OJK Siap Longgarkan Aturan Listing Bursa Khusus Startup
Rencananya aturan tersebut akan diterbitkan pada semester II/2017
Untuk mempermudah startup yang ingin melantai di bursa sekaligus menambah jumlah listing emiten, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini tengah menggodok pelonggaran aturan listing khusus untuk startup digital. Rencananya aturan tersebut akan diterbitkan pada semester II/2017.
Beberapa poin utama yang akan dilonggarkan, misalnya perubahan definisi yang awalnya penawaran umum untuk UKM menjadi penawaran umum dengan usaha skala aset kecil dan menengah. Untuk kategori usaha skala aset kecil, OJK akan membatasinya dengan ketentuan modal minimal di bawah Rp50 miliar, sementara untuk usaha skala menengah memiliki modal minimal di bawah Rp100 miliar.
Hal lainnya yang akan dipermudah OJK, mengenai penggunaan laporan keuangan untuk prospektus dalam rangka penawaran umum cukup dengan perbandingan cukup satu tahun terakhir. Berbeda dengan ketentuan di perusahaan lainnya, mereka diharuskan untuk menggunakan laporan keuangan sejak tiga tahun terakhir.
Untuk pengumuman informasi atau prospektus, startup juga diperbolehkan mengumumkannya lewat situs tanpa harus menggunakan media cetak. Proses registrasi pun nantinya juga diperbolehkan secara online.
"Concern yang kami tekankan dalam pelonggaran ini adalah masalah biaya saat ingin listing, kami berusaha menurunkan biaya listing bursa seminimal mungkin agar dapat mempermudah startup melantai di bursa. Kami dukung mereka secepat mungkin bisa melantai dan bisa masuk ke market sesuai targetnya karena bagi market sangat erat kaitannya dengan timing yang tepat dan harus kondusif," terang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida, Kamis (23/3).
Nurhaida melanjutkan, selain itu masih ada hal lainnya yang didiskusikan dalam internal OJK mengenai jumlah ketentuan penawaran ke publik yang bisa diajukan. Apakah nilainya akan naik dari ketentuan lama atau tetap sama Rp40 miliar.
Regulator pun masih berdiskusi lebih lanjut mengenai besarannya sambil menimbang-nimbang baik dan buruknya, mengingat sebagian besar tujuan melantai di bursa adalah mencari dana segar.
"Jumlah penawaran ke publik kalau dari aturan lama sebesar Rp40 miliar, bisa jadi dipertahankan atau ditingkatkan. Ada kemungkinan dinaikkan karena semakin besar dana yang didapat dari publik semakin baik untuk perusahaan. Tapi ini semua masih dalam tahap diskusi internal OJK baik dan buruknya karena harus mempertimbangkan mitigasi risiko, capital structure, dan lainnya."
Mengenai startup yang masih merugi namun sudah listing, menurut Nurhaida, hal tersebut diperbolehkan. Hal itu sudah diperbolehkan dalam papan pengembangan. OJK dan BEI juga tengah menyiapkan infrastruktur yang bisa mendukung emiten UKM dalam bertransaksi di pasar modal dengan membentuk papan UKM.
Saat ini, papan yang tersedia di Bursa Efek Indonesia (BEI) adalah papan utama untuk emiten kelas kakap dan papan pengembangan untuk emiten 2nd liner.
Untuk menjamin likuiditas saham UKM, BEI juga tengah mempersiapkan aturan penggerak perdagangan atau market maker khusus untuk startup. Direktur Utama BEI Tito Sulistio menjelaskan dengan adanya market maker investor pasar modal mendapat kepastian bahwa saham UKM yang diperdagangkan adalah aktif.
Market maker, sambung Tito, dapat secara aktif tanpa menunggu perintah nasabah untuk menjual atau membeli saham.
"Fokus BEI sekarang ini adalah membuat aturan mengenai garansi infrastruktur dan peraturan tentang likuiditas market maker. Untuk jadi market maker, brokernya harus kuat karena sifatnya mereka aktif jual dan beli sifatnya jadi seperti money changer. Aturannya sedang kami siapkan," ucap Tito.
Nurhaida melanjutkan, saat ini terdapat lebih dari 60 ribu UMKM di Indonesia. Dia merinci, jika 1% atau 600 UMKM diedukasi dan separuh dari jumlah mereka berhasil melantai di bursa, maka dalam lima tahun akan ada 1.500 UMKM yang IPO.
"Jika sekarang ada 537 emiten sudah melantai di BEI, dalam lima tahun mendatang ada 1.500 UMKM sudah IPO, kita bisa mengalahkan Singapura dan Malaysia," kata Nurhaida.
Peresmian IDX Incubator
Dalam kesempatan yang sama, BEI meresmikan IDX Incubator sebuah program inkubasi bisnis bagi startup digital selama enam bulan. Program inisiasi ini nantinya akan mengembangkan startup tidak hanya dari segi produk namun juga dari segala aspek bisnis.
Para startup yang bergabung akan dibina secara berkelanjutan sempai menjadi perusahaan yang dapat memonetisasi bisnis mereka dan diharapkan dapat memenuhi persyaratan untuk tercatat di BEI.
Beberapa program yang akan diberikan di antaranya pelatihan, bimbingan, akses pendanaan, serta penyelenggaraan acara yang berkaitan. Tahapan pelatihan dimulai dari Idea Validation, peserta akan memvalidasi ide atau proyek yang sedang dirintis menjadi ide atau proyek yang dapat dikembangkan menjadi suatu produk yang memiliki prospek bisnis.
Tahapan berikutnya, Product Development. Peserta mengembangkan ide atau proyek yang telah divalidasi menjadi produk yang siap diluncurkan ke masyarakat. Terakhir, tahap Business Development. Peserta akan diberikan pelatihan untuk membangun bisnis, mengembangkan bisnis, dan pengetahuan tentang go public.
Fasilitas yang disediakan IDX Incubator untuk peserta, mulai dari ruang kerja, ruang pelatihan, ruang rapat, ruang istirahat, loker, serta akses internet.
Saat ini ada 23 startup dengan total 43 orang yang tergabung dalam IDX Incubator, setelah melalui proses seleksi dari 65 startup yang mendaftar. IDX masih membuka kesempatan untuk startup lainnya yang ingin bergabung, entah mengikuti program pelatihan saja atau sekaligus memanfaatkan co-working space.
"Kami masih memiliki 60 kursi untuk diisi, sekarang ini baru terpakai 25 kursi dari 12 startup. Kami berencana untuk buka IDX Incubator lainnya di Yogyakarta, Bandung, Bali, Semarang, Medan, yang bakal bertempat di dekat kampus," terang Tito.
Adapun biaya yang harus dibayarkan per kepala untuk menggunakan ruangan di IDX Incubator sekaligus mendapatkan ilmu sebesar Rp600 ribu per bulannya.
Sign up for our
newsletter