan mode transportasi publik konvensional. Besaran tarif akan bergantung pada masing-masing Pemda setelah menampung aspirasi dari pengusaha angkutan kota dan mitra transportasi online.
Prediksi saya ada beberapa poin yang mungkin akan memberatkan perusahaan transportasi berbasis aplikasi dalam revisi ini. Yang pertama mengenai pajak dengan salah satu persyaratan yang menetapkan bahwa mereka harus mempunyai/menguasai server atau pusat data yang berdomisili di Indonesia.
Yang kedua adalah akses dashboard yang bisa diakses oleh pemerintah untuk memantau operasional pelayanan angkutan dalam pengawasan dan pembinaan operasional. Pemerintah meminta aplikasi dashboard paling sedikit memuat profil perusahaan, data seluruh perusahaan angkutan umum yang bekerja sama, data seluruh kendaraan dan pengemudi, dan layanan pelanggan berupa telepon, email, dan alamat kantor perusahaan.
Kedua aturan ini mungkin kurang cincai bagi perusahaan transportasi online. Pasalnya, perusahaan yang notabenenya berasal dari pemain luar umumnya menempatkan pusat datanya di luar negeri, mungkin yang terdekat di Singapura. Sepengetahuan saya, masih jarang perusahaan teknologi yang menempatkan pusat datanya di lokal mengingat belum terjaminnya keamanan komputasi awan.
Belum lagi aturan mengenai akses dashboard. Mau tak mau perusahaan tersebut harus membuka diri dengan menyerahkan data-data pentingnya kepada pemerintah untuk dipantau terus sistem operasionalnya.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah dalam revisi ini pemerintah sudah mengajak diskusi dengan seluruh stakeholder dari kedua belah pihak? Apakah seluruh poin dari revisi ini mencerminkan seluruh kebutuhan yang memang benar-benar dibutuhkan? Bila pemerintah tidak melakukan ini, bisa jadi memicu gemuruh lainnya bukannya malah meredakan.
Jawaban pemerintah yang terlambat
Pemerintah lagi-lagi bisa dikatakan terlambat dalam menanggulangi konflik sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Asal tahu saja, konflik ini sudah mencuat sejak aplikasi transportasi online berhamburan di Indonesia pada 2015.
Aksi penolakan terus terjadi hingga kini meski terkadang diwarnai aksi anarkis, mungkin kejadian yang cukup disesalkan adalah memakan korban seperti terjadi di Tangerang.
Pemerintah sudah semestinya untuk lebih cepat tanggap dalam menjawab konflik sosial, apalagi kejadiannya tidak hanya di Jakarta saja tapi sudah merembet ke kota lainnya.
Di satu sisi, inovasi yang dihadirkan perusahaan seperti Uber, Grab, dan Go-Car merupakan jawaban dari pergerakan zaman yang kini sudah mengarah ke digital. Mereka bisa dibilang menjadi "pahlawan" bagi orang-orang Indonesia yang sudah terlampau lelah dengan kemacetan jalanan.
Kehadiran mereka sangat disyukuri, belum lagi tarif yang ditawarkan jauh lebih murah. Toh, strategi "bakar duit" masih dipakai oleh perusahaan demi menarik banyak pengguna.
Tentu saja tidak semua masyarakat memiliki pandangan yang sama. Itu maklum saja. Menjadi pengemudi angkutan umum atau ngojek adalah pekerjaan yang sudah ada dan dilakoni sejak puluhan tahun. Hal inilah yang mungkin jadi penyebab berbedanya pola pikir setiap orang untuk terbuka pada perkembangan zaman.
Saya pribadi berharap semoga revisi ini jadi pengakhir konflik. Semua pihak bisa menunjukkan komitmennya untuk mematuhi aturan main ini dan tidak bertindak culas.
Pemerintah juga harus menunjukkan komitmen untuk tegas dalam praktiknya ketika aturan diresmikan. Siapapun yang melanggar aturan harus ditindak tegas, jangan sampai ada bias.
Toh, ini semua demi kepentingan bersama. Seluruh orang bisa mencari rezeki lebih nyaman dan penumpang pun jadi aman, sebab rezeki tiap orang itu sudah di tangan Tuhan.
Sign up for our
newsletter