Kisah-kisah Janggal di Balik Murahnya Kamar Oyo
Kami berbicara dengan konsumen, mitra pemilik properti, dan mantan karyawan.
Filia (bukan nama asli) merencanakan berlibur sekeluarga pada 24 Mei 2020 untuk menikmati momen libur panjang hari raya Idulfitri di Batu, Malang. Ia mempersiapkannya sejak 25 Februari dengan memesan kamar untuk tiga hari. Filia memakai jasa Oyo untuk penginapan sekeluarga sebanyak 6 kamar dengan biaya per kamar Rp337.000. Total yang mereka keluarkan untuk akomodasi itu Rp3,7 juta. Namun wabah Covid-19 membuyarkan rencana itu semua. Alhasil Filia memilih opsi refund dari jaringan hotel bujet terkemuka tersebut.
Namun proses refund tak semulus proses yang tertulis di atas kertas. Sejak 1 April mengajukan refund, Filia baru memperoleh pencairan refund pada Kamis (11/6) pagi ini. Itu pun sukses berkat usahanya menekan pihak Oyo berkali-kali. Awalya Filia patuh menunggu pencairan paling lambat 45 hari kerja. Selama menunggu, dia berkali-kali menelepon dan mengirim email menanyakan kejelasan refund. Untuk memperoleh refund, seharusnya pelanggan Oyo dimintakan sebuah formulir, sesuatu yang tak diperoleh Filia meski berkali-kali menanyakan. Balasan yang ia terima pun selalu sama: refund akan diproses 45 hari kerja.
“Karena kesal akhirnya saya bilang kalau masih tidak di-refund saya akan laporkan Oyo ke LPK (lembaga perlindungan konsumen. Setelah itu malamnya baru saya dapat email semacam link untuk pengisian pengajuan refund dan itu disuruh nunggu lagi 7-14 hari,” terang Filia lewat pesan singkat.
Kesabaran dan kengototan Filia berbuah hasil. Ia akhirnya memperoleh haknya pada Kamis pagi ini. Walaupun begitu, cerita ganjil tentang perlakuan Oyo terhadap konsumennya tak satu ini saja. Pengalaman tak kalah menyesalkan dialami Toni (bukan nama asli). Toni adalah konsumen Oyo Life dadakan di bilangan Puri Kembangan, Jakarta Barat. Oyo Life adalah produk Oyo yang menaungi bisnis indekos. Disebut dadakan karena Toni menemukan kamar indekos yang ia inginkan tanpa mengetahui kamar itu sudah di bawah naungan Oyo Life.
Terlanjur tertarik dengan kamar dan harga yang ditawarkan, Toni akhirnya setuju menempati kamar itu dengan membayar uang sewa tiga bulan di muka. Keganjilan pertama terjadi karena di malam ia menempati kamar itu Toni diminta pindah ke kamar lain. Alasannya kamar itu sudah dibayar oleh orang lain terlebih dahulu. Akhirnya Toni setuju pindah ke kamar lain. Keganjilan berikutnya terjadi ketika di pertengahan April. Secara tiba-tiba ia diberikan waktu tiga hari untuk mengemas barang-barangnya dan meninggalkan indekos karena property yang ia tinggali saat itu diprotes ormas yang mengatasnamakan warga setempat yang tak setuju atas keberadaan indekos tersebut. Ia dihadapkan dua pilihan, terima direlokasi ke indekos Oyo lain atau refund. Toni memilih opsi pertama. Akhirnya ia dipindah ke indekos di bilangan Kedoya.
Belum selesai perkara, pihak properti menolak relokasi Toni dengan alasan fasilitas di sana tidak sepadan dengan indekos asalnya. Toni dioper lagi. Kali ini ia dipindah ke indekos Oyo Life di bilangan Gardenia. Meski sempat diterima di indekos itu, Toni harus menerima tindakan kurang mengenakkan dari pemilik properti. “Resepsionisnya bilang owner di Gardenia itu ngomel merasa dirugikan karena belum menerima biaya relokasi beberapa penghuni dari Puri Kembangan,” ujar Toni.
Harga sewa yang jauh lebih mahal di Gardenia dan perlakuan yang tidak membuatnya nyaman membuat Toni menyerah. Ia memilih opsi refund paling lama 45 hari kerja. Serupa dengan kisah Filia sebelumnya, Toni berkali-kali menghubungi Oyo terkait proses refund. Namun sejak 23 April ia mengajukan refund, hingga saat ini belum ada jawaban berarti dari Oyo. “Total kerugian saya Rp1.744.000. Itu total dari uang sewa sebulan dan uang deposit sebesar Rp300.000. Itu baru saya, belum penghuni di Puri yang lain yang kisarannya serupa,” pungkas Toni.
Menurut mantan karyawan
Seorang mantan karyawan, yang tidak ingin namanya disebutkan, menjelaskan apa yang terjadi di dalam sehingga muncul kasus-kasus seperti di atas. Ia mulai bekerja di Oyo di bagian operasional sejak Februari 2019 hingga Februari 2020. Tugasnya menjembatani masalah-masalah dan feedback yang dihadapi oleh tim yang menangani langsung mitra pemilik properti dan konsumen. Ia mengklaim sekitar 70% dari total properti mereka menyampaikan keluhan. Menurutnya masalah di sana adalah keluhan dan masukan yang mereka teruskan ke manajemen tidak didengar.
Ia memberi contoh tentang keganjilan-keganjilan pelanggan saat memesan kamar dan mengajukan refund. Misal ada properti yang sedang dalam penjajakan untuk bermitra dengan Oyo. Seringkali menurutnya perusahaan memaksakan diri dengan memasukkan properti yang belum sesuai standar itu ke aplikasi untuk siap dipesan. Ia menyebut pihak business development dan marketing punya andil dalam masalah ini.
“Karena enam bulan terakhir itu kita kejar target jumlah properti. Itu dikejar banget target di Indonesia harus punya sejumlah kamar. Cara itu yang dipakai. Jadi ada atau tidak propertinya, masuk aja ke platform,” ungkapnya.
Dalam hal terkait uang, dia menjelaskan tim revenue Oyo bertanggung jawab. Tim itu disebut kerap memasang harga atau diskon yang tidak sesuai kehendak dengan pemilik, tanpa dikomunikasikan. Dalam beberapa kejadian pemilik tidak diberitahukan atau diberi sedikit waktu untuk menyetujui penetapan harga promosi. Mitra yang tak merespons pemberitahuan otomatis dianggap setuju.
“Ketika ada properti sudah kerja sama itu full jadi wewenang Oyo. [..] Bagaimana mereka jual, kasih harga itu terserah Oyo, owner enggak perlu tahu. Tapi saat BD (business development) nawarin, itu enggak disampaikan,” imbuhnya.
Penjelasan serupa datang dari eks karyawan Oyo lain. Sebagai orang Sales, NM bertugas menjual kamar ke konsumen. Menurutnya, masalah bermula ketika Oyo makin agresif melebarkan jaringannya ke berbagai kota di Indonesia. Hal ini otomatis mengerek target tamu yang harus ia datangkan. Yang tidak wajar menurutnya adalah target selalu naik tiap bulan. Sebagai orang yang sudah berkecimpung di industri hospitality sejak 2013, NM mengaku target adalah hal yang wajar. Meskipun demikian, di perhotelan kenaikan target berlaku untuk tiap high season.
“Sementara di Oyo target ditentukan oleh berapa lama dia bergabung di Oyo. Semakin lama, semakin bertambah. Jadi ini enggak make sense untuk di bulan-bulan low season,” akunya.
Kondisi makin menjepit NM karena hukuman yang ia tanggung ketika target tak tercapai adalah pemotongan 20% dari gaji pokok dan tidak menerima insentif. Menurutnya sistem ini berbeda dibanding di perusahaan hospitality lain yang hanya meniadakan insentif ketika tak mencapai target.
Target besar berarti usaha ekstra mencari tamu. Dalam beberapa kasus, NM sebagai karyawan Oyo bahkan juga pernah mengalami apa yang konsumen rasakan. Beberapa kali ia gagal mendaratkan tamu karena ternyata kamar yang sudah ia pesankan sudah dipesan lebih dulu. Sebagai bentuk tanggung jawab, ia terpaksa merogoh kocek sendiri untuk membayar selisih harga kamar.
“Jadi kalau diakumulasi ada sekitar Rp10 juta. Masalahnya banyak banget. Yang booking-an aku ditolak, booking-an aku hilang, properti yang di gambar enggak sesuai dengan yang ada di lapangan. Itu yang akhirnya bikin tamu komplain pada akhirnya minta refund. Sementara pihak properti dan Oyo tidak mau refund, mau enggak mau saya yang nombokin,” tambahnya.
Terkait masalah ini, juru bicara Oyo membantah dan menyebutnya sebagai misinformasi. Mereka menyebut semua pemesanan dan sistem pembayarannya hanya bisa dilakukan lewat aplikasi Oyo, situs web Oyo, atau aplikasi OTA lain. Begitu pula dengan proses refund hanya dilakukan secara online, bukan lewat karyawan.
Namun sang juru bicara luput menyebut platform Oyo Rocket. Aplikasi ini khusus dipakai karyawan, seperti NM, untuk mencari tamu. "Aplikasi hanya untuk pemesanan individu, nah kalau group harus lewat marketing menggunakan Oyo Rocket yang hanya dimiliki oleh karyawan," kata NM mengamini.
Perkara tanggung jawab menjadi isu besar di internal. Ketika ada masalah properti yang ditawarkan tidak sesuai dengan kondisi asli misalnya, sulit mencari pihak yang mau bertanggung jawab. Tim business development yang bertugas mengajak pemilik properti untuk bergabung pun tak mau ambil pusing dengan kondisi di lapangan.
“This is the most ridiculous work environment I've ever joined.”
Klausul sepihak
Sikap sepihak dan tak mau ambil pusing juga dilakukan Oyo terhadap mitra mereka. Momen pandemi Covid-19 menjadi puncak kekesalan mereka terhadap sistem yang diberlakukan Oyo. Albert adalah salah seorang pemilik properti yang mengaku merugi selama bermitra. Albert menerima sebuah pengumuman dari Oyo pada 9 April yang berisi klausul force majeure. Klausul force majeure ini muncul dari udara kosong tanpa pembicaraan terlebih dahulu dan diputuskan secara sepihak. Menurut Albert, klausul ini membatalkan isi kontrak yang sudah ada. Akibatnya Albert terpaksa mengambil alih kembali pengelolaan hotelnya dari Oyo yang seharusnya masih berjalan beberapa tahun.
Awal kerja sama Albert dengan Oyo bermula pada Mei 2019. Ia mengaku tawaran kemitraan dari Oyo cukup menggiurkan. Sebagai perumpamaan, apabila dia mengelola sendiri hotelnya ia akan mengantongi omzet Rp100 juta. Nominal yang sama dapat dia peroleh jika bermitra dengan Oyo. Tawaran ini menguntungkan karena Albert dapat menghabiskan waktu dan tenaganya untuk mengerjakan hal lain. Namun apa daya, selama kemitraannya yang singkat itu Albert mengaku justru menanggung rugi setelah Oyo menerbitkan klausul force majeure, klausul yang menurut Albert menjadi dalih utama Oyo untuk tidak membayar kerugian.
"Kalau dihitung-hitung total kerugian saya mencapai Rp1,3 miliar dari ganti rugi yang belum mereka bayar," keluh Albert.
Mayoritas mitra memilih bekerja sama dengan Oyo karena skema minimum guarantee (MG) yang ditawarkan. MG ini berarti jaminan pemasukan bagi pemilik properti terlepas dari jumlah tamu yang menginap di tempatnya. Hal ini yang mencairkan keraguan Sara (bukan nama sebenarnya) saat didekati tim business development Oyo untuk bergabung dengan mereka.
Sara dijanjikan mendapat MG Rp36 juta per bulan. Namun, dalam perjalanannya, Sara menyebut terjadi perselisihan tiap bulan dengan Oyo saat melakukan rekonsiliasi. Ia mengaku rugi lebih dari Rp40 juta akibat perselisihan dari rekonsiliasi. Ia menuding faktor utama kerugian itu datang dari sistem Oyo sendiri, seperti tamu yang memilih bayar di hotel namun tidak muncul di lokasi akan tetap dihitung sudah check in oleh sistem mereka.
"Promo-promo yang katanya akan digantikan Oyo juga tidak digantikan," imbuh Sara.
Sama seperti Albert, keputusan unilateral juga dialami Sara. Pada 11 April lalu Sara menanyakan pencairan MG, namun balasan yang ia terima adalah pemberitahuan klausul force majeure. "Judulnya mitra loh, tapi suka suka dia sendiri dan kalau dikupas lebih menguntungkan untuk pihak Oyo. Contoh baru-baru ini setelah kebijakan force majeure yang dikeluarkan tanpa adanya MG. Kebijakan non-MG selamanya sudah dihapuskan dan diberlakukan 1 Juni," pungkasnya.
Pembatalan skema MG ini juga dilaporkan terjadi di negara-negara lain di mana Oyo beroperasi. Skema ini memang membuat Oyo cepat diterima pemilik properti, tapi skema ini juga yang akhirnya membuat Oyo kesulitan. Situasi pandemi memperkuat bahwa skema itu riskan untuk dipertahankan. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mewajarkan banyak pemilik hotel bujet menyukai skema bisnis tersebut.
“Tapi yang saya tahu model yang mereka pakai itu bikin mereka berdarah-darah sendiri, bahkan sebelum Covid-19,” ujar Maulana.
Jawaban Oyo
Pihak Oyo sendiri secara tidak langsung mengakui bahwa mereka tidak lagi menggunakan skema MG dengan para mitra. Juru bicara perusahaan mengatakan kepada DailySocial bahwa prinsip model bisnis mereka tetap membantu pemilik hotel bujet dan unbranded sebagai mitra dengan mengambil alih pemasaran, melakukan standardisasi, merenovasi interior dan meningkatkan kualitas layanan.
“Terkait aspek bisnis, kami menerapkan sistem bagi hasil dengan mitra pemilik hotel yang nilainya bervariasi berdasarkan tingkat komitmen serta investasi Oyo."
Terlepas dari aspek bisnis dengan mitra, juru bicara Oyo membantah semua tuduhan yang diarahkan ke mereka. Terkait perumusan keputusan misalnya, mereka mengklaim selalu mengedepankan komunikasi dua arah dengan para mitra sejak mereka bergabung ke platform Oyo. Mereka menjamin setiap keputusan terkait kerja sama dengan para mitra selalu didahului komunikasi dua arah dan sesuai ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian.
Juru bicara Oyo juga membantah pihaknya lepas tanggung jawab dalam kasus pencairan refund. Mereka mengklaim terus memproses refund kepada konsumen. Hanya saja, menurut mereka, di tengah proses itu sering terjadi hambatan untuk memvalidasi permintaan refund, seperti perbedaan nama tamu hingga kesalahan mengisi data rekening. Proses yang cukup panjang itu diklaim untuk memastikan keabsahan pengajuan refund. “Saat ini kami juga sedang meningkatkan sistem refund kami dari yang tadinya dilakukan secara offline, menjadi sistem yang dioptimalisasi secara digital,” imbuhnya.
Namun Oyo tidak mengelak saat disinggung soal kejadian-kejadian ganjil yang dialami konsumen. Kejadian-kejadian ganjil ini terekam di akun @oyobikinrugi_ di Instagram. Mereka meminta konsumen yang mengalami kejadian-kejadian ganjil seperti overbooked, properti tidak sesuai deskripsi, properti sudah tidak bekerja sama, untuk melapor lewat kanal yang tersedia di aplikasi.
“Kami meminta maaf dan menyayangkan apabila terdapat kejadian seperti itu. Sistem kami memang masih belum sempurna dan OYO senantiasa melakukan evaluasi dan perbaikan demi memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelanggan serta para mitra kami.”
Sign up for our
newsletter