Memahami Budaya Bekerja Milenial
Diskusi #SelasaStartup bersama Co-Founder dan CTO UrbanHire Hengki Sihombing
Generasi milenial menjadi kelompok tenaga kerja berikutnya yang siap memenuhi kebutuhan industri. Kehadiran mereka ternyata membawa perubahan terhadap gaya bekerja perusahaan yang hierarki dan statis menjadi lebih dinamis, pada akhirnya memaksa perusahaan untuk berubah.
Sesi #SelasaStartup edisi (14/8) menghadirkan Co-Founder dan CTO UrbanHire Hengki Sihombing. Sesi kali ini banyak membahas bagaimana cara memahami cara kerja milenial, mulai dari karakternya, bagaimana cara mereka bekerja, dan kompensasi yang diharapkan milenial dari perusahaan. Berikut rangkumannya:
1. Pahami karakteristik milenial
Generasi milenial adalah mereka yang lahir dari tahun 1981-1996. Menurut Hengki, secara umum ada karakteris milenial ada lima. Tech savvy, senang menerima masukan, tidak sabaran, progresif, dan berjiwa pengusaha.
Dia mencontohkan, untuk karakteristik jiwa pengusaha biasanya terjadi saat lulusan terbaik di bidang IT merasa terpacu mampu membuat sesuatu aplikasi yang lebih baik dari yang ada sekarang. Alhasil sifat ini mendorong mereka untuk hidup sebagai pengusaha daripada bekerja untuk orang lain.
"Makanya sekarang nyari programmer itu susah karena banyak mereka yang kerja untuk diri sendiri daripada buat orang lain. Meski, langkah yang mereka pilih ini belum tentu langsung berhasil juga," ujar Hengki.
2. Gaya milenial saat bekerja
Masih berkaitan dengan karakterisik, di dunia kerja, milenial tergolong lebih menyukai ruangan terbuka untuk membuka potensi kolaborasi dan co-creation, senang bekerja di lingkungan perusahaan yang pro terhadap pemakaian teknologi, dan yang terpenting mereka bekerja bukan karena sekadar dapat gaji.
"Apresiasi itu penting, milenial tidak begitu mementingkan gaji karena gaji itu bagi mereka ada di nomor dua. Mereka ingin menyalurkan apa yang bisa dilakukan, bisa belajar apa saja, mungkin pada akhirnya akan mulai memikirkan kenaikan gaji."
Milenial juga punya kecenderungan senang menerima evaluasi atas apa yang sudah mereka lakukan. Sehingga daripada mengkritik cara kerja mereka lebih baik para atasan mengontrol mereka dengan sejumlah arahan dan deadline yang harus dipatuhi. Perlu juga sesekali memberikan mereka kebebasan untuk mengambil suatu keputusan.
Inilah yang menjadi alasan mengapa milenial terlihat tidak bekerja, padahal sebenarnya mereka itu tetap bekerja hanya saja tidak sesuai dengan jam kerja normal pada umumnya.
"Yang penting adalah manage komitmen mereka, minta update dan planning kerja, dan tanyakan apakah ada tantangan saat mengerjakan tugasnya. Hal simpel seperti ini yang sebenarnya ingin dilakukan seorang atasan kepada pegawainya yang seorang milenial."
3. Kompensasi bukan hanya soal uang
Karena fokus para generasi milenial dalam bekerja bukan soal materi saja, maka perusahaan harus menyadari ada benefit lainnya yang bisa diberikan kepada mereka. Misalnya kebebasan untuk berdiskusi dengan para senior, mereka senang bertukar pikiran dan meminta inspirasi untuk memacu diri saat bekerja.
Kondisi seperti ini sebenarnya tidak bisa dipukul rata. Menurut Hengki, di dunia engineer ada juga yang memanfaatkan materi untuk menunjang karier karena terjadi kebutuhan yang begitu tinggi di perusahaan teknologi.
"Tidak hanya materi yang dikejar karena mereka umumnya yakin dengan kemampuan sendiri maka materi akan menyusul. Tapi karena di dunia engineer demand-nya sangat tinggi, banyak yang memanfaatkan itu."
Kompensasi lainnya juga bisa berupa lingkungan kerja yang mendukung untuk perkembangan soft skill dan hard skill, sehingga mereka bisa lebih profesional. Makanya sosok mentor sangat dibutuhkan dalam hal ini.
Perusahaan juga dapat menciptakan budaya kerja seperti startup meski bukan berupa perusahaan startup. Budaya seperti ini yang sebenarnya sangat dicari oleh para milenial, sebagai opsi selain bekerja di startup untuk menikmati semua benefit tersebut.
Sign up for our
newsletter