Menanti Gelombang Besar Startup Energi Baru di Indonesia
Sekelumit startup di sektor energi terbarukan sudah bermunculan, sejumlah kendala masih merintangi
Listrik adalah urat nadi hidup manusia saat ini dan energi fosil adalah penunjang utamanya. Namun energi fosil tak akan bertahan selamanya dan eksplorasi energi alternatif akan terus terjadi. Pencarian energi yang bersih, murah, dan berkesinambungan adalah prinsip utama dari energi baru terbarukan (EBT) ini.
Dalam hal inilah negara-negara berkompetisi. Sadar akan ketersediaan energi fosil seperti gas, minyak bumi, batubara yang terbatas, pencarian energi baru menjadi tak terhindarkan lagi. Beberapa bahkan sudah berhasil mengadopsinya dalam skala besar seperti di Tiongkok dan Jerman. Indonesia pun perlahan mulai mengekor.
Indonesia sendiri sudah punya sejumlah pembangkit listrik non-fosil mulai dari tenaga air, bioenergi, surya, angin, hingga geotermal. Namun hingga 2019, bauran energi primer pembangkit listrik masih jauh didominasi oleh batu bara (60,50%) dan gas (23,11%). Kapasitas pembengkit listrik EBT sendiri menyumbang 10.157 Megawatt saja.
Kabar baiknya adalah jumlah tersebut selalu naik meski perlahan. Pemerintah sudah menargetkan sejak jauh-jauh hari untuk mencapai target bauran EBT sebesar 23% pada 2025 nanti. Tren menuju energi hijau inilah peluang yang ditangkap oleh startup new energy. Adopsi teknologi energi baru yang relatif perlahan di Indonesia diikuti dengan target pemerintah Indonesia menjadi sasaran empuk startup di sektor ini. Sejumlah pemain pun sudah bermunculan. Namun sebagaimana e-commerce pada awal dekade lalu, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan oleh pemain energi terbarukan dapat merengkuh pasarnya.
Kesempatan
Target pemerintah mendapatkan 23% bauran energi primer dari EBT pada 2025 adalah kesempatan bagi para startup di bidang energi baru ini, terlebih konsumsi listrik selalu naik setiap tahun. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan konsumsi listrik di 2020 mencapai 1.142 kWh/kapita. Mereka juga mendorong pengembangan kendaraan listrik dan kompor listrik untuk menggenjot pencapaian yang sudah ada.
Tren dunia pun sedang bergerak ke arah sana. Berbagai inisiatif dilancarkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Jika Anda tinggal di London, mencari kompor berbahan bakar gas adalah mustahil. Membeli kendaraan bermotor di Eropa akan dilematis karena pajak dan parkirnya begitu tinggi. Di Tiongkok, pemerintah mengguyur industri mobil listrik dan penunjangnya dengan dukungan bernilai US$60 miliar.
Di saat yang bersamaan kesadaran masyarakat dunia akan perlunya energi bersih terus menguat. Krisis akibat perubahan iklim makin nyata dan dekat. Contoh paling mudah adalah banjir besar di wilayah Jabodetabek pada awal tahun ini. Sejumlah ilmuwan meyakini hujan ekstrem yang memicu banjir kala itu disebabkan oleh perubahan iklim. Energi bersih menjadi kian relevan dalam pengambilan kebijakan publik.
Ini artinya ruang bagi sektor energi baru untuk tumbuh masih terbuka lebar. Terlebih potensi energi alternatif di Indonesia beragam dan berlimpah.
Mereka yang sudah beroperasi
Jejak startup energi masih belum panjang di Indonesia. Jumlah pemainnya pun tak bisa dikatakan banyak. Salah satu dari secuil pemain tersebut adalah Xurya. Startup ini berdiri sejak 2018 dengan produk andalannya panel surya atap. Managing Director Xurya, Eka Himawan mengatakan posisi Indonesia yang berada di garis khatulistiwa merupakan peluang besar untuk bagi startup seperti mereka untuk memanen energi dari sinar matahari.
Menurut Eka, penggunaan panel surya sejauh ini juga yang paling memungkinkan untuk dijajakan ke pasar secara harga, pemasangan, dan pemeliharaan. Ini jauh lebih cepat ketimbang memilih energi alternatif lain seperti bayu atau geotermal.
"Untuk pasang panel surya, kita bisa survei hanya dalam waktu 10 menit bisa jadi proposal. Kalau [tenaga] angin saya butuh data selama setahun, untuk geotermal butuh waktu lebih lama lagi bisa sekitar lima tahun," ucap Eka.
Di tempat lain, Warung Energi memulai bisnisnya dengan premis membuka akses energi terbarukan ke semua kalangan dengan harga terjangkau. Seiring jalan mereka menjadi jembatan bagi lembaga yang menggelar proyek pengembangan energi di pedesaan dan daerah terpencil.
Serupa dengan Xurya, produk andalan Warung Energi mengandalkan tenaga surya. Sistem yang mereka miliki ini menjadi solusi untuk rumah-rumah yang belum terjangkau listrik PLN dengan kisaran tenaga yang dapat dihasilkan sekitar 350 watt hingga 2.000 watt. Setahun kemarin Warung Energi sudah mengerjakan hingga 20 sistem yang tersebar di seluruh Indonesia.
Selain Xurya dan Warung Energi, ada beberapa pemain lain yang tercatat berkecimpung di sektor EBT ini. Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, dan Syalendra Power adalah di antaranya. Hampir semuanya baru melewati fase inkubasi dan akselerasi.
Harapan pada surya
New Energy Nexus Indonesia yang dua tahun terakhir aktif menggelar program inkubasi dan akselerasi startup bidang energi terbarukan mengatakan Indonesia memang masih berada di tahap awal.
"Baru beberapa tahun terakhir publik mulai peduli tentang isu perubahan iklim dan energi alternatif," ujar Program Director New Energy Nexus Indonesia, Imam Diyanto.
Namun dari sekian produk dan inisiatif yang telah ada, tenaga surya masih menjadi primadona di atas segalanya. New Energy Nexus Indonesia yang dua tahun aktif menggelar inkubasi dan akselerasi untuk startup energi baru mengatakan setidaknya ada empat hal yang menyebabkan panel surya sebagai opsi energi terbarukan paling populer.
Imam menyebut ketersediaan sinar matahari di hampir seluruh permukaan bumi membuat energi itu sebagai yang paling mudah dijangkau. Dari segi instalasi, panel surya juga jauh lebih mudah ketimbang instalasi alat-alat untuk pembangkit listrik energi hijau lain seperti tenaga angin yang membutuhkan baling-baling raksasa atau turbin untuk tenaga bayu.
"Perawatan solar photovoltaic (PV) tidak memerlukan teknologi khusus, orang biasa pun bisa melakukannya, sehingga populer dipasang di rumah-rumah. Permintaan yang tinggi, membuat skala produksi juga tinggi, sehingga biaya produksi bisa terus menurun," ujar Imam dalam jawaban tertulisnya.
Kendala tersisa
Tapi tenaga surya pun bukan tanpa kendala. Memang dibandingkan sarana dan prasana pembangkit tenaga alternatif lain, panel surya lebih terjangkau dan mudah dipasang. Namun sejatinya bisnis panel surya ini masih menyisakan pekerjaan rumah bagi para pelaku industri.
Xurya yang bisnisnya menjembatani produsen panel surya dengan calon konsumen menyebut anggapan panel surya itu mahal masih cukup sering terdengar. Masalah lain yang tak kalah pelik adalah bisnis ini tidak membuahkan hasil dengan cepat.
Investasi besar harus berani dilakukan dengan asumsi balik modal agak lama. Xurya yang memperoleh pendanaan awal pada 2018 lalu mengaku hal ini sebagai tantangan utama dalam meyakinkan pihak pembiaya di bisnis panel surya.
"Sedikit bedanya ini dengan Modalku dan Investree misalnya, taruh uang di sana kan balik modalnya cepat, tiga bulan bisa balik. Kalau di sini balik modalnya 10 tahun jadi tidak mudah untuk investor awam masuk ke dalam bidang ini," ucap Eka.
Butuh usaha lebih untuk memperkenalkan energi terbarukan, khususnya tenaga surya, ke pasar. Karena meskipun harga perangkatnya masih relatif mahal, biaya pemeliharaan panel surya sangat kecil sehingga bisa dikatakan meskipun investasinya besar di awal, pemilik tak perlu merogoh banyak uang lagi setelahnya.
"Contohnya sistem tenaga surya hanya membutuhkan pemeliharaan tahunan berupa pembersihan panel surya, sedangkan genset diesel akan membutuhkan bahan bakar setiap harinya dan pemeliharan mekanik (oli mesin, seal, bearing, dan lain-lain) setiap bulan," ucap CEO Warung Angin Abdul Karim.
Terlepas itu semua, sektor ini diperkirakan akan terus tumbuh seiring waktu berjalan. Tren dunia beralih ke energi yang lebih efisien, ramah lingkungan, dengan suplai yang dapat terbarukan adalah karakter energi di masa depan.
Beberapa negara sudah membuka ruang lebar-lebar untuk perkembangan industri energi terbarukan sehingga bisnis yang berputar di sektor ini kian matang. Pemerintah pun punya visi yang jelas dengan target 23% kebutuhan nasional terpenuhi lewat EBT pada 2023 nanti. Dengan regulasi yang tepat, geliat startup di sektor energi terbarukan ini akan makin sibuk dalam beberapa tahun ke depan.
Sign up for our
newsletter