Influlancer sebagai "Endorsement Platform" dan Efektivitas Pemasaran Brand di Media Sosial
Setiap pemasaran produk melalui media sosial memiliki pendekatan berbeda untuk mencapai efektivitas
Pemasaran dengan model endorsement cukup populer dewasa ini seiring dengan pertumbuhan media sosial yang sangat pesat. Banyak brand (medium ke bawah) yang diuntungkan dengan sistem endrose ini, karena dengan mudah dapat mencapai ke pangsa pasar yang tepat, dengan biaya yang tidak terlampau besar. Menyikapi tren ini, Influlancer hadir sebagai sebuah platform yang menghubungkan antara pengiklan dengan endorser. Melalui web dan aplikasi, Influlancer menjembatani jalinan kerja sama untuk kebutuhan endorsement.
Melalui Influlancer, misi yang ingin diangkat ialah menciptakan brand communication, brand awareness dan brand image. Platform tersebut menyajikan dua pilihan sistem endorse, yakni premium dan reguler. Untuk fitur premium, pemilik brand akan dihubungkan dengan artis dan selebgram yang menerima jasa endorse, sedangkan reguler pengguna akan dihubungkan dengan pengguna aktif media sosial umum yang intensif menggunakan media sosial.
Sebagai sebuah cloud marketing platform, Influlancer ditargetkan untuk membantu UMKM dan startup dalam memaksimalkan potensi di ranah digital. Di lain sisi, Influlancer juga ingin menyediakan wadah bagi para endorser untuk memaksimalkan income mereka dalam mempromosikan produk. Sejauh ini menurut keterangan yang terdapat dalam laman Influlancer, tidak ada pemotongan fee dari jasa endorsment yang dilakukan.
Influlancer diluncurkan pertama kali pada Agustus 2016. Dan saat ini Influlancer telah mengantongi lebih dari 2.000 pengguna dengan puluhan kampanye brand endorsement telah dilakukan.
Efektivitas model pemasaran berbasis endorsment bagi brand
Ada sebuah sebaran menarik terkait pola pengguna media sosial dalam mengikuti (follow) figur publik yang memungkinkan untuk melakukan endorsement.
Dengan studi kasus Instagram, survei JakPat bertajuk "Top Endorser in Social Media" yang dilakukan terhadap 262 responden di awal tahun 2016 lalu memetakan fakta menarik. Di usia 16-25 tahun rata-rata pengguna mengikuti figur publik artis (film, musik atau model), laman parodi dan online shop. Di suia 26-29 tahun (film, musik atau model), traveller dan online shop. Sedangkan di usia 30-35 tahun (film, musik atau model), kuliner dan parodi.
Dikaitkan dengan aktivitas yang dilakukan, hanya 34% dari total responden yang mengaku tidak memberikan interaksi terhadap posting yang dipublikasikan (dalam hal ini posting termasuk tentang endorse suatu produk). Sebagian besar melakukan interaksi secara beragam.
Disusul dengan data yang menyatakan kepercayaan suatu brand terhadap sistem endorsement. Survei JakPat menyebutkan beberapa konsiderasi yang membuat pemilik brand, statistiknya pun berbeda bergantung jenis produk yang dimiliki. Berikut perbandingan antara produk kecantikan, produk kesehatan dan produk rumah tangga dalam melakukan endorsement.
Tantangan brand untuk memasarkan produk melalui media sosial
Makin banyaknya jenis media sosial di kalangan masyarakat berimbas pada terfragmentasinya pengguna media sosial itu sendiri. Dalam sebuah riset tahun 2015, sejak saat itu penggunaan media sosial mulai mengerucut didasarkan pada beberapa hal, salah satunya usia dan kegunaan. Dari sini brand harus secara tepat mendefinisikan strategi pemasaran melalui kanal media sosial. Pemetaan jenis pengguna ini perlu diketahui untuk membuat kegiatan pemasaran menjadi lebih efektif.
Pada akhirnya media sosial juga menjadi tempat, sebuah kerumunan yang berisi berbagai macam jenis pengguna. Tidak semua bisa dijajaki dan diajak untuk menjadi konsumen suatu brand, hanya saja dengan penentuan sasaran yang jelas, bisa jadi ekosistem pengguna tersebut benar-benar dapat dikonversi menjadi traksi atau pembeli produk yang diiklankan melalui kanal media sosial, dengan pendekatan dan penyampaian yang pas.
Sign up for our
newsletter