Izak Jenie Belajar Mengambil Bagian Tanpa Melampaui Batas Kemampuan
CEO JAS Kapital, Pendiri MCAS Group, dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas terkait teknologi
Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.
Sebelum mengenal industri teknologi, Izak Jenie menjalani hari-hari layaknya masyarakat biasa. Ketertarikannya akan teknologi serta apa yang dapat ia lakukan dengan semua itu membuatnya tak bisa berpaling. Ia lalu memulai bisnis di usia yang terbilang cukup dini serta menghadapi beberapa kegagalan dalam prosesnya.
Setelah berpuluh tahun menjalani bisnis, Ia tidak lelah menciptakan ide serta inovasi. Begitu banyak rintangan yang membuatnya jatuh bangun, namun teknologi dan internet bagaikan pecut yang memacu semangatnya. Saat ini ia menjabat sebagai CEO JAS Kapital, Pendiri MCAS Group, serta kontributor di berbagai aktivitas terkait teknologi.
Berikut adalah hasil rangkuman dari pergerakan karier yang dinamis seorang Izak Jenie di industri teknologi.
Anda telah mengenal industri teknologi sedari dini. Bisakah ceritakan sedikit tentang masa kecil anda?
Masa kecil saya biasa saja, seringkali menghabiskan waktu untuk bermain di sekitar rumah. Dulu, Saya bersekolah di salah satu sekolah swasta di Jakarta dengan banyak peraturan yang tidak saya sukai. Riwayat kesehatan saya pun tidaklah sempurna, saya kerap mengalami kejang juga menderita asma, sebuah keajaiban saya masih bertahan sampai sekarang.
Pelajaran tidak pernah menjadi isu saat itu, namun saya tidak suka tindakan yang sewenang-wenang. Suatu kali saya membuat petisi saat pihak sekolah mengganti mata pelajaran Olahraga menjadi Bahasa Indonesia tanpa pemberitahuan, dengan alasan guru yang tidak bisa hadir.
Siapa yang mengenalkan anda pada teknologi?
Ialah almarhum ayah saya, Aldi Jenie. Ia bekerja di salah satu perusahaan BUMN, Pertamina, dan juga seorang penggiat teknologi. Beliau sering mengajak Saya ke kantornya untuk mencoba teknologi terbaru dan mengenalkan saya pada programming di masa itu. Saya berumur 12 tahun ketika ia mengajarkan garis besar pemrograman.
Saya pertama kali mencoba membuat bahasa pemrograman bernama APL (A Programming Language). Saya takjub! Begitu banyaj hal yang saya pelajari dari membaca buku-buku komputer yang ia bawa sebagai buah tangan saat berlibur / dinas luat kota, bahkan ia membeli sebuah PC IBM pertama yang harganya sangat mahal untuk mendukung ketertarikan anak-anaknya dengan teknologi.
Begitu banyak yang beliau ajarkan tentang teknologi serta hidup. Menjabat sebagai seorang Group Head bukan berarti hidup kami bergelimang harta. Ia masih mencari penghasilan lebih dengan mengambil pekerjaan penerjemahan. Satu hal yang ia tanamkan adalah untuk selalu bersyukur dan tidak mengambil bagian melampaui batas kemampuan.
Menghabiskan waktu sehari-hari dengan teknologi, apakah anda pernah mengalami isu sosial?
Sedari kecil, ayah saya selalu mengajarkan untuk berani berbicara. Saya sering melakukan presentasi di depan publik, juga belajar banyak tentang cara berinteraksi. Pengalaman menjadi mentor ilmu komputer telah saya geluti semasa SMA. Ketika masuk universitas, Saya memilih jurusan Teknik karena mengikuti saran beberapa teman. Tentu, saya memiliki teman.
Kegiatan saya tidak jauh dari bermain musik dan komputer setiap waktu, sampai saya menginjak perguruan tinggi. Saya memulai grup komputer di kampus dan terbuka untuk umum, ikut meramaikan paduan suara di kampus, sebelum akhirnya lulus walaupun seringkali mangkir karena terlalu sibuk dengan pekerjaan. Namun, pada masa ini saya bertemu dengan wanita yang sekarang menjadi istri saya, ia salah satu yang memotivasi saya untuk menyelesaikan kuliah.
Apakah anda pernah bekerja di perusahaan sebelumnya?
Ya, setelah lulus dalam kurun waktu lima tahun, saya mengalami kesulitan mencari pekerjaan. Ketika teman-teman sudah memulai karier di perusahaan besar, saya masih menganggur selama 6 bulan. Banyak perusahaan besar yang menolak, sampai ketika sebuah kesempatan muncul di BBS (Bulletin Board System), salah satu perusahaan swasta populer di Indonesia sedang mencari lulusan komputer grafis handal.
Proses wawancara berjalan mulus dan saya berbicara banyak tentang bidang yang diminati. Tidak lama setelah itu, saya diterima dengan gaji yang melampaui perkiraan. Belum genap satu minggu diterima, saya akhirnya menolak sebuah penawaran oleh perusahaan lain yang tidak kalah terkenal, dan saya belajar mengenai komitmen.
Pada tahun 1994, anda muncul di media sebagai salah satu penemu VoIP. Bagaimana awal mula terciptanya VoIP sampai akhirnya mendunia?
Hal ini terjadi setelah lulus kuliah, saya merasa memiliki spesialisasi untuk memecahkan teka-teki. Dulu, saat internet masih langka, sebuah modem bisa mengonversi suara menjadi data. Lalu saya memiliki ide untuk menyambungkan modem dan mengembangkan perangkat untuk mengirim sinyal. Sekarang mungkin sudah menjadi hal biasa, namun di tahun 90-an, ini adalah sebuah revolusi luar biasa. Dalam istilah awam - ini disebut Jaringan Telepon Komunitas P2P di tahun 1994.
Saya berpartner dengan dua orang penggiat internet lainnya, Jeff Pulver dari New York dan Brandon Lucas dari Tokyo, kami mulai mengembangkan ide kemudian diberitakan oleh London Financial Times, Wall Street Journal dan beberapa media besar lain.
Setelah kisah penemuan tersebut, apa yang anda lakukan? Kapan anda mulai membangun bisnis?
Hal yang pertama saya lakukan adalah berhenti dari pekerjaan saya saat itu. VoIP sangat menyita waktu. Sementara itu, ada sangat banyak kesempatan di luar daripada hanya duduk di belakang meja. Ini menjadi pekerjaan pertama dan terakhir saya.
Berbicara mengenai membangun sebuah perusahaan, sebenarnya saya sudah memulai sejak di semester kedua perguruan tinggi, dengan membuat logo bergerak, saya menghasilkan uang untu membayar biaya kuliah dan lain-lain. Hal ini terjadi jauh sebelum saya bertemu mitra yang luar biasa kemudian berbagi pengalaman mengenai seluk beluk industri.
Di masa penjajakan, saya bertemu dengan seorang pemain industri yang tertarik dengan ide-ide saya dan mau berinvestasi. Euforia tak terhindari lalu saya dimanjakan dengan uang. Percobaan pertama adalah sebuah toko buku online bernama Sanur.com yang tidak berjalan sesuai dengan rencana. Saya beradu pendapat dengan investor dan memutuskan untuk keluar. Melalui proses yang panjanh serta dibantu oleh proyek seharga 200 juta Rupiah, akhirnya saya bisa berdamai dengan perusahaan lama. Dibantu oleh Jusuf Sjariffudin, bersama dengan Ishak Surjana, kami membangun perusahaan bernama Jatis.
Anda memulai Jatis dari awal hingga melahirkan kontribusi dalam industri. Mengapa anda memutuskan untuk keluar?
Kami memulai Jatis sebagai konsultan enterprise, saat perusaan asing sedang mendominasi. Strategi yang digunakan pada saat itu adalah menandatangani sebanyak mungkin kontrak serta melakukan pitching dengan berbagai macam klien. Bagaimanapun usaha yang dilakukan untuk membuat manajemen proyek yang solid dan sempurna, ternyata tidak didukung oleh kesepakatan harga yang sesuai. Konsultan menjadi bisnis yang sulit bagi pemain lokal ketika anda tidak bisa menetapkan harga kemudian menjadi isu ketika akan scale-up.
Mengembangkan bisnis dari skala kecil menuju skala menengah tidaklah sulit, namun setelah itu muncul perkara krusial dimana harus memilih untuk tinggal atau terus beranjak. Saya meninggalkan Jatis karna ketertarikan saya mulai bergeser ke ranah B2C dan lagi saya sudah lelah menjadi konsultan untuk B2B selama itu. Perputaran bisnis ini seperti gasing - hanya mengitari tempat yang sama bertahun-tahun tanpa inovasi lebih lanjut. Bukan perkara mudah meninggalkan perusahaan yang sudah dibesarkan selama 12 tahun.
Selama membangun bisnis, bagaimana anda menghadapi jatuh bangun dalam industri teknologi?
Saat itu mungkin adalah titik terendah saya, tidak ada lagi tempat di industri ini, bahkan dimusuhi banyak pihak. Akhirnya, Saya menemui seorang mentor, yang juga teman lama - Simon Halim - mantan CEO E&Y. Ia yang mengarahkan saya untuk menyusun rencana serta membuat laporan setiap minggu. Sedikit demi sedikit masalah terselesaikan, selangkah demi selangkah saya kembali bangkit dan akhirnya berhasil keluar dari lubang hitam. Menghadapi masalah dan hutang sama seperti mengikuti lomba renang, anda mulai meluncur lalu berhenti setiap 10 menit untuk mengambil nafas. Selama garis akhirnya tidak berubah - anda akan sampai pada waktunya.
Pada masa ini juga Nexian bermula. Ketika itu saya sedang dalam antrian untuk membeli sebuah perangkat lalu memutuskan untuk langsung menemui pendiri perusahaan dan mengemukakan ide untuk mengembangkan platform yang lebih baik. Proyek ini akhirnya berhasil dan Nexian berjaya pada saat itu. Saya memulai bisnis ini bersamaan dengan Nexian, fokus pada konten perangkat. Berbagai macam konsep disajikan dengan bantuan beberapa selebritis seperti Slank, Anang, Ashanti, Syahrini dan lainnya. Nexian JV adalah perusahaan pertama saya yang menuai profit.
Saat ini, anda menjabat sebagai CEO JAS Kapital, Pendiri MCAS Group, serta berkontribusi dalam banyak kegiatan dalam industri terkait. Bisa ceritakan bagaimana perjalanan anda sampai ke titik ini?
Semua menjadi lebih menarik ketika saya menemukan mitra saya sekarang - Jahja Suryandy, Martin Suharlie, dan Michael Stevens. Bersama-sama kami memulai MCAS Group pada tahun 2017 dengan visi untuk mendisrupsi ekosistem digital di Indonesia. Kami menjadikan perusahaan IPO dan sekarang berkembang pesat. Saat ini kami sedang melakukan penelitian mendalam tentang teknologi AI dan Fintech, yang berfokus pada pembentukan ulang berbagai industri dalam 20 tahun ke depan.
Tak ada satu industri pun yang dapat lolos dari penetrasi teknologi, dan dalam 20 tahun ke depan, sebagian besar pekerjaan akan bertransfomasi menjadi mesin. Bukan berarti semua orang menjadi pengangguran, hanya saja pada akhirnya akan berpindah haluan pada pekerjaan dengan lebih banyak waktu luang untuk hal yang paling signifikan dalam hidup: keluarga.
Saya mungkin telah membuat beberapa keputusan buruk di masa lalu, tetapi kerja keras, ide, kegigihan adalah yang membuat kita berkembang setiap hari. Saya menjunjung tinggi , “Nilai anda bukan ditentukan oleh seberapa banyak uang, tetapi seberapa banyak ide,” dan saya tidak pernah berhenti menghasilkan ide sampai sekarang.
Anda juga dikenal sebagai pembicara di banyak acara terkait teknologi, juga sebagai mentor bagi banyak inkubator startup. Menurut anda, apa hal yang paling fundamental dalam membangun bisnis?
Bagian tersulit dari membangun bisnis adalah bertransformasi dari bisnis pribadi menjadi sebuah institusi. Untuk bertahan, seseorang harus menciptakan sistem khusus serta mengatasi isu fundamental. Setelah itu, fokus pada apa yang anda lakukan sekarang, jangan terbawa euforia. Anda memulai begitu banyak bisnis sehingga tidak punya waktu untuk menggarap semua. Cobalah untuk tidak mengambil bagian melampaui batas kemampuan.
Bagi mereka yang ingin memulai, mari kembali ke bagian paling mendasar dari bisnis ini - menghasilkan keuntungan yang sehat. Pada dasarnya, pembiayaan harus lebih kecil dari pendapatan, lalu perbedaannya disebut laba - dan jangan coba membuat definisi lain seperti kebanyakan startup.
Saat ini, startup sedang dalam masa sulit dan tidak terlalu bagus untuk industri. Pola pikir tidak sehat menjamur di mana para pendiri startup rela kehilangan uang demi mengejar nirwana. Nah, masalahnya tidak semua startup menjadi Unicorn, hanya yang gigih, memiliki jaringan dan bisa mengeksekusi dengan baik. Sisanya harus mempertahankan perusahaan dan akan sangat sulit jika anda tidak menghasilkan profit. Ada banyak kasus di mana para pendiri kelelahan dan bukan hanya bisnisnya yang gagal tetapi kehidupan pribadi mereka juga.
Jadi, sebisa mungkin - buatlah startup yang mendulang profit. Suntikan dari VC adalah permulaan yang baik, namun, jangan memanjakan diri dengan banyak seri dan cobalah menjalankan perusahaan secara mandiri. Setelah anda bisa menguasai hal itu, kebanyakan orang akan bisa mengikuti.
– Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian
Sign up for our
newsletter