idEA: Nilai Pasar E-commerce Indonesia Diprediksi Capai $25 Miliar di Tahun 2016
Pertumbuhan E-commerce di Indonesia kian menjamur dan dibarengi dengan meningkatnya aktivitas transaksi online oleh masyarakat. Tahun 2013 lalu nilai pasar e-commerce Indonesia mencapai $8 miliar (Rp 94,5 triliun) dan di tahun 2016 akan tersebut diprediksikan meningkat 3 kali lipat menjadi $25 miliar (Rp 295 triliun). Menurut riset yang diprakarsai oleh Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA), Google Indonesia, dan TNS (Taylor Nelson Sofres), produk fashion tetap mendominasi pasar online sebagai produk yang paling sering dibeli.
Riset dilakukan dengan tujuan mengetahui perilaku masing-masing individu dalam berbelanja online dan kategori produk yang disasar. Sebanyak 1300 responden berumur 18 tahun ke atas di 12 kota-kota besar di Indonesia disurvei di bulan Januari 2014 selama kurang lebih 25 menit untuk mengetahui profilnya terhadap pembelian online.
Menurut responden yang mengaku membeli secara online dalam dalam sebulan terakhir, 78% di antaranya mengaku pernah membeli produk fashion secara online. Fakta ini membuat produk fashion, seperti yang diperkirakan, menduduki peringkat teratas produk yang paling sering dibeli secara online. Daftar pembelian online ini kemudian disusul oleh pembelian ponsel sebesar 46%, elektronik 43%, buku & majalah sebesar 39%, dan barang kebutuhan rumah tangga (groceries) sebesar 24%.
"Para pelaku industri sangat bersemangat melihat proyeksi pertumbuhan yang cepat. Dengan mempelajari perilaku konsumen lebih dalam, kita dapat menyesuaikan penawaran terhadap keinginan mereka untuk memperluas penetrasi pasar," ucap Daniel Tumiwa selaku Ketua Umum idEA para siaran persnya.
Alasan utama para pembeli melakukan transaksi online adalah faktor kenyamanan. Pembeli cenderung tidak peduli dengan harga yang sedikit lebih mahal daripada di toko. Mereka lebih menghargai waktu dengan tidak perlu terkena macet di jalan karena barang mereka diantar langsung ke rumah.
Untuk para non-recent shopper atau pembeli online yang belum pernah berbelanja online lagi dalam jangka waktu enam bulan terakhir, 67% menganggap produk yang lebih murah dari harga ritel bakal mendorong untuk kembali berbelanja online.
Terkait keengganan mereka untuk lebih sering berbelanja online, 42% mengakui tidak percaya dengan kualitas barang yang dijual online, 40% menyebutkan kecemasannya tentang keamanan data finansial, dan 38% menjawab kurangnya kontak fisik terhadap produk yang ditawarkan (misalnya memegang langsung).
"Perlu diakui bahwa masih ada resistensi konsumen terhadap model belanja online ini. Namun dengan approach yang tepat, kita dapat menjangkau potensi pasar yang sangat besar yang saat ini belum tersentuh," tanggap Daniel tentang kondisi ini. Hasil survei lanjutan menunjukkan 83% dari non-recent shopper bisa dipengaruhi (untuk berbelanja online) melalui exposure secara online dan 67% mengatakan bisa terdorong untuk kembali berbelanja online jika melihat iklan produk online di televisi.
Sementara untuk yang belum pernah membeli secara online, 1 dari 2 orang mengungkapkan akan berbelanja secara online dalam 12 bulan ke depan. Untuk mereka ini, perlu diungkapkan sejumlah persepsi yang salah yang bisa menjadi faktor penghambat kegiatan belanja online. Mereka berpikir ingin memegang barangnya terlebih dahulu sebelum membeli, padahal konsep e-commerce menyediakan kebijakan pengembalian barang. Selain itu petunjuk garansi juga saat berbelanja online sesungguhnya sangat jelas dan sesungguhnya tersedia bermacam-macam metode pembayaran bagi mereka yang tidak memiliki kartu kredit.
Sebagai penutup, idEA akan terus mengupayakan berbagai riset yang bisa memberi gambaran mengenai industri e-commerce yang akan memberi manfaat langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam pengembangan usaha, baik terhadap penjual maupun (calon) konsumen.
[ilustrasi foto: Shutterstock]
Sign up for our
newsletter