Mengejar Pajak Perusahaan OTT
Titik terang untuk perpajakan digital, anggota G20 akan sepakati kerangka kerja
Pajak perusahaan OTT seperti Google, Facebook, hingga Amazon sudah menjadi perbincangan di banyak negara termasuk Indonesia beberapa waktu lalu. Potensi pajak dari mereka diharapkan bisa memberikan sumbangsih pendapatan negara. Kini perpajakan untuk perusahaan-perusahaan tersebut menemui titik terang. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa dalam pertemuan G20 pekan kemarin para negara anggota sepakat untuk menyusun kerangka kerja baru.
Sri Mulayani menjelaskan ada dua setidaknya hal yang disepakati, pertama soal base erosion and profit shiftting (BEPS) atau kecenderungan perusahaan mencari tempat dengan tingkat pajak rendah dan juga mengenai digital ekonomi. Inggris dan Perancis merupakan dua negara yang menjadi contoh telah berhasil mengenakan pajak terhadap perusahaan teknologi.
"Terutama Inggris dan Perancis yang melakukan unilateral untuk meng-impose pajak digital ekonomi. Dia bahkan melakukannya bukan hanya untuk digital ekonomi dari sisi VAT, karena yang paling mudah, tapi juga dari sisi income tax PPh di mana mereka juga menggunakan pendekatan economic presence-nya lebih dijadikan sumber pajaknya. Jadi bukan tempat tinggalnya jadi dia bisa saja tetap di Irlandia yang tarif pajaknya sangat rendah, tapi kalau aktivitasnya lebih banyak di Inggris maka pajaknya tetap di Inggris. Itu yang dilakukan Inggris dan Perancis," jelas Sri Mulyani.
Saat ini Indonesia kurang lebih memiliki 260 juta populasi dengan 100 juta pengguna internet, namun realisasi penerimaan perpajakan belum tercermin dari sana. Tantangannya adalah tidak ada kehadiran secara fisik perusahaan di Indonesia. Oleh karena itu redefinisi dari Bentuk Usaha Tetap menjadi prioritas.
"Kegiatan digital itu bisnis modelnya berbeda dengan non digital karena mereka tidak harus memiliki BUT (Bentuk Usaha Tetap) atau permanent establishment di suatu negara atau yurisdiction sehingga beroperasi di lintas negara," terang Menkeu seperti dikutip dari Liputan6.
Ia lebih jauh menambahkan, "Jadi itu yang membuat kesulitan karena basis pajak adalah kehadiran perusahaan secara fisik. Tapi perusahaan digital bisa lakukan tanpa buat cabang atau permanent establisment. Jadi ini tidak hanya di Indonesia saja. Sehingga kehadiran secara fisik tidak bisa lagi dijadikan acuan."
Dikutip dari Kontan, Pengamat Perpajakan DDTC Bawono Kristiaji menyampaikan bahwa upaya memberlakukan pajak untuk perusahaan OTT seperti Google, Amazon, Facebook, dan Apple bila direalisasikan maka akan sangat menguntungkan Indonesia.
Menurutnya saat ini ada dua hal utama yang menghindarkan perusahaan OTT tersebut terhindar dari pajak, pertama soal BUT dan yang kedua soal pengalokasian laba. Jadi meskipun sudah menjadi BUT laba yang bisa dipajaki di suatu yuridiksi seharusnya merefleksikan kontributi entitas negara tersebut terhadap pembentukan nilai dalam group multinasional.
"Sayangnya sistem pajak internasional yang saat ini berlaku tidak mengatur kedua hal tersebut yaitu status BUT belum berdasarkan significant economic presence dan alokasi laba yang belum merefleksikan pembentukan nilai secara fair," imbuh Bawono.
Pengejaran pajak digital untuk perusahaan OTT memang menguntungkan dengan negara dengan konsumen besar seperti Indonesia. Namun dengan kompleksitas ekonomi digital tantangan lainnya yang dihadapi pemerintah dalam mengejar pajak perusahaan OTT adalah formulasi kebijakan, khususnya pada perhitungan kuantitatif terkait significant persence dan mendefinisikan low or no tax jurisdictions. Termasuk formula dan dasar perhitungannya.
Sign up for our
newsletter