Haru Biru Andi Taru Mendirikan Educa Studio
Dari kondisi yang sulit, timbullah ide kreatif membangun pengembang game yang fokus ke segmen edukasi anak
Andi Taru begitu terkejut ketika istrinya, Idawati, mengabarkan dirinya terkena PHK. Pemutusan hubungan kerja itu membuat masalah rumah tangga mereka semakin runyam. Pasalnya, bisnis Andi, pengembang game online, lagi mandek dan terancam bangkrut. Kejadian ini terjadi sekitar lima tahun lalu di kota kelahiran pasang pengantin baru itu, Salatiga.
Dalam beberapa hari, gelar pengantin baru berubah menjadi pasangan suami istri pengangguran. Keran sumber penghasilan keduanya macet. Yang tersisa hanya tabungan yang mereka punya. Dalam keadaan terjepit, konon otak manusia menjadi lebih kreatif. Survival Spirit. Keduanya memutar otak bagaimana menciptakan sumber penghasilan baru.
Andi memang penggemar game sejak jadi mahasiswa Teknologi Informasi di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Meskipun demikian, itu sekadar melampiaskan hobi saja, belum ada niatan untuk menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian utama.
Setelah berdiskusi panjang lebar dengan istri, keduanya sepakat untuk membangun game khusus anak. Alasannya simpel. Saat itu belum banyak produk game edukasi khusus anak beredar di pasaran. Pasangan ini kemudian melakukan riset game anak seperti apa yang mau dibuat.
Pangsa pasar game edukasi cukup luas. Jenjangnya mulai dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sampai kuliah. Idawati, yang juga lulusan Teknologi Informasi, menyarankan Andi menciptakan game untuk usia yang paling "dini", baru perlahan ke jenjang yang lebih tinggi.
Keduanya lantas berbagi tugas. Andi memegang bagian pemrograman, sementara istrinya bagian riset dan desain. Ruang tamu berukuran seadanya diubah menjadi kantor kecil. Kelak, ruang ini yang menjadi cikal bakal lahirnya Educa Studio dan kini terus berkembang menjadi pengembang game yang mampu bertahan dengan seri-seri game-nya.
Sepanjang tahun 2012, Andi dan Idawati bertahan hidup dari sisa tabungan sembari merintis bisnis game mereka.
Proses memulai yang tidak mudah
Proses pembuatan game pertama memakan waktu selama tiga bulan. Biayanya ditekan seminim-minimnya. Untuk tetap hidup, keduanya mematok dana Rp10 ribu untuk makan berdua. Aset terbesar adalah kedua laptop yang mereka miliki. Tidak ada konektivitas Wi-Fi di ruang tamu mereka. Untungnya internet saat itu tidak begitu diperlukan karena kebutuhannya hanya sesekali.
Demi menghemat budget, orang-orang terdekat dikerahkan sebagai talenta. Sang adik menjadi voice talent pada game. Lalu untuk urusan musik dikerjakan teman sendiri. Bila ditotal, biaya yang dihabiskan untuk buat produk pertama sekitar Rp9 juta.
Tiga bulan kemudian, tepatnya tanggal 1 Oktober 2012, judul mobile game pertama Andi dan Ida dirilis di Google Play. Namanya Marbel, yang berasal dari kata "Mari Belajar Sambil Bermain". Sebelumnya, Marbel sudah ada versi PC di tahun 2011, tapi keduanya memutuskan untuk fokus ke mobile game, sebab di sanalah pasar yang belum tersentuh.
Versi pertama game Marbel ini sangat simpel. Hanya ada dua menu, play dan learn. Untuk menu learn, ada kartu yang bisa digeser-geser dan ditebak itu huruf apa. Pasca game Marbel dirilis, dapat diterima dengan baik oleh pengguna. Keduanya memanfaatkan semua masukan para pengunduh untuk terus memperbaiki kualitas.
Mumpung pasar mobile game anak belum banyak, pasutri pecinta dunia game ini memutuskan untuk berani mengambil pinjaman ke bank. Orangtua pun merestui bahkan mendukung dengan membolehkan keduanya menjaminkan sertifikat rumah sebagai agunan.
Bank yang bersedia memberi pinjaman adalah BRI dengan plafon Rp200 juta dan bunga 9% per bulan untuk tenor dua tahun.
Langkah pinjam ke bank ini diakui Andi cukup nekat. Pada saat itu "lebih mudah" jika mereka mencari investor modal ventura atau angel investor. Apalagi pada waktu itu bisnis game edukasi anak masih dianggap sebelah mata karena tidak seksi. Sayangnya, keduanya membutuhkan dana segar dalam waktu cepat dan jawaban untuk kebutuhan tersebut, yang ada di depan mata, adalah bank.
“Sejak dapat pinjaman, ada kelegaan sekaligus tanggung jawab berat yang harus saya tanggung. Ada sertifikat rumah yang harus segera ditebus. Kalau Educa Studio tidak jalan bisa fatal dampaknya. Beruntung pada awal-awal kami dibantu orang tua mengangsur kredit, jadi kami saling patungan,” Andi mengenang masa-masa sulitnya.
Kebetulan, orang tua Andi punya mimpi ingin punya perpustakaan dan sekolah. Keduanya memang berprofesi sebagai guru. Andi melihat keinginan orang tuanya itu sebagai sebuah impian untuk dikejar lewat bisnis barunya, Educa Studio.
“Saya bertekad untuk segera mempercepat pembuatan seri Marbel berikutnya. Langsung rekrut tim untuk meningkatkan kualitas game. Dari awalnya cuma saya dan istri, akhirnya ada tambahan orang yang khusus menangani musik, art, dan programmer,” paparnya.
Tahun berikutnya, Educa fokus pada produksi mobile game edukasi. Jumlah produk yang dirilis lebih dari 100 buah. Perhitungannya dalam sebulan mereka merilis delapan game baru. Educa memanfaatkan platform iklan Admob milik Google untuk strategi monetisasi seluruh produk.
Kondisi kemudian membaik
Pendapatan Educa perlahan meningkat dan mampu menutupi operasional sekaligus melunasi kredit bank. Banyaknya produk yang dirilis, bila diakumulasi dengan perolehan iklan, lumayan menutupi biaya perusahaan. Selain membayar utang bank, Andi dan Ida mulai memperbarui dan mempercanggih peralatan mereka.
Educa hingga kini sudah merilis 215 edugames di Google Play. Sekitar 80% pengguna Educa berasal dari Indonesia, sisanya dari Malaysia.
Sebenarnya, selain mengandalkan iklan, Educa juga memakai strategi in-app purchase. Hanya saja strategi ini tidak begitu berjalan karena sejak awal fokus Educa adalah aplikasi gratis, sehingga mendorong orang untuk membayar agak terlambat.
Kondisi keuangan di Educa Studio pada tahun 2014 mulai stabil, pendapatannya disebut sudah miliaran Rupiah.
“Kalau boleh dihitung-hitung, pertumbuhan Educa Studio secara keseluruhan mencapai 3 kali lipat per tahunnya,” Andi berbinar.
Game pertama keluaran Educa Studio, Marbel Huruf, terbukti jadi penyokong utama hingga kini dengan total unduhan sampai 3,5 juta kali. Basis penggunanya meningkat pesat. Di awal 2015, Educa mulai mencetak profit. Angsuran lunas dan kantor berpindah dari ruang tamu Andi – Ida ke kantor yang lebih layak.
Fokus Educa Studio kini mulai bergesar. Hal ini disesuaikan dengan kondisi industri. Kompetitor mulai bermunculan. Kini Andi lebih berkonsentrasi menjaga pengguna yang sudah ada, bagaimana memperkecil churn rate, dan meningkatkan kualitas game. Churn rate adalah persentase pelanggan yang tidak melanjutan berlangganan.
“Rencananya kami akan mulai merambah pengembangan produk untuk segmen umur pelajar menengah pertama [SMP]. Selama ini kebanyakan produk untuk usia prasekolah sampai sekolah dasar,” kata Andi.
Sign up for our
newsletter