Laporan East Ventures: Daya Saing Digital Masih Rendah, Startup Didorong Masuk ke Pelosok
Pemetaan awal untuk gambaran lengkap dan langkah strategis yang bisa ditempuh untuk memeratakan akses digital dan kapabilitas teknologi
Daya saing digital Indonesia masih terbilang rendah menurut laporan East Ventures - Digital Competitiveness Index (EV-DCI) dengan indeks rata-rata 27,9 untuk 34 provinsi. Jakarta menjadi provinsi dengan indeks tertinggi (79,7), sementara Papua menempati urutan terakhir (17,7).
Laporan ini merupakan alat untuk mengukur kondisi ekonomi digital di wilayah Indonesia berdasarkan tiga aspek. Masing-masing aspek ini memiliki tiga pilar yang menjadi alat ukur EV-DCI, dengan turunan data pendukung yang diambil dari lembaga resmi.
Aspek input yang mencakup sejumlah pilar utama yang mendukung terciptanya ekonomi digital. Tiga pilarnya adalah SDM, penggunaan ICT, pengeluaran untuk ICT. Aspek output untuk menggambarkan sejumlah pilar terkait ekonomi digital yang dihasilkan. Tiga pilarnya adalah perekonomian, kewirausahaan dan produktivitas, dan ketenagakerjaan.
Terakhir, aspek penunjang yang mendukung secara tidak langsung pengembangan ekonomi digital. Tiga pilarnya adalah infrastruktur, keuangan, regulasi dan kapasitas pemda.
Dari sembilan pilar ini, kesiapan Indonesia dalam ekonomi digital terlihat dari pilar penggunaaan ICT dengan skor tertinggi. Penggunaan ICT yang dimaksud terdiri dari kepemilikan smartphone, komputer, dan besarnya akses internet dari masing-masing daerah.
Kondisi ini sejalan dengan pilar infrastruktur yang merupakan bagian dari aspek penunjang, berada di posisi kedua. Sementara, dua pilar terendah adalah SDM dan kewirausahaan. Bila diterjemahkan, Indonesia masih menghadapi persoalan keterbatasan SDM yang terampil dalam ekonomi digital.
Wilayah Jawa memiliki daya saing digital terbaik, semua provinsinya menempati posisi 10 besar. Dilihat dari sub-indeks input dan output, hampir semua provinsi di Indonesia memiliki skor output yang lebih rendah daripada input.
Hal ini mengindikasikan daerah-daerah di Indonesia belum dapat mengoptimalkan input dalam hal SDM, penggunaan dan pengeluaran ICT, menjadi output dalam hal perekonomian, kewirausahaan, dan tenaga kerja. Kondisi ini tercermin dari NTB dan Papua yang punya output lebih besar daripada input.
Yogyakarta menjadi provinsi dengan jarak cukup jauh antara input dan output. Artinya, provinsi ini punya sumber daya besar, tapi belum dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong ekonomi digital. Hal yang sama juga terjadi untuk Kalimantan Timur, Bali, Kepulauan Riau, dan Bangka Belitung.
Selain membahas penggunaan digital dan literasinya, laporan ini juga membahas pekerjaan-pekerjaan apa saja yang akan hilang karena ekonomi digital. Juga memperkirakan pekerjaan baru apa saja yang akan muncul untuk meningkatkan kapabilitas suatu orang.
Langkah selanjutnya untuk stakeholder
Managing Director East Ventures Willson Cuaca menjelaskan EV-DCI bisa menjadi peta berikutnya untuk para penggiat startup dalam melebarkan bisnisnya secara tepat guna. Untuk startup yang skalanya sudah besar bisa didorong untuk masuk ke daerah yang potensi digitalnya masih gersang agar literasi digitalnya tinggi.
Akan tetapi, untuk startup baru, menerjemahkan laporan ini bukan dengan masuk ke lokasi yang gersang. Menurutnya startup itu butuh ekosistem sendiri, beberapa di antaranya butuh jumlah penduduk yang tepat, akses ke investor, infrastruktur ICT, hingga bandara udara.
"Ibaratnya sama seperti menanam pohon. Tidak semua jenis pohon bisa ditanam di tanah yang sama karena harus ada ekosistemnya," terangnya.
Dia menerangkan, East Ventures punya teori yang menyebutkan bahwa startup itu baru akan jalan ketika masuk ke daerah dengan populasi minimal 7 juta orang. Asumsi angka ini dilihat dengan mengambil rata-rata kasar jumlah usia muda, diperkirakan ada 20%.
Dari angka ini diperkirakan, pengguna internet ada separuhnya sekitar satu juta. Artinya, ini adalah potensi pengguna yang bakal memakai produk apabila merilis suatu aplikasi. "Kalau populasinya hanya 70 ribu orang, maka target penggunanya akan semakin kecil."
Teori ini melihat dari kesuksesan California dengan Silicon Valley yang punya populasi di atas 7 juta. Tokyo diperkirakan punya 14 juta populasi, sementara hampir sepertiga dari populasi di Korea Selatan terpusat di Seoul.
"Jadi berdasarkan teori ini mungkin buat startup di Surabaya kemungkinan gagalnya tinggi, harus beralih ke Jakarta."
Menurutnya, apabila teori ini tidak tepat maka kenyataannya Silicon Valley akan ada banyak di berbagai negara. Tapi kenyataan ini tidak terjadi. Selain Jakarta, belum ada startup dari daerah yang terlihat paling menonjol.
Willson juga membuka kesempatan untuk mengelaborasi lebih jauh dari hasil laporan EV-DCI ini karena ada banyak turunan yang bisa dibahas. Salah satunya adalah fakta mengenai tingginya indeks persebaran layanan fintech di suatu lokasi, sejalan dengan penurunan kantor cabang.
Kondisi ini bisa dibuat suatu prediksi oleh bank dan regulator di mana lokasi penutupan berikutnya. Agar bank tersebut bisa fokus ke hal lain.
"Kita enggak mau berhenti [sebar luaskan laporan] di sini saja, mau teruskan ke luar negeri. Sehingga orang tahu negara kita seperti apa, agar semakin banyak orang yang masuk ke Indonesia untuk berinvestasi," pungkasnya.
Sign up for our
newsletter