Dampak Oyo Terhadap Ekosistem Hotel Bujet Tanah Air
Tarif yang terlalu murah dan penyewaan kamar indekos secara harian jadi sorotan utama
Tahun 2019 merupakan salah satu momen kejayaan operator hotel bujet di Indonesia. Perusahaan seperti Oyo, Reddoorz, Airy, dan ZenRooms memberikan opsi tambahan bagi para pelancong ketika harga tiket pesawat mengalami kenaikan siginfikan. Dari nama-nama tersebut, Oyo bersinar paling terang.
Di tangan pemuda India bernama Ritesh Agarwal, Oyo melejit sebagai salah satu startup dengan pertumbuhan paling cepat hingga akhirnya mereka menjelma sebagai unicorn. Sejak berdiri pada 2013, Oyo sudah beroperasi di banyak negara mulai dari kawasan Asia Selatan, Asia Tenggara, Timur Tengah, Asia Timur, Eropa, hingga Amerika Latin. Mereka pun sukses mendapat dukungan investasi dari Softbank dalam putaran pendanaan terakhir yang bernominal $1,5 miliar.
Indonesia sendiri merupakan salah satu pasar yang paling diperhitungkan Oyo. Oyo menggelontorkan dana untuk pasar tanah air senilai $300 juta atau setara Rp4,2 triliun tahun lalu. Oyo Indonesia berhasil meraih 5 juta pelanggan sepanjang tahun dan menggandeng 27.000 kamar dan 1.000 hotel. Sebuah pencapaian yang begitu besar untuk perusahaan yang belum terlalu lama bermukim di Indonesia.
“Kami pernah menyampaikan bahwa kita akan berinvestasi US$100 juta pada tahun lalu. Sekarang kami akan memperbarui investasi itu menjadi US$300 juta berkaca dari kesuksesan kita di sini,” ucap Ritesh saat bertandang ke Indonesia pada September lalu.
Kesuksesan kilat Oyo bukan tanpa alasan. Kecepatan mereka mengakuisisi properti baru tak lepas dari skema minimum guarantee (MG) yang mereka tawarkan. Skema ini memungkinkan pemilik properti mendapat jaminan bayaran dengan nominal tetap yang diukur dari potensi properti mereka terlepas dari berapa tingkat okupansinya. Sara (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu mitra yang mengaku memutuskan bermitra dengan Oyo karena skema ini. Sara mendapat jaminan Rp36 juta per bulan dari Oyo untuk hotel bujetnya. Ketertarikan serupa dialami mayoritas mitra mereka di seluruh dunia.
Pandemi mengubah cerita manis tersebut. Anjloknya tingkat okupansi dan beban operasional yang tak berkurang memaksa mereka mengambil langkah drastis, yakni mengganti skema MG itu dengan skema bagi hasil. Ritesh sudah mengakui perubahan skema ini. Begitu pula dengan Oyo Indonesia yang diwakili oleh Country Head, Emerging Business, Eko Bramantyo.
“Yang kita sampaikan sederhana kepada para mitra terhormat bahwa kita tidak bisa lagi pakai model MG tapi dengan bagi hasil atau revenue share. Ini terjadi karena kita enggak tahu okupansinya akan berapa dan kedua kita enggak tahu harganya akan bagaimana karena pergerakan harga ini luar biasa signifikan dan beragam. Kita tidak bisa lakukan model bisnis seperti sebelum corona,” terang Eko dalam sebuah sesi tanya jawab dengan media pekan lalu.
Dampak terhadap ekosistem perhotelan bujet
Kesuksesan Oyo sebagai hotel bujet juga mengundang keresahan pelaku bisnis hotel bujet. Harga kamar Oyo yang begitu murah dianggap menjadi masalah baru, bahkan oleh para mitranya sendiri. Albert, seorang pemilik properti di Jawa Timur yang sempat bermitra selama setahun dengan Oyo, mengeluhkan bagaimana murahnya tarif yang diterapkan Oyo sebagai bentuk predatory pricing. Ketika harga hotel bujet berada di kisaran Rp200.000-Rp300.000, Oyo bisa menekan harga hingga setengahnya saja memanfaatkan kekuatan modal dengan menggaet hotel bujet lain, homestay, guesthouse, hingga kamar indekos yang dijual secara harian dengan tarif per malam bisa di bawah Rp100.000.
“Bisa dibilang mereka menurunkan standar industri. Dengan harga hotel turun terus, gaji pegawai harus turun, service charge harus ditiadakan, dari safety juga dikurangi. Ini bukan persaingan yang sehat lagi. Dan yang mereka lakukan dengan bilang dynamic pricing itu omong kosong karena mereka itu predatory pricing," tegas Albert.
Sara pun berpendapat serupa. Setelah kurang lebih satu tahun bermitra, ia mengaku murahnya harga kamar yang ditawarkan Oyo menyebabkan kemungkinan terburuk dari tamu yakni pelajar yang belum cukup umur, hingga anak-anak mudah yang sekadar ingin mabuk-mabukan. “Saking murahnya harga dasar yang mereka kasih, pernah kejadian kasus tamu kemalingan di kamar yang ternyata setelah diselidiki buntut aksi prostitusi online,” ujar Sara.
Protes sekaligus harapan diletakkan pemilik properti ke platform digital pemesanan akomodasi hotel, misalnya Traveloka dan Pegipegi. Mereka menilai, sebagai kanal penjualan kamar hotel, platform punya daya tawar untuk mencegah penetapan harga yang terlalu murah dengan mempertimbangkan banyaknya laporan ketidakpuasan konsumen.
Kepada DailySocial, Traveloka mengaku selalu memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama bagi mitra penyedia akomodasi yang tergabung ke dalam platform dan menjalin komunikasi dengan mitra untuk menjaga pengalaman menginap tamu. Sementara Pegipegi menjelaskan pihaknya menyayangkan penetapan tarif menginap yang terlalu murah. Namun mereka mengaku hal itu menjadi domain operator properti. “Dari sisi yang kami lakukan, kami tidak meng-highlight properti tersebut di aplikasi kami,” tegas Corporation Communications Manager Pegipegi, Busyra Oryza.
Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengakui, keluhan para pemilik hotel bujet terhadap cara main operator virtual ini sudah terdengar cukup lama. Persaingan tidak sehat tersebut menurut Maulana berasal dari beberapa faktor. Pertama adalah ketidakcermatan pemilik properti sendiri yang kerap terlena oleh jaminan pendapatan yang ditawarkan operator virtual, meskipun pada akhirnya ia juga mewajarkan ketertarikan para pemilik untuk bermitra. Sementara di satu sisi, operator punya hak menetapkan harga semurah itu karena mereka sudah diberikan kewenangan untuk mengelola segala hal termasuk soal penetapan harga.
Namun Maulana menunjuk lemahnya pengawasan pemerintah pusat dan daerah sebagai penyebab utama rendahnya tarif hotel bujet setahun belakangan. Yang paling kentara, menurutnya, adalah maraknya penggunaan akomodasi bulanan seperti indekos sebagai penginapan harian. Ketika operator virtual merambah kamar indekos, persaingan bisnis menurutnya makin tak wajar. Ia menuding pemerintah pusat dan daerah tidak tegas menertibkan kondisi tersebut.
“Kami dari PHRI melihat pemerintah pengawasannya masih kurang karena harusnya pemerintah sebagai pemilik peraturan bisa lebih tegas. Perbedaan pungutan harga itu terjadi karena ada perbedaan pungutan pajak dan perizinan. Pemerintah jadi kunci, khususnya pemerintah daerah,” sambung Maulana.
Berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Industri (KBLI) Bidang Pariwisata 2015 indekos memang tidak masuk ke dalam klasifikasi penyediaan akomodasi jangka pendek. Dasar peraturan ini yang dipegang teguh PHRI mengkritik keras operator virtual seperti Oyo maupun pemerintah sebagai regulator. “Kalau enggak dibenahi, pengusaha akan berantakan, yang rugi juga nanti para karyawannya. Nanti tidak ada hotel bujet, tapi adanya malah kos-kosan,” imbuh Maulana.
Kurang silaturahmi
Eko Bramantyo menanggapi kecaman PHRI itu dengan cukup santai. Eko sendiri mengaku sudah datang langsung ke acara musyawarah nasional PHRI yang terakhir digelar Februari lalu. Ia menilai ribut-ribut mengenai metode bisnis mereka terjadi karena komunikasi yang kurang baik. Itu sebabnya mereka berniat memperbaiki komunikasinya dengan asosiasi industri serta pemerintah.
“Yang menyebabkan keributan-keributan itu sebetulnya satu, silaturahminya belum terjalin dengan baik. Kalau terjalin dengan baik, yang diuntungkan negara ini karena pada akhirnya akan menciptakan peluang-peluang bisnis dan koridor sinergi bisnis yang akahirnya mensejahterakan lingkungannya,” tukas Eko.
Oyo Indonesia mengakui komunikasi dan sinergi mereka dengan regulator dan pelaku industri masih belum ideal dan mulus untuk saat ini. Eko menjadikan hal itu sebagai indikator kinerja perusahaannya bisa lebih baik. Oyo tentu mendambakan hubungan baik tersebut karena mereka dikenal agresif dalam melakukan ekspansi bisnisnya.
Namun, sementara ini, Oyo dipastikan tidak akan jor-joran seperti sebelumnya. Eko menyebut pihaknya kehilangan tingkat okupansi hingga 60% selama pandemi berlangsung. Eko juga mengklaim saat ini tak memikirkan market share karena semua sumber daya difokuskan untuk bertahan hingga setahun ke depan. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah mengubah skema MG menjadi skema bagi hasil.
Semenjak pandemi melanda Indonesia, bisnis perhotelan adalah salah satu sektor yang terdampak paling keras. PHRI menyebut sudah lebih dari 2.000 hotel berhenti beroperasi hingga awal Mei. Angka ini diprediksi masih bisa terus bertambah walaupun pemerintah sudah melonggarkan pembatasan mobilitas penduduk di banyak daerah.
Dalam kasus Oyo, Albert sebagai pemilik hotel kelas bujet menilai Covid-19 hanya memperjelas kondisi persaingan yang tidak sehat. Banyaknya hotel yang tutup bahkan ketika pandemi baru melanda Indonesia menurutnya adalah pertanda bahwa selama ini hotel sudah berdarah-darah untuk sekadar beroperasi. “Itu artinya hotel tidak punya dana untuk daily basis operation,” Albert mengakhiri.
Oyo Indonesia tentu membantah tudingan tersebut. Mereka menyebut tarif murah itu merupakan value proposition mereka yang diperoleh dari mekanisme dynamic pricing berdasarkan teknologi yang mereka pakai. Kalaupun ada harga kamar yang tampak begitu murah, mereka berdalih itu terjadi dalam rangka promo dengan periode waktu tertentu saja.
Sign up for our
newsletter