Percaya Diri, Rumah Produksi Rilis Layanan OTT Sendiri
Melihat strategi dan proposisi konten dari Bioskop Online (Visinema), Nonton (MVP Group), dan KlikFilm (Falcon Pictures)
Kepercayaan konsep “winner takes all” tidak selalu berlaku untuk semua bisnis digital. Pengaruh Netflix yang sudah terlanjur menguat di berbagai belahan dunia, tidak menyurutkan optimisme pemain lokal untuk terjun ke ranah yang sama.
Setelah DailySocial membahas kepungan pemain OTT dari luar, global dan regional, ke Indonesia, kini ada tren menarik yang terjadi, yakni produsen konten yang terjun ke bisnis OTT. Sebagai produsen, tentu ada “bargaining power” dalam mendistribusikan kontennya, entah ke televisi, bioskop, atau platform OTT.
Namun belum “sreg” ternyata kalau belum punya platform sendiri karena platform petahana belum menjawab apa yang produsen konten inginkan. Dari pantauan DailySocial, sejauh ini ada tiga rumah produksi lokal yang merilis platform OTT sendiri.
Mereka adalah Visinema dengan Bioskop Online, MVP Group dengan Nonton, dan Falcon Pictures dengan KlikFilm. Seluruhnya masih seumur jagung dan terus berupaya menarik konsumen dengan konten-konten produksinya.
Celah kosong
President Digital Business Visinema Group Ajeng Parameswari menjelaskan, dari posisinya sebagai penikmat film ia merasa sudah lama mendambakan satu platform berisi film-film lokal berkualitas dengan mudah. Keluhan tersebut, juga terasa buat dirinya sebagai produsen film, bahwa akses mendapatkan konten seperti itu memang lebih susah dengan alasan komersial.
“Karena itu, lahirlah Bioskop Online yang merupakan perwujudan idealisme kami untuk menciptakan sebuah wadah yang mempertemukan penikmat film dengan film-film berkualitas,” tutur Ajeng kepada DailySocial.
Celah tersebut dari kacamata bisnis menjadi potensi yang besar, terutama jika dibandingkan antara jumlah populasi dengan jumlah layar bioskop saat ini. Berkat dukungan pertumbuhan film Indonesia, yang mana jumlah produksi film lokal dan jumlah penontonnya kian meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Bioskop Online punya optimisme tinggi bahwa mereka punya kesempatan untuk tumbuh dan memenuhi kebutuhan akses film Indonesia berkualitas bagi para penonton. Bioskop Online sendiri baru resmi dirilis pada 11 Juli 2020 di bawah badan hukum PT Bioskop Digital Indonesia. Situsnya baru bisa diakses situsnya melalui desktop dan mobile.
Bioskop Online secara spesifik baru menyajikan konten film, dari keluaran sendiri, seperti Keluarga Cemara dan Filosofi Kopi. Lalu, bekerja sama dengan rumah produksi independen yang mendapat banyak penghargaan dari berbagai festival ternama, diantaranya Siti, Mereka Bilang Saya Monyet, Ziarah, Istirahatlah Kata-Kata, Turah, dan masih banyak lagi.
Seluruh film tersebut dapat ditonton dengan konsep pay-per-view dengan biaya Rp5 ribu sampai Rp10ribu dan dapat disimpan hingga 2 hari. Metode pembayarannya juga sudah kekinian dengan memanfaatkan QRIS yang dapat menjangkau seluruh konsumen.
Keyakinan yang sama juga dicoba MVP (PT Tripar Multivision Plus), salah satu rumah produksi terbesar di Indonesia, saat merilis aplikasi Nonton pada awal tahun lalu. Nonton dijalankan oleh anak usahanya, PT Web Stream Indonesia.
Kekayaan konten MVP yang sudah diproduksi sejak dua dekade silam menjadi proposisi yang menarik untuk melawan OTT global dan regional. CEO MVP Group Amit Jethani menuturkan kekuatan inilah yang membuat Nonton berbeda.
“Kami berinvestasi di Nonton pada beberapa waktu yang lalu sebagai sarana untuk lebih memahami dunia OTT dan mendapatkan masukan langsung dari konsumen tentang tontonan yang mereka sukai. MVP memiliki salah satu perpustakaan konten terbesar di Indonesia dan sekarang kami menghadirkannya secara online,” ujar Amit.
Nonton memanfaatkan nuansa nostalgia untuk menarik penonton yang mencari alternatif tontonan lawas, dengan tayangan serial TV (sinetron) keluaran tahun 1990-an hingga 2000-an. Rata-rata tayangan ini tenar pada zamannya dan banyak disenangi penonton lokal.
Sinetron keluaran MVP yang cukup terkenal seperti Doa dan Anugerah (Krisdayanti dan Anjasmara), Dewi Fortuna (Roy Marten, Ayu Diah Pasha, dan Bella Saphira), Asmara (Dicky Wahyudi dan Tamara Blezynski), Melati (Desy Ratnasari), Janjiku (Paramitha Rusady dan Reynold Surbakti), dan masih banyak lagi dapat disaksikan kembali di layar ponsel.
“Kami memiliki banyak katalog serial TV yang hingga saat ini dicintai dan ditonton oleh banyak orang. Banyak pengguna kami lebih menyukai cerita dan akting dari serial lama kami.”
Ada lagi KlikFilm dari Falcon Pictures yang baru dirilis pada awal tahun ini. Mereka juga menayangkan film-film garapannya, termasuk dari Max Pictures dan Maxima Pictures. Sebagai pembeda lainnya, mereka juga menyediakan film-film hasil kurasi dari luar negeri yang tidak tayang di bioskop Indonesia dari Amerika Serikat, Eropa, dan Asia.
Seluruh tayangan tersebut dapat dinikmati dengan cara berlangganan secara mingguan seharga Rp10 ribu dipotong dari pulsa, redeem voucher, atau e-money. DailySocial mencoba menghubungi pihak KlikFilm untuk memberikan tanggapannya, namun hingga artikel diturunkan belum mendapatkan respons.
Ruh ada di konten original
Sebagai produsen konten, ketiga rumah produksi di atas kini punya jalur khusus untuk mendistribusikan hasil karyanya ke dalam platform-nya sendiri, sebelum disebar lisensinya ke platform OTT lainnya. Formula ini dibalik oleh pemain OTT dengan memperluas jaringan ke banyak rumah produksi agar mau kerja sama produksi konten original dan tayang secara eksklusif di platform-nya.
Strategi ini jadi lumrah dan banyak dipakai di industri mau di belahan negara manapun. Netflix termasuk yang paling giat memproduksi konten originalnya dengan menyediakan dana jumbo.
Bagi Ajeng, kondisi demikian adalah hal positif buat para penikmat Indonesia, sebab mereka akan punya semakin banyak pilihan film untuk dinikmati. Bagi produsen, hal ini mampu memicu untuk memproduksi lebih banyak konten berkualitas.
“Selain itu dengan banyaknya PH lokal atau OTT yang membuat konten original akan membawa kontribusi, baik bagi industri perfilman Indonesia dan diharapkan nantinya film Indonesia akan menjadi tuan rumah di negaranya sendiri.”
Dia melanjutkan, dari kacamata bisnis ini bukan menjadi kompetisi antara satu sama lain, melainkan dorongan untuk sinergi. Ia justru menyambut baik karena perusahaan terbuka untuk berkolaborasi dengan rumah produksi lain membuat konten bersama atau juga berkolaborasi dengan pihak lain untuk memajukan industri film Indonesia.
Yang terpenting saat ini adalah menghadirkan konten yang berkualitas dan berkontribusi membangun ekosistemnya. Ia percaya bahwa konten yang baik pasti akan menemukan penontonnya. “Dengan begitu banyak pemain di mana semua memiliki competitive advantage masing-masing, saya juga percaya konsep sinergi akan sangat relevan.”
Hal demikian juga diungkapkan Amit. Menurutnya, layanan OTT adalah bentuk baru dari televisi. Jumlah pemain OTT ke depannya akan semakin banyak dan masing-masing punya ruang untuk berkembang. “Anda harus memiliki visi jangka panjang dan perlahan pasti akan menemukan ceruk pasar Anda.”
Tantangan berikutnya adalah strategi retensi dan perusahaan harus mencari tahu konten mana yang paling terhubung dengan audiens masing-masing. “Kami tidak menganggap diri kami sebagai pesaing pemain regional karena kami juga memproduksi konten original untuk mereka. Kami hanya membawa katalog kami secara online dan bersiap untuk masa depan.”
Amit tidak menerangkan lebih jauh terkait pencapaian Nonton sejauh ini. Dia hanya menyebut Nonton memiliki 35 judul konten original yang setiap episode barunya secara rutin tayang setiap minggu. Tidak hanya sinetron, Nonton juga menambah variasi konten film lokal dan internasional ke dalam katalognya.
Seluruh konten di Nonton hanya bisa dinikmati dengan berlangganan secara mingguan sebesar Rp10 ribu atau bulanan Rp30 ribu. Metode pembayaran yang tersedia melalui Google Pay (kartu debit/kredit, pulsa, GoPay, voucher).
Pernyataan Amit tercermin dengan aksi strategis yang dilakukan oleh rumah produksi lainnya, yakni MD Pictures, yang bekerja sama dengan induknya MD Entertainment untuk memproduksi konten original yang didistribusikan khusus ke OTT rekanan, yakni WeTV, iflix, dan Disney+ Hotstar.
Ada 10 sampai 15 judul konten yang sudah masuk dalam tanggal produksi sampai awal 2021 mendatang. Fokus bisnis baru ini diharapkan dapat mengubah komposisi pendapatan perusahaan yang tertekan akibat pandemi.
Awalnya mayoritas pendapatan datang dari dari bioskop (sebesar 80%). Kini layanan OTT ditargetkan dapat mendongkrak pendapatan dan bisa menyumbang di angka 60%-70%. Adapun model bisnis yang dipakai adalah sistem penjualan lisensi kepada OTT.
Metode kolaborasi GoPlay
CEO GoPlay Edy Sulistyo turut memberikan tanggapannya terhadap tren OTT yang dirintis oleh rumah produksi. Pihaknya menyambut kehadiran para pemain VoD, termasuk yang berasal dari rumah produksi karena Indonesia memiliki potensi yang masih terbuka lebar. Terlebih, konsep "winner takes all" tidak berlaku dalam industri ini, mengingat masih banyaknya penonton di Indonesia yang belum terjangkau.
Yang terpenting bagi GoPlay adalah bagaimana setiap pelaku dapat berkontribusi ke ekosistem dengan menawarkan unique value proposition masing-masing, sehingga semua dapat sama-sama membangun industri perfilman dan kreatif di Indonesia.
“Semua ini tidak dapat dilakukan satu pihak, sehingga merupakan upaya yang harus dilakukan bersama-sama. Kita semua memiliki peran dalam mendorong pertumbuhan film Indonesia dan meningkatkan para pembuat konten lokal.”
Dalam praktiknya, GoPlay selalu memosisikan diri sebagai platform bagi para sineas untuk berkembang, tidak hanya menggaet sineas senior saja. Juga membuka kesempatan bagi talenta dan sutradara pendatang dengan potensi mereka. Sebab bagi perusahaan, tidak serta merta mengejar kualitas konten saja tapi juga memberikan dukungan untuk talenta lokal agar dapat memproduksi karya berkualitas.
“Berbagai dukungan kami berikan sejak sebuah konten dibuat, antara lain program Script Doctor GoPlay agar para sineas dapat menghasilkan karya dengan kualitas storytelling dan scriptwriting yang unggul.”
Selain itu, memberikan dukungan melalui pencarian dana maupun sponsor bagi sineas. Serta, berkolaborasi dengan rumah produksi sebagai partner untuk memastikan eksekusi produksi yang mengedepankan standar kualitas tinggi.
Edy mengaku GoPlay melakukan pendampingan dan terlibat langsung dari tahap ideation, proses kreatif, pre-production hingga post production sebagai Co-Producer.
“Walaupun pada dasarnya GoPlay adalah perusahaan teknologi bagian dari super app Gojek, tim internal konten kami beranggotakan para mantan pelaku industri perfilman dan VOD terjun langsung dengan pengalaman mereka di berbagai project film dan serial, baik di tingkat nasional maupun global.”
Metode kolaborasi demikian diterapkan pada seluruh konten GoPlay Original, baik film maupun serial. Salah satu yang terbaru adalah Jadi Ngaji yang baru dirilis awal Oktober ini. GoPlay bekerja sama dengan sutradara pendatang baru Muthia Zahra Feriani yang memboyong rumah produksinya Arseri.
Dari segi bisnis, Edy mengklaim bahwa ada strategi khusus yang membedakan GoPlay dengan VoD lain. Ada model pembagian pendapatan (revenue-sharing) yang diterapkan bersama pembuat konten dan rumah produksi, baik untuk konten GoPlay Original, GoPlay Exclusive, GoPlay Live, GoPlay Rental, maupun berbagai konten lokal lainnya.
Metode ini sebenarnya juga diterapkan pada bioskop dan terbukti sukses dengan pencapaian jutaan penonton pada film box office. “Kami percaya model revenue sharing dapat menjadi stimulus bagi para sineas untuk terus giat meningkatkan kualitas karya mereka, sehingga dapat memberi manfaat yang berkelanjutan bagi semua bagian dalam ekosistem perfilman,” tutup Edy.
Sign up for our
newsletter