McKinsey: Pemanfaatan Industri Digital di Indonesia Masih Rendah, Tahun 2025 Bisa Sentuh Angka $150 Miliar
Angka tersebut berdasarkan estimasi pertumbuhan GDP sebesar 10%
Dari paparan forum yang diadakan oleh McKinsey & Company dalam acara bertajuk "Indonesia in a digital world" mengungkapkan fakta yang menarik dari hasil riset yang berjudul "Unlocking Indonesia's digital opportunity" mengenai pemanfaatan industri digital di Indonesia saat ini masih terendah dibandingkan 19 negara lainnya yang disoroti McKinsey.
Dari hasil risetnya, McKinsey melihat belanja investasi IT di Indonesia masih sangat rendah untuk 10 sektor utama dibandingkan 19 negara lainnya yang masuk ke dalam daftar riset. Sektor minyak dan gas (migas), manufaktur, sumber daya alam, yang merupakan 50% kontributor utama dalam GDP, masih sangat terbelakang untuk adopsi ke digital.
Sementara untuk sektor industri keuangan dan ritel terbilang cukup baik untuk tingkat spending IT-nya. Perlu adanya kolaborasi antara pemerintah dan swasta untuk fokus menaikkan nilai investasi IT mulai dari hulu hingga hilir demi peningkatan kualitas infrastruktur, tingkat penetrasi internet masyarakat, dan produktivitas kerja.
McKinsey juga menerangkan pemanfaatan digital bisa juga dilakukan lewat kolaborasi antara perusahaan startup dengan incumbent. Menurut McKinsey, kehadiran perusahaan startup yang rata-rata sudah mengadopsi penuh industri digital dalam model bisnisnya dapat menjadi bahan ajar yang penting, agar perusahaan existing tetap bisa bersaing dan tidak menjadi startup sebagai inovasi yang disruptive.
Perlu diketahui, rendahnya pemanfaatan industri digital juga terlihat dari harga data internet di Indonesia terhitung murah namun kualitasnya masih buruk.
Ditambah lagi, dari sisi pengguna digital di Indonesia masih sangat rendah dan belum merata. Dari total populasi, hanya sekitar 30%-40% yang sudah bisa mengakses internet. Dibandingkan dengan Malaysia sudah mencapai 2x lipat dan Singapura sekitar 3x lipatnya.
Terakhir, masih rendahnya pemanfaatan big data yang dimiliki perusahaan. Secara rerata, dari total data yang dimiliki hanya memakai 1%-nya saja dipakai untuk pengambilan keputusan bisnis.
Padahal, industri digital pada masa mendatang dapat menjadi kunci utama meningkatkan pertumbuhan tenaga kerja dan faktor produktivitas. Diperkirakan dampaknya bisa menyentuh sebesar $150 miliar pada 2025 dengan estimasi pertumbuhan GDP sebesar 10%.
Korelasi kuat antara digital dengan produktivitas tenaga kerja
McKinsey juga mengungkapkan ada korelasi yang kuat antara digital dengan produktivitas tenaga kerja. McKinsey melihat selama beberapa tahun terakhir, tingkat partisipasi tenaga kerja stabil sekitar 70% dan tingkat pengangguran menurun 5,5%. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja lewat pemanfaatan teknologi digital.
Misalnya, melakukan pencarian talenta lewat platform digital. Dari situ, tingkat keakuratan pencarian talenta akan lebih ringkas, tidak memakan waktu, dan sesuai dengan yang dicari perusahaan. Dari pemanfaatan TI, ada potensi terbukanya lapangan pekerjaan baru sebanyak 3,7 juta di 2025. Dengan pemanfaatan digital dalam bisnis perusahaan secara menyeluruh bisa meningkatkan produktivitas kinerja antara 15%-20%.
"Dampak ekonomi yang dihasilkan dari $150 miliar per tahun di 2025 adalah hadiah terlalu besar bila diabaikan. Dengan menerapkan strategi digital secara holistik akan memungkinkan perusahaan Indonesia menjadi pemenang di era digital dan mengangkat pertumbuhan ekonomi di tingkat berikutnya," ujar Khoon Tee Nan, Partner McKinsey, Selasa (27/9).
Masih rendahnya ketiga faktor di atas membuat Indonesia saat ini masih berada di posisi nomor dua terbawah dibandingkan 18 negara lain yang disoroti McKinsey.
Adapun negara yang masuk ke dalam daftar riset beberapa ada di ASEAN, seperti Thailand, Malaysia, dan Filipina. Yang lain adalah Brazil, Tiongkok, India, dan Rusia. Sementara negara maju yang masuk dalam studi ini adalah Australia, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Singapura, Korea Selatan, Spanyol, Inggris, dan Amerika Serikat.
Kendati demikian, untuk menyelesaikan seluruh permasalahan tersebut, ada lima solusi yang ditawarkan McKinsey. Yakni, mendefinisikan pengalaman konsumen, menggabungkan model bisnis online dan offline, menggunaan big data untuk keputusan bisnis, menyempurnakan perlindungan dari serangan siber, dan membangun DNA digital.
Digital mengubah persaingan bisnis
Dalam sesi diskusi panel yang dihadirkan McKinsey, dihadirkan narasumber dari berbagai industri, Edward Ying (Direktur Planning & Transformation), Andreas Diantoro (CEO Microsoft Indonesia), Jan van der Eijk (Ex-CTO Shell), John Riady (Executive Director Lippo Group), dan Catherine H Sutjahyo (CEO Alfacart).
Andreas mengatakan saat ini bisnis yang terbilang "seksi" adalah digital transformation. Menurutnya beberapa orang mengatakan mereka paham digital karena sudah mengakses media sosial. Namun, di sisi lain, orang-orang yang sudah paham tentang digital, memanfaatkannya untuk mempelajari karakteristik konsumen. Bahkan, ada yang menggunakan digital untuk mengubah gaya hidup sesorang.
"Jadi, persaingan saat ini sangat bergantung sejauh mana memanfaatkan big data dalam membuat produk yang sesuai dengan kebutuhan konsumen."
Catherine menambahkan, saat berbicara mengenai digital perlu diingat bahwa perlu dibuat sesuai dengan taste orang Indonesia, agar lebih tepat sasaran. Maka dari itu, dalam model bisnis Alfacart menggabungkan konsep offline dan online. Pembeli dapat mengambil barang pesanannya di toko offline Alfamart.
Sign up for our
newsletter