Evolusi Fintech: Skalabilitas dan Pemahaman Regulasi Kini Jadi Fokus Inti
Merangkum paparan panelis LinkAja, DANA, serta ATM Capital di sesi Indonesia PE-VC Summit 2024
Beberapa panelis mewakili sektor fintech dan pemodal ventura bicara banyak terkait perkembangan industri teknologi finansial dulu dan sekarang dalam konferensi Indonesia PE-VC Summit 2024 oleh DealStreetAsia, Kamis (25/1). Konferensi tahunan ini mempertemukan para investor dengan pelaku industri teknologi digital.
DailySocial.id merangkum sesi "Fintech in Indonesia: The models in the spotlight" dari C-level LinkAja dan DANA, serta pemodal ventura ATM Capital yang berkaitan dengan:
- Evolusi dompet digital dulu dan sekarang
- Pivot B2C ke B2B untuk skalabilitas dan profitabilitas bisnis
- Pelaku fintech perlu memahami betul soal regulasi
Evolusi dompet digital
Membuka sesi ini, Chief Operating Officer DANA Dean Krstevski membagikan pandangannya terkait evolusi fintech, terutama platform dompet digital (e-wallet) dulu hingga saat ini. DANA merupakan salah satu e-wallet yang lahir di generasi awal industri digital Indonesia.
Ada tiga perubahan signifikan yang ia temukan. Pertama, peningkatan signifikan pada penetrasi layanan digital, didorong oleh penggunaan e-wallet. Menurutnya, sebelum 2018, transfer bank atau rekening virtual menjadi metode pembayaran yang paling banyak menggunakan untuk berbelanja online, atau tunai (COD) untuk pengguna yang tidak memiliki rekening.
Kedua, peningkatan pembayaran digital semakin besar sejalan dengan peluncuran QR hingga distandardisasi menjadi QRIS. Ketiga, pemain e-wallet seiring berjalannya waktu mulai fokus terhadap bisnisnya dan mengurangi insentif (promo atau cashback) untuk meningkatkan unit ekonomi bisnis.
"Dan kami telah melihat perubahan tersebut secara signifikan selama bertahun-tahun. Bahkan semakin banyak pedagang yang memiliki dompet digital sebagai metode pembayaran utama untuk transaksi online. Meski cashback berkurang, tetap ada growth. Kita menuju ke arah yang tepat," ujar Dean.
Pivot demi skalabilitas
Dalam kasus LinkAja, perusahaan memutuskan untuk menggeser model bisnisnya ke B2B untuk meningkatkan skala bisnisnya demi mencapai profitabilitas, sebagaimana juga tengah dikejar oleh pelaku startup lainnya. Pivot ini juga bukan semata soal efisiensi operasional.
LinkAja pivot sejak 2022, sebuah langkah signifikan mengingat model bisnis dompet digital di Indonesia didominasi oleh model B2C. Menurut Chief Finance & Strategy Officer LinkAja Reza Ari Wibowo, pivot ini mampu mengurangi opex hingga 50%, didorong oleh pemangkasan biaya pemasaran dan biaya infrastruktur sekitar 40%-50%, selama dua tahun berturut-turut.
Dalam menjalankan model B2B, LinkAja memanfaatkan ekosistem dan aset yang dimiliki induk usaha, Telkomsel, serta masuk ke ekosistem BUMN. Misalnya, LinkAja memfasilitasi transaksi produk pulsa atau paket data pada ratusan ribu reseller Telkomsel.
"Kami yakin strategi ini akan membantu kami meraih pelanggan dalam jumlah besar dan meningkatkan profitabilitas kami. Rata-rata pendapatan bersih per pengguna LinkAja kini naik 8x lipat. Tingkat retensi kami melesat dari 55% menjadi 275%. Profitabilitas kami juga naik menjadi EBITDA positif triwulanan."
Perlu pahami regulasi
Founding Partner ATM Capital Minjung Liang mengaku telah menyaksikan perkembangan industri fintech dalam enam tahun terakhir. Ia berujar, saat pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia, fintech masih sebatas konsep. Investor tidak yakin konsep ini dapat berhasil dan berkembang di Indonesia atau negara-negara lain di Asia Tenggara.
Namun, setelah 6 tahun, ia telah melihat banyak pelaku fintech berkembang signifikan dan memberikan dampak besar terhadap kehidupan masyarakat; membuktikan bahwa fintech tak hanya sekadar konsep di atas kertas.
More Coverage:
Terlepas dengan hal itu, faktanya masih banyak populasi unbanked dan underbanked yang persentasenya masing-masing mencapai 40% dan 20%. Ini akan menjadi peluang dan PR bagi startup keuangan untuk memecahkan masalah tersebut.
"[Startup] manapun di industri ini, harus memiliki pemahaman kuat terhadap regulasi. Mereka harus tahu bahwa industri keuangan punya dampak sosial yang sangat besar terhadap perekonomian dunia secara keseluruhan. Mereka harus memahami perkembangan sosial negara ini selanjutnya. Bagi sektor keuangan, masalah terbesarnya adalah bagaimana mereka dapat bertahan di siklus tersebut. Di awal, mereka bisa menghasilkan pendapatan, tetapi bisakah melalui situasi tech winter?"
ATM Capital adalah VC asal Tiongkok yang telah berinvestasi di sejumlah startup Indonesia, seperti J&T Express, Tomoro Coffee, Kargo, dan Jumpstart.
Sign up for our
newsletter