Oleh-Oleh TechCrunch Disrupt London 2014 (Bagian Kedua)
Editorial Notes: Robin Malau memperoleh kesempatan mengikuti TechCrunch Disrupt Europe 2014:London dan membagikan pengalamannya yang di sini. Ini adalah tulisan bagian kedua (terakhir). Tulisan bagian pertama bisa disimak di sini.
Hanya tiga Founder atau CEO dari empat belas perusahaan yang berpartisipasi di Startup Battlefield yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama. Mereka berasal dari Austria, Belgia, Kroasia, Republik Ceko, Irlandia, Finlandia, Perancis, Jerman, Israel, Rusia, Amerika Serikat, dan Inggris. Grammar mereka belepotan, tapi punya kosa kata yang cukup kaya. Kelihatan mereka sudah sering presentasi menggunakan bahasa Inggris, karena mereka tidak terlihat canggung lagi. Kebanyakan perusahaan sudah mendapat funding, ada yang sudah mendapat investasi hingga $1 juta atau bahkan lebih.
Tiap pembicara diberi waktu 6 menit termasuk tanya jawab dengan juri. Template presentasinya biasanya adalah menyebut dulu masalah yang ada, disusul dengan solusi yang mereka tawarkan, baru mengenalkan nama perusahaan dan tim yang presentasi. Rata-rata CEO-nya yang memimpin pitch, sementara itu Product Manager atau CTO bersiap untuk memberikan demo dari samping panggung. Slide demi slide digarap dengan sangat serius, grafisnya rata-rata menarik dan teks hanya sedikit.
Semua perusahaan berpikir untuk mencapai target pasar yang sangat luas. Bukan hanya pengguna potensial yang ada di negaranya, karena kebanyakan startup berasal dari negara yang berpenduduk sedikit. Nggak tanggung-tanggung, mereka ingin meraih pasar global. Yang menarik buat saya, dua produk yang sangat populer siang itu (mengacu pada antusiasme juri dan penonton) adalah Disease Diagnostic Group dan Photomath, yang mengarah pasar di negara berkembang. “Let’s reach 1 billion customers” adalah tema pitch mereka ketika membicarakan target pasar. One fucking billion customers. Startup Battlefield adalah sesi yang sangat panas. Saya baru mengerti mengapa begitu banyak dibicarakan orang.
Hari pertama berakhir dengan networking dinner di sebuah restoran yang lokasinya masih di distrik yang sama, The Gable.
Hari Kedua
Tidak seperti hari pertama, saya datang agak lebih siang karena tidak perlu mendaftar lagi. Cukup datang dengan membawa name tag dan di-scan oleh staf di venue untuk registrasi ulang. Saya datang tepat setelah pembukaan event di conference hall. Di hari kedua saya berencana untuk menghabiskan waktu lebih banyak di conference hall, karena banyak pembicara menarik yang akan naik panggung.
Seperti hari pertama, sesi dibuka dengan panel besar dari sekelompok investor asal Eropa. Saul Klein dari Index Ventures paling banyak mengungkap informasi tentang skena teknologi di UK, terutama di London. Menurutnya mulai banyak kisah sukses yang dihasilkan Eropa, meski belum sebanyak Amerika Serikat. Salah satu kisah sukses startup London adalah Songkick, yang memilih berkantor di London karena ibukota Inggris berpenduduk 8 juta orang tersebut adalah pasar terbesar live music di dunia.
Lebih jauh menurut Saul semua perusahaan teknologi besar akan membuka kantor pertama di Eropa di London. Banyak kelebihan London untuk menjadi hub startup teknologi dibanding kota-kota besar di Eropa lainnya, salah satunya adalah dukungan kuat dari pemerintah dengan membentuk kementerian khusus untuk Ekonomi Digital dan membangun beberapa wilayah di London untuk menjadi pusat perkembangan kewirausahaan teknologi. Index Ventures sendiri sudah melakukan 31 transaksi investasi selama tahun 2014, yang artinya hampir setiap minggu ada kesepakatan bisnis baru.
Menjelang siang, udara masih dingin dan saya memutuskan untuk beranjak dari tempat duduk berjalan-jalan di area Startup Alley. Di situ saya baru sadar, bahwa selain startup yang dikategorikan dalam bisnis aplikasi atau hardware, ada juga paviliun delegasi negara. Jadi ada beberapa negara yang mengirimkan masing-masing 10 perusahaan untuk berpartisipasi di TC Disrupt London, yaitu Republik Ceko, Lithuania, Korea dan negara-negara Arctic.
Setelah merasa hangat saya kembali ke conference hall tepat ketika Startup Battlefield final dimulai. Satu persatu finalis maju dan memberikan presentasi hingga makan siang dimulai. Saya pergi keluar dari lokasi karena lelah menghadapi agresi dari orang-orang yang tidak saya kenal selama dua hari berturut-turut dan menikmati makan siang yang enak.
Kembali ke conference hall, Morten Lund yang dikenal sebagai salah satu investor awal Skype sudah di atas panggung bersama Mike Butcher dari Techcrunch Europe. Ceritanya legendaris. Morten menjual perusahaan advertising agency-nya untuk berinvestasi di perusahaan komunikasi tak ternama bernama Skype. Ketika diakuisisi Ebay pada tahun 2005, nilai investasinya berlipat ganda.
Di atas panggung, Morten mengaku bahwa yang dia dapatkan dari penjualan Skype sebenarnya lebih banyak dari yang diberitakan, yaitu dari nilai investasi $50 ribu (sekitar Rp 600 juta) menjadi sekitar $80 juta (hampir Rp 1 triliun). Kaya mendadak, membuat Morten memiliki lebih banyak kesempatan untuk berinvestasi. Dalam bahasanya sendiri, “It’s hard not to spend one hundred thousand dollars everytime I leave home.”
Tahun 2009, Morten dinyatakan bangkrut setelah perusahaan koran gratisnya yang bernama Nyhedsavisen gagal berbisnis. Bahkan katanya, dia sampai tidak boleh punya kartu kredit lagi. Lewat kerja keras, Morten kembali dari kebangkrutan di tahun 2010 dan berjaya kembali. Dalam 15 tahun karirnya sebagai pengusaha dan investor, Morten telah berinvestasi di lebih dari 100 perusahaan. Ketika ditanya apa yang kita harus lakukan agar menjadi lebih baik, dia jawab, "We don't have to be better, we just need to stimulate the good ones."
Jawaban yang sangat praktis dan strategis. Inspiring!
Setelah beberapa pembicara, seperti co-founder Soundcloud Eric Wahlforss dan founder Zendesk Mikkel Svane, serta beberapa pengusaha bidang Fintech (perusahaan teknologi yang berinovasi di bidang finansial), panel hari itu ditutup dengan perbincangan Mike Butcher dengan Menteri Budaya dan Ekonomi Digital UK Ed Vaizey.
Negara kerajaan ini nggak tanggung-tanggung komitmennya membangun industri digital, hingga membuat kementerian khusus untuk menangani sektor yang sedang berkembang pesat tersebut. Pada kesempatan ini Ed mengungkap rencana pemerintah untuk membangun beberapa lokasi di beberapa kota di UK untuk menjadi hub pengembangan kewirausahaan berbasis teknologi, termasuk London, Birmingham, dan Manchester.
Kesimpulan
- Mengacu pada apa yang saya dapatkan selama 2 hari, mengeluarkan uang £800 adalah investasi yang return-nya sangat besar. Jika Anda founder dan bisa menghadiri TC Disrupt, maka datanglah. Tidak terbayar network dan pengalaman yang akan Anda dapat dari event ini. Pol!
- London adalah kota global, dalam indeks Global City, setara dengan New York. Tak heran startup dan investor dari segala penjuru dunia mau datang ke sini.
- Eropa adalah daratan luas yang mudah dijangkau lewat jalan darat. Ini membuat bisnis antar negara jadi sangat mudah.
- Perusahaan teknologi yang berhasil adalah mereka yang menemukan masalah nyata dan memfokuskan segala upayanya untuk mememecahkan masalah tersebut.
- Pengetahuan dan skill seorang CEO tidak cukup hanya produk, tapi pemahaman mendalam tentang operasi dan pengembangan bisnis adalah kunci kesuksesan.
- Umur CEO dan Founder yang berpartisipasi beragam sekali, dari anak berumur 16 tahun hingga kakek-kakek bergelar PhD. Selain tidak ada kata terlalu cepat, juga tidak ada kata terlambat.
- Negara berkembang, termasuk Indonesia, bagus sekali untuk dijadikan pasar karena penduduknya banyak. Pengusaha di negara maju sudah paham benar peluang ini. Jadi, sekarang kembali ke stakeholder di Indonesia sendiri. Akan membuka mata dan bergerak dengan cepat menangkap peluang agar bisa bersaing, atau diam saja dan digilas arus globalisasi teknologi yang sudah tidak terbendung lagi.
[Sumber foto: Flickr/TechCrunch]
- Robin Malau adalah Managing Director Cerahati Digital Media dan Founder & CEO Musikator. Robin bisa dikontak melalui akun Twitter-nya.
Sign up for our
newsletter