Mencari Keseimbangan Faktor Ekonomi dan Idealisme Netralitas Internet
Pemerintah seharusnya membuat regulasi yang memberikan kepastian hukum dan perlindungan tentang biaya yang bisa dikenakan oleh operator dan ISP untuk pengaksesan Internet
Sudah hampir sebulan yang lalu Facebook dan Indosat mengumumkan kehadiran Internet.org di Indonesia. Berbeda dengan tanggapan di luaran yang cenderung "menyerang" Facebook dengan isu netralitas Internet (net neutrality), kehadirannya di Indonesia cenderung adem ayem, hampir tanpa gesekan. Pihak regulator sendiri justru lebih "sewot" soal sisi ekonomi program ini yang dianggap merugikan operator partner.
Pelaksanaan Internet.org di Indonesia
Internet.org adalah program yang bertujuan meningkatkan adopsi Internet di dua pertiga penduduk dunia. Facebook yang sudah meng-cover sepertiga populasi global berusaha "mensponspori" orang-orang yang belum terjamah konektivitas Internet. Di Indonesia sendiri, dengan program hanya berlaku untuk pengguna Indosat dan platform Android, sulit untuk menjustifikasi ide ini diterapkan untuk menjangkau orang yang belum mengenal Internet.
Yang menjadi keluhan orang-orang idealis adalah keyakinan bahwa setiap situs atau layanan seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama. Menurut pendapat mereka, seharusnya tidak ada layanan yang mendapatkan perlakuan spesial dalam bentuk biaya tambahan. Satu-satunya biaya yang dianggap halal dikeluarkan adalah pembayaran paket data oleh konsumen.
Jika berpedoman terhadap dogma ini, program semacam Internet.org jelas tidak lolos uji net neutrality. Facebook membiayai pengaksesan sejumlah layanan tertentu yang tercakup dalam aplikasi mobile Internet.org, meskipun belakangan Facebook membuka peluang secara terbuka bagi lebih banyak layanan untuk tergabung dengan program ini.
Kelase dan Tokopedia adalah dua layanan lokal yang dari awal tergabung dalam program Internet.org di Indonesia. Co-Founder dan COO Kelase Winastwan Gora menceritakan kepada kami bahwa mereka sudah dihubungi oleh pihak Facebook di bulan Juni 2014 dan ditawari untuk bergabung dalam program Internet.org. Di bulan Juli 2014 mereka menandatangani NDA dan meneruskan kerja sama dengan Facebook dan Ericsson sebagai partner Internet.org, termasuk dalam kunjungan Direktur Facebook di sekolah mitra Kelase. Ia mengakuinya tidak mengetahui berapa lama durasi kerja sama akan berlangsung.
Winastwan sendiri berharap program Internet.org akan membantu lebih banyak orang mengetahui tentang Kelase dan mulai memanfaatkan layanan yang diberikannya.
Pengamat teknologi dan Editor Addiction.ID Aulia Masna berpendapat bahwa program Internet.org tampak seperti usaha baik Facebook untuk memastikan sebanyak mungkin orang di dunia untuk bisa mengakses informasi dan Internet tanpa dibebani biaya. Anehnya, menurut Aulia, ketika kita membuka Facebook Zero ternyata program ini tidak berlaku untuk pengaksesan lebih lanjut, seperti melihat foto. Konsumen yang menginginkan hal tersebut harus berlangganan paket data lagi, jadi implementasi Internet.org ini sekedar semacam teaser untuk menarik orang menjadi pelanggan paket berbayar.
"Kalau di Amerika urusan net neutrality adalah masalah kecepatan akses, di Indonesia masalah yang timbul ya tentang akses itu sendiri, seperti pilih kasih karena ada website atau layanan yang bisa diakses tanpa batasan kuota. Akibatnya untuk yang kurang mampu, akses Internetnya terbatas," ungkap Aulia.
Pemahaman dan pengaturan net neutrality di Indonesia
Indonesia, seperti halnya sebagian besar negara di dunia, tidak mengenal konsep net neutrality. Selain Amerika Serikat, hanya Brazil, Chile, dan Belanda yang memiliki aturan terkait konsep ini. Aturan ini secara garis besar memproteksi konsumen dari keharusan membayar berbagai macam biaya ke ISP dan operator untuk mengakses layanan secara online.
Berbagai pejabat pemerintah, termasuk Menkominfo, hanya melihat sisi ekonomi (dan moral) penyelenggaraan Internet. Mereka meyakini layanan Internet (asing) hadir untuk mencari keuntungan semata. Menkominfo dalam sebuah pernyataan mengatakan, “Saya sudah bilang ke Indosat, kalau nggak suka berhenti saja. Jangan dikasih akses. Nggak bisa ini digratisin.”
Operator sendiri sudah terang-terangan menolak net neutrality. Ketua Umum Asosiasi penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Alexander Rusli, yang juga CEO Indosat, mengemukakan, “Kami sudah ajukan proposal ke regulator soal model bisnis dengan Over The Top (OTT). Poin utamanya di proposal itu, kami percaya jaringan milik operator. Jika ingin bekerja sama harus equal benefit. Pokoknya kami tidak mendukung net neutrality.”
Seperti yang sudah dikemukakan Aulia sebelumnya, masalah utama di Indonesia adalah keterbatasan pengaksesan Internet. Investasi untuk membangun jaringan fiber optik, jaringan 3G, atau bahkan 4G tidak murah, apalagi Indonesia adalah negara kepulauan dengan kontur gunung/dataran tinggi dan perairan di berbagai tempat.
Meskipun sebentar lagi pendapatan data akan menjadi segmen pendapatan terbesar operator, hal ini dirasa belum cukup untuk mempercepat penutupan biaya investasi yang telah dikeluarkan operator. Polemik intrusive ads beberapa waktu yang lalu adalah bagian usaha operator untuk mencari "pendapatan tambahan". Mereka pun tak keberatan jika bisa men-charge layanan OTT untuk kualitas jaringan yang lebih baik.
Tanpa regulasi yang tegas, sulit mencari jalan tengah antara kepentingan ekonomi dan idealisme net neutrality. Untuk menghindari setiap pihak bersikukuh dengan pendapatnya, pemerintah harus memulai inisiatif (dalam bentuk regulasi) tentang hal apa saja yang boleh (dan tidak boleh) dikenai biaya oleh ISP dan operator, baik untuk konsumen maupun layanan OTT. Regulasi ini harus menjadi jalan tengah yang memberikan perlindungan bagi konsumen dan layanan OTT, tetapi juga tidak merugikan bisnis operator.
Sign up for our
newsletter