[Manic Monday] Terima Kasih, Aquarius Mahakam
Pagi ini saya mampir ke Aquarius Mahakam. Pagar depan halaman parkir masih sebagian tertutup, hanya ada satu mobil parkir, karena memang baru akan buka jam 10. Ada satu orang satpam sedang menyapu halaman parkir dari daun-daun dan sampah yang tergeletak. Saya bertanya padanya: "Pak, denger-denger mau tutup ya?" Sang satpam menoleh dengan senyum sedikit getir dan menjawab, "Iya, katanya begitu." "Sampai kapan Pak, bukanya?" Beliau menjawab, "Akhir bulan sih." Saya pun berlalu, karena harus bergegas ke kantor.
Ironisnya, sebelum ke Aquarius Mahakam, saya parkir di toko sebelahnya persis, yang adalah sebuah 7 Eleven. Beberapa tahun ini pertumbuhan toko serba ada 24 jam bagaikan jamur, merasuki tiap sela kosong kota seperti Jakarta seolah tak pernah sepi, sementara itu di sebelahnya adalah toko terakhir dari Aquarius, satu dari banyak toko yang fokus pada penjualan CD dan kaset yang sudah tutup dalam beberapa tahun terakhir. Walaupun memang masih ada toko-toko seperti Disc Tarra, Societie, Duta Suara dan lain-lain, toko musik Aquarius termasuk salah satu tonggak sejarah yang menyimpan banyak kenangan untuk generasi yang tumbuh dengan CD dan kaset.
Tutupnya Aquarius Mahakam sebenarnya mengikuti tren yang sudah terjadi beberapa tahun ini –Aquarius sendiri yang dahulu memiliki toko cukup ikonik di Bandung, Surabaya, maupun di Pondok Indah, Jakarta Selatan, akhirnya sedang menghitung hari menuju penutupan toko terakhirnya. Seperti halnya yang terjadi di luar negeri, volume bisnis yang dihasilkan oleh toko tersebut tidak cukup untuk menutup biaya sewa toko, gaji pegawai, investasi pengembangan ke depan, dan mendapatkan untung (karena semua bisnis harus punya untung). Secara perspektif bisnis sih memang valid - kalau ada satu unit usaha yang akhirnya berbiaya lebih besar daripada keuntungan, lebih baik ditutup atau dialihkan menjadi bisnis lain.
Di sisi lain, industri musik rekaman Indonesia sedang kembali mengalami gejolak peralihan. Setelah mengalami penurunan perlahan penjualan CD dan kaset, industri sempat merasakan tumbuhnya –dan jatuhnya– industri RBT, yang sempat menjadi periuk nasi baru. Dengan nyaris hilangnya pemasukan dari RBT semenjak akhir 2011, para pelaku industri kalang kabut –di satu sisi, berusaha menjaga supaya kejadian jatuhnya RBT tidak kembali terulang dengan lebih menjaga perjanjian dan konten, namun di sisi lain berusaha keras mencari sumber pemasukan baru. Munculnya iTunes dan Guvera yang kemungkinan besar akan disusul secara resmi oleh Deezer dan Spotify merupakan salah satu langkah menuju ke sana. Hasilnya seperti apa, kita belum tahu.
Saat melangkah menjauh dari Aquarius Mahakam, saya terhenyak –memangnya kapan saya terakhir membeli CD? Kalau tidak salah, sekitar setahun lalu saya membeli sebuah CD Payung Teduh dari Duta Suara Plaza Senayan, tapi setelah itu tidak pernah lagi. Hampir semua musik saya dinikmati melalui media digital –dari iTunes Store, Spotify, atau Ohdio.fm. Koleksi CD saya dan istri saya yang cukup besar kini hanya terpajang manis di rumah orang tua saya, dan untuk mengdengarkan musik saya menggunakan gadget; bahkan kami tidak memiliki CD player sekalipun. Saya sangat senang proses mencari dan membeli CD di toko, tapi pada akhirnya saya sudah tidak bisa menyediakan waktu untuk itu, dan membeli atau mendengarkan online jauh lebih praktis.
Apakah memang secara perlahan hilangnya CD musik itu dapat disalahkan sepenuhnya ke pembajakan? Atau justru masalahnya di distribusi dan harga –bahwa distribusi CD tidak merata (karena tergantung adanya toko CD atau tidak di suatu daerah), dan kalaupun ada CD, harganya tidak masuk akal untuk kebanyakan orang? Atau memang minat konsumsinya sudah bergeser menuju media lain? Atau bahkan, memang produk rekaman musik bukan saatnya menjadi komoditi mandiri yang dijual secara satuan/eceran?
Yang pasti, tutupnya Aquarius Mahakam adalah tutupnya sebuah masa yang cukup bersejarah, paling tidak untuk yang menikmatinya. Mencari CD yang diinginkan dalam tumpukan berbagai CD kini sudah tergantikan dengan search bar. Mencoba mendengarkan CD sebelum dibeli dengan perangkat yang disediakan toko kini sudah tergantikan dengan 30-second preview atau bahkan, stream penuh secara gratis. Dan pergi ke toko CD dengan teman-teman dan berdiskusi soal album mana yang layak dibeli, kini sudah tergantikan oleh obrolan via instant messenger dan social media. Kebiasaan di sekitar konsumsi musik mungkin masih kurang lebih sama, tapi pada akhirnya memang sudah berganti tempat. Tapi untuk kita yang tumbuh di masa itu, Aquarius Mahakam akan memiliki tempat tersendiri di hati.
Ario adalah co-founder dariOhdio, layanan streaming musik asal Indonesia. Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010, sebelum bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa follow akunnya di Twitter –@barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.
[ilustrasi foto oleh Ario Tamat]
Sign up for our
newsletter