Ketika Unsur Kepercayaan Masih Mahal Harganya dalam Bisnis E-Commerce di Indonesia
Kami baru saja membahas tentang bisnis e-commerce dan social commerce di Indonesia berdasarkan riset yang dilakukan oleh MarkPlus Insight. Berdasarkan pengalaman saya berbelanja secara rutin di gerai-gerai e-commerce sebuah negara maju, unsur kepercayaan yang sulit diperoleh jelas merupakan batu sandungan terbesar bagi perkembangan e-commerce. Khusus untuk Indonesia, kondisinya masih jauh dari kata ideal dan ini bukan sekedar salah pebisnis e-commerce.
Mari kita bahas dulu masalah kultur. Di negara maju, secara umum mereka merupakan high trust society, di mana individu secara default dianggap dipercaya bahkan untuk orang yang tidak dikenal sekalipun. Dengan stigma seperti ini, setiap usaha -- termasuk e-commerce -- secara default dipercaya layanannya sampai terbukti sebaliknya. Faktor lain yang mendukung perkembangan e-commerce adalah penundaan berlakunya pajak penjualan. Amazon baru tahun 2013 ini mulai memberlakukan pajak penjualan setelah belasan tahun bertahan di industri ini dan e-commerce sudah menjadi bagian gaya hidup.
Di Indonesia kondisi umumnya, sebagaimana negara berkembang lainnya, adalah low trust society. Prinsip dasarnya adalah jangan percaya dengan orang yang tidak dikenal, sampai terbukti sebaliknya. Hal ini berlaku pula dengan e-commerce. Karena kita tidak kenal dengan siapa penjualnya dan bagaimana kualitas barang dagangannya, kita cenderung memasang label tidak percaya. Kalau kita tidak kenal dengan pemilik/penjualnya, sifat pesimis terhadap Hal ini baru berubah setelah kita berhasil mendapatkan barang yang dibeli secara tepat waktu dan sesuai kualitasnya dengan yang diharapkan.
Kondisi ketidakpercayaan ini diperparah dengan fakta bahwa sejumlah perusahaan e-commerce besar, yang kita tidak perlu sebut namanya, justru malah menjadi contoh nyata dan terbuka soal "tak bisa dipercaya" ini. Pernah dengar kasus perusahaan e-commerce besar di Indonesia yang bahkan tidak bisa menepati janji untuk jangka waktu pengiriman suatu barang? Sangat banyak. Terlalu banyak contoh buruk sehingga masyarakat sebagai konsumen menjadi semakin antipati.
Dari awal e-commerce mulai hadir sampai sekarang, masalah kepercayaan selalu menjadi masalah utama yang tidak selesai-selesai.
Suka atau tidak suka, pembentukan kepercayaan harus dimulai dari perusahaan yang besar dulu. Tirulah Amazon dan eBay yang bertahun-tahun mempromosikan pergeseran gaya hidup sebelumnya akhirnya benar-benar menjadi bagian dari bagian kegiatan sehari-hari. Dari sini, konsumen bisa belajar memilih perusahaan e-commerce mana yang benar-benar bisa dipercayainya. Minimal ada dua-tiga perusahaan besar yang tidak pernah ingkar janji untuk setiap transaksinya.
Sikap oportunis pemerintah yang tak sabar untuk memberlakukan pajak penjualan terhadap e-commerce juga tidak membantu proses pematangan dunia e-commerce Indonesia. Untuk sisi regulasi, sampai sekarang saya belum pernah dengar prosedur atau langkah yang bisa diadvokasi jika penjual e-commerce melakukan wanprestasi terhadap konsumennya.
Untuk mencapai kematangan, faktor saling percaya mutlak harus menjadi budaya terlebih dahulu. Fakta ini adalah masalah kronis bangsa dan bukan cuma soal e-commerce.
[Ilustrasi foto: Shutterstock]
Sign up for our
newsletter