Dampak Kompetisi Pengembangan Aplikasi untuk Ekosistem Teknologi Digital
Dapat menjadi sarana menunjukkan karya pengembang, namun masih perlu memikirkan langkah pengembangan bisnis ke depan
Ajang kompetisi Indonesia Next Apps 3.0 yang digelar Samsung bersamaan dengan peluncuran perangkat Samsung Z2 yang berbasis sistem operasi Tizen telah berakhir kemarin. Dalam kompetisi tersebut, para peserta yang berpartisipasi berlomba untuk menunjukkan inovasi terbaik mereka dalam membuat aplikasi. Namun pernahkan Anda bertanya, dampak apa yang bisa diberikan oleh sebuah ajang kompetisi pengembangan aplikasi terhadap ekosistem teknologi digital?
General Manager Infinys System Indonesia Dondy Bappedyanto yang menjadi salah satu juri untuk kategori Tizen Apps dalam kompetisi Indonesia Next Apps 3.0 (INA 3.0) menyampaikan bahwa kompetisi seperti INA sebenarnya bisa menjadi langkah awal para developer untuk memvalidasi apakah ide mereka bisa dilempar ke pasar atau tidak. Di samping itu, ini juga bisa mengisi kekosongan yang ada sekarang karena kompetisi-kompetisi serupa mulai jarang di Indonesia.
Dondy mengatakan, “Kompetisi seperti INA ini bagus karena yang seperti ini sudah mulai jarang di Indonesia. […] Jadi yang Samsung lakukan ini bisa mengisi kekosongan yang ada sekarang dan para developer di Indonesia bisa memanfaatkannya untuk menunjukkan karya mereka dan mendapatkan apresiasi. […] Setidaknya dengan kegiatan seperti ini mereka bisa melakukan validasi awal, apakah produknya cocok untuk dilempar ke pasar atau tidak.”
CEO Omni VR Nico Alyus yang menjadi juri di kategori virtual reality (VR) pun memberikan pendapat yang tidak jauh berbeda. Nico mengatakan bahwa industri VR yang saat ini masih berada di tahap sangat awal pertumbuhannya mebutuhkan hal-hal seperti kompetisi INA. Alasannya sederhana, kompetisi dianggap Nico bisa menjadi trigger bagi orang-orang untuk mulai membuat konten VR karena dari sini peluangnya bisa terlihat.
“Ini [kompetisi] harusnya bisa encourage orang untuk berani mencoba karena melihat opportunity-nya itu ada kalau memang dia [pengembang-pengembang] benar-benar ingin membuat sesuatu. Jadi, tidak hanya berpikir kalau ‘ini kayaknya seru’ karena itu hanya akan berakhir di situ saja. You have to make it, benar-benar membuatnya dan acara seperti ini bisa menajadi trigger bagi orang-orang untuk membuat apa yang mereka inginkan [di VR]. Ini yang harus di jaga agar ekosistemnya bisa berjalan,” kata Nico.
Nada yang sama juga datang dari CEO Setipa Razi Thalib yang menjadi juri di kategori wearable dalam kompetisi INA 3.0. Razi berpandangan, kompetisi seperti INA bisa memberikan indikasi awal bahwa developer yang mengembangkan aplikasi sudah mulai paham siapa target pasar mereka. Apalagi di ranah wearable yang membutuhkan perhatian dari sisi UI/UX karena memiliki limitasinya sendiri.
Pun begitu, ada satu hal yang masih menjadi perhatian yakni di sisi monetisasi layanan. Baik Razi, Dondy, maupun Nico sepakat bahwa salah satu kendala produk yang lahir dari sebuah kompetisi adalah model bisnis yang umumnya masih belum matang.
“Dari sisi kualitas, aplikasi yang ada itu sudah bagus. Tapi yang menjadi kekurangan, yang juga menjadi bagian dari proses nantinya, adalah maturity dari bagaimana men-generate business model. […] Ini expected sebenarnya, karena saat ini orang kita memang masih lemah kalau membicarakan model bisnis yang kreatif,” ujar Dondy.
Dondy menambahkan, “Contohnya, kalau paid app itu kan kita sudah tahu susah laku di Indonesia. Sedangkan untuk in-app purchase yang dicari adalah bagaimana caranya agar orang mau melakukannya. Kalau tidak menarik, ya itu juga tidak laku. Hal-hal seperti ini yang saya lihat masih kurang, tetapi kalau dari sisi kualitas aplikasi itu sudah sangat bagus.”
Sementara itu Director at Samsung R&D Institute Indonesia Risman Adnan menyampaikan bahwa jika ada 1000 steps untuk menjadi entrepreneur yang sukses, kompetisi INA ini baru step dari 0 ke 1. Meski demikain, ini merupakan langkah paling penting karena artinya dia sudah mau memulai.
Di sisi yang lain, kompetisi INA 3.0 ini juga menjadi salah satu upaya Samsung untuk membantu melengkapi eksositem Tizen yang mulai dibawa masuk ke Indonesia. Melalui kompetisi ini, Samsung secara perlahan mulai memenuhi aplikasi-aplikasi yang bisa dijalankan di sistem operasi Tizen miliknya.
Lewat kompetisi ini juga, menurut Razi, harusnya para pengembang lokal dapat melihat peluang baru yang terbuka. Ada pasar baru yang bisa digarap jika memang eksositemnya nanti bisa berjalan, bertahan, dan tumbuh dengan subur di Indonesia.
Razi mengatakan, “Dari beberapa yang menang atau [nantinya] sukses dari kompetisi ini [INA 3.0] mungkin bisa menjadi contoh atau panutan bagi beberapa pengembang muda yang lain untuk melihat bahwa ini ada potensi untuk mengembangkannya. Merebut pasar lah istilahnya, daripada kita menunggu game dari luar.”
“Kalau ini bisa menjadi contoh atau panutan, harusnya bisa membantu orang-orang mengambil langkah untuk mengembangkan sesuatu [aplikasi]. […] Kalau nanti pasarnya berkembang, bisnis-bisnis, ide-ide, atau games development yang dibikin sekarang itu bisa menjadi membantu mengurangi barrier seseorang untuk mau mencoba hal yang baru [Tizen OS], “ tandasnya.
Sign up for our
newsletter