1. Startup

Platform Wealthtech Roketkan Jumlah Investor Pemula

Kemudahan penggunaan platform investasi digital mendorong kenaikan masif dari jumlah investor pemula

Tren peningkatan jumlah investor retail diprediksi terus berlanjut, mengingat baru 2% dari total penduduk usia produktif di Indonesia yang mengakses produk investasi di pasar modal. Momentum tersebut dimanfaatkan banyak pemain wealthtech, istilah yang kini digunakan untuk mendeskripsikan platform terkait investasi berbasis digital, untuk saling konsolidasi kemitraan agar semakin banyak investor baru yang bergabung.

Mengutip OJK, jumlah SID (Single Investor Identification / Identifikasi Investor Perorangan) mencapai 5,6 juta investor per Juni 2021, naik 44,2% secara year-to-date (YTD) sebesar 3,88 juta investor. Dirinci lebih jauh, SID saham sebanyak 2,5 juta investor (naik 48,32% YTD), SID reksa dana sebesar 4,9 juta (naik 55,27% YTD), dan SID SBN sebesar 538 ribu investor (naik 17,03% YTD). Peningkatan di aset kripto jauh lebih fantastis. Kemendag mencatat investor di instrumen ini tembus ke angka 6,5 juta orang dengan nilai transaksi Rp370 triliun hingga Mei 2021. Dibandingkan sebulan sebelumnya, tercatat ada 4,8 juta orang dengan nilai transaksi sekitar Rp237,3 triliun.

Penambahan jumlah investor ini, selain didukung momentum, juga turut dipengaruhi inovasi yang dilakukan pemain wealthtech. Dalam catatan DailySocial, mayoritas pemain masih terfokus pada satu instrumen investasi saja, misalnya di reksa dana saja, atau emas saja.

Belakangan para pemain mulai berkolaborasi satu sama lain agar platform-nya semakin kaya dan dapat menjaring lebih banyak pengguna dari beragam profil risiko.

Tren tersebut, menurut Ekonom Indef Nailul Huda, akan terus berlanjut karena wealthtech di Indonesia termasuk masih sangat baru. Bila mengacu pada grafik non-linier, masih dalam masa akselerasi pertumbuhan bersama dengan industri fintech lainnya.

Pada industri fintech yang memasuki akselerasi pertumbuhan, investor-investor biasanya akan menaruh perhatian lebih besar karena nilai valuasinya semakin tinggi. “Kesempatan bagus bagi investor, dengan begitu biasanya semakin banyak pemain di wealthtech,” ujarnya kepada DailySocial.

Hal tersebut berdampak pada pasar yang akan terbentuk menuju persaingan monopolistik, yang mana tidak ada pemain yang dominan. Namun demikian, ia menyoroti kemungkinan platform-platform ini akan mengembangkan ekosistem sendiri.

Salah satu caranya adalah merger dengan sesama pemain wealthtech ataupun dengan platform fintech lainnya semacam fintech payment ataupun bank digital. Cara tersebut relatif lebih murah dibandingkan mengembangkan ekosistem sendiri. “Jika strategi ini dilakukan, maka lambat laun biasanya akan terbentuk pasar yang lebih oligopoli.”

Di sisi lain, bermitra dengan banyak lintas industri wealthtech sebenarnya adalah langkah dalam mengatasi berbedanya regulator yang berlaku di Indonesia. Ada yang diawasi oleh Bank Indonesia, OJK, maupun Bappebti, menimbulkan kesan sebagai hambatan bagi para pemain untuk bergerak lebih cepat.

Cost regulasi ini bisa disiasati dengan merger. Mungkin platform A sudah punya izin OJK, platform B punya izin Bappebti, bisa merger biar menghemat biaya.”

Berikut ini adalah jenis-jenis investasi yang disajikan oleh masing-masing platform wealthtech:

No

Aplikasi wealthtechEmasReksa DanaSaham atau derivatifAset kripto

Securities crowdfunding

1Bareksa

2Pluang

3Tanamduit

4Raiz Invest

5E-mas

6Lakuemas

7Treasury

8Indogold

9Tamasia

10Bibit

11Ajaib

12IPOT

13Invisee

14XDana

15Stockbit

16Halofina

17Fundtastic

18Santara

19Bizhare

20LandX

21Crowddana

22Indodax

23Tokocrypto

24Pintu

25Luno

Aplikasi wealthtech satu pintu

Salah satu pemain wealthtech yang kini makin lengkap kelas asetnya adalah Pluang. Dari awalnya, saat masih menggunakan brand EmasDigi, perusahaan menyediakan produk investasi komoditas emas sebagai produk pertamanya kini sudah melengkapi diri, mulai dari indeks S&P 500, aset kripto, dan reksa dana.

Pengembangan tersebut berjalan relatif singkat sejak rebrand pada Juli 2019. Perusahaan bermitra dengan para pemain di industri terkait, hingga membentuk anak usaha untuk memperoleh lisensi APERD bernama Pluang Grow (PT Sarana Santosa Sejati) agar dapat bermitra dengan perusahaan manajer investasi.

Co-Founder Pluang Claudia Kolonas menyampaikan rebrand adalah langkah perusahaan untuk sampai pada cita-citanya yang ingin menyediakan sebuah platform yang memudahkan pengguna berinvestasi.

“Pengembangan ini sesuai dengan cita-cita kami untuk menyediakan sebuah platform yang memudahkan penggunanya untuk investasi. Melalui nama Pluang, menjadi semangat baru kami untuk terus mengembangkan produk-produk investasi lainnya pada platform kami,” ucapnya.

“Mulai dari perubahan nama, memberikan edukasi secara organik kepada masyarakat hingga akhirnya berbagai macam produk baru yang kami luncurkan, itu juga yang “melepaskan”branding dari hanya 1 aset jadi ke beragam aset investasi,” sambungnya.

Dengan posisi sebagai one stop investment app, Pluang ingin merangkul semua calon pengguna yang datang dari beragam profil risiko. “Untuk saat ini, mayoritas user kami memang masih memilih emas sebagai portofolio mereka, untuk S&P 500, aset kripto, dan reksa dana dapat dibilang kelas aset yang baru saja booming. Pluang sendiri baru meluncurkan untuk reksa dananya.”

Kondisi tersebut cukup terfleksi dengan profil risiko pengguna yang dicatat perusahaan saat KYC, yakni mayoritas berada di moderat. Meski tidak dirinci lebih jauh, Claudia menyebut pertumbuhan bisnis Pluang pada tahun lalu tumbuh 20 kali lipat. Ia berharap tren kinerja tersebut setidaknya dapat dipertahankan perusahaan pada tahun ini.

“Pluang tetap bermisi untuk memberikan nasabah: akses ke kelas aset yang beragam dengan harga yang terjangkau. Di setiap kelas aset kami akan/sudah menawarkan produk yang menarik dan distinctive di kelasnya masing-masing.”

Tren teknologi robo advisor

Sebelum pemain wealthtech hadir, industri wealth dikuasai pengguna yang datang kelompok tertentu, yakni High-Net-Worth-Individual (HNWI) dan Ultra-High-Net-Worth-Individual (UNHWI). Kelompok ini merasakan layanan portofolio yang dipersonalisasi secara eksklusif dari para wealth manager.

Tapi eksklusivitas tersebut kini dapat dirasakan pengguna dari semua latar belakang ekonomi berkat teknologi robo-advisor yang dikembangkan para wealthtech. Teknologi ini menganalisis data berdasarkan berdasarkan jawaban kuesioner klien, lalu merekomendasikan solusi investasi sesuai dengan tujuan dan kebutuhan klien.

Dibandingkan manusia, robo-advisor dapat menganalisis ribuan variabel secara bersamaan dan efisien. Beberapa variabel yang dipertimbangkan antara lain demografi, waktu, tren historis, analisis teknikal, analisis fundamental, sentimen pasar, dan lainnya.

Dan yang tak kalah penting, nilai jual yang menonjol dari robo-advisor adalah biaya yang rendah dibandingkan dengan penasihat tradisional yang mengenakan biaya manajemen 2% – 3% dari AUM, menurut laporan dari Bambu, startup penyedia teknologi robo-advisor dari Singapura.

Bukan berarti tenaga manusia tidak lagi dibutuhkan pada saat ini. Dengan data yang dikumpulkan oleh robo-advisor, wealth manager berada dalam posisi tepat untuk memahami klien mereka dengan lebih baik – Apa gaya hidup mereka; Ke mana arah tren; Apa kebutuhan dan tujuan mereka?. Lalu mereka kemudian dapat menyusun strategi dan menemukan cara untuk mengatur keputusan investasi, manajemen risiko, dan meningkatkan hubungan penasihat-klien mereka.

Para ahli memperkirakan aset AUM dari industri robo-advisor ini tembus pada angka $1,4 triliun pada 2020 kemarin, tumbuh 47% dan 70,5 juta pengguna baru secara global. Pemanfaatan robo-advisor sudah sampai tahap mature di negara maju, di Inggris misalnya, nilai pasarnya mencapai $24 miliar. Sementara itu, di Singapura dan Hong Kong, mencatat pertumbuhan AUM yang kuat sebesar 400% selama lima tahun terakhir.

Di Singapura, kompetisi wealthtech semakin sengit karena perusahaan keuangan petahana mulai memanfaatkan teknologi robo-advisor. Mengutip dari Fintechnews, persaingan ini hanya akan meningkat karena perusahaan non keuangan terus masuk ke industri wealth.

Salah satunya adalah UOB Asset Management (UOBMA) yang bermitra dengan perusahaan telekomunikasi Singtel untuk meluncurkan layanan robo-advisory di Singapura. Layanan tersebut akan diintegrasikan ke dalam dompet seluler Dash Singtel dan akan memungkinkan pelanggan Dash untuk berinvestasi dalam ETF, managed funds, atau kelas aset lainnya secara langsung melalui aplikasi.

Statista memperkirakan bahwa pada 2020, AUM di Singapura untuk segmen robo-advisor mencapai $1,06 miliar. Diproyeksikan pada 2024 menjadi $2,62 miliar tumbuh 25,3%. Pengguna di segmen ini diperkirakan akan meningkat lebih dari 83% menjadi 192.500 pada 2024 dari sebelumnya dari sekitar 104.900 pada 2020.

Di Indonesia sendiri, teknologi robo-advisor sudah mulai banyak diimplementasikan banyak pemain wealthtech. Bibit menjadi salah satu pengusungnya terutama saat mereka pertama kali berdiri.

CEO Bibit Sigit Kouwagam menjelaskan, teknologi robo-advisor yang mereka kembangkan terbukti secara ilmiah dapat memetakan profil risiko tiap pengguna. Kemudian, dilanjutkan dengan diversifikasi portofolio sehingga pengguna dapat berinvestasi pada berbagai kelas aset berdasarkan profil risiko, kondisi keuangan, dan tujuan finansialnya.

“Lebih dari 50% pengguna Bibit berinvestasi untuk jangka waktu lebih dari 24 bulan dan mereka terus meningkatkan investasinya,” ucap Sigit.

Disebutkan pengguna Bibit telah tembus lebih dari satu juta orang, sebanyak 91% di antaranya adalah investor pemula. Total AUM yang dikelola Bibit mencapai lebih dari Rp5 triliun. Sepanjang tahun lalu, pertumbuhan pengguna baru Bibit melonjak hingga 10 kali lipat.

Sigit menyebutkan tak hanya robo-advisor untuk menjaring lebih banyak investor baru, pihaknya juga melakukan banyak sejumlah penyesuaian, baik itu dari segi biaya transaksi yang lebih rendah, transparansi biaya dan informasi. “Biaya itu jadi enemy terbesar untuk mengajak orang-orang sebelum sukses berinvestasi jangka panjang.”

Tak menutup kemungkinan Bibit memperluas kelas asetnya di luar reksa dana. Sigit bilang, selain mendengarkan pengguna untuk menghadirkan pengalaman yang lebih baik, juga memiliki semangat kolaborasi untuk menghadirkan konektivitas di dalam ekosistem digital. Sister company Bibit, Stockbit, fokus pada kelas aset saham.

“Kami secara konsusten memantau produk-produk investasi tambahan untuk portofolio jangka panjang pengguna kami. Intinya produk-produk tersebut harus dipastikan agar sesuai dengan profil risiko pengguna, serta kejelasan regulasinya agar kami tetap dapat melindungi seluruh investor.”

Perjalanan edukasi masih panjang

Baik Claudia dan Sigit sama-sama menyadari bahwa edukasi adalah strategi yang harus terus dilakukan secara berkesinambungan dalam upaya mengembangkan wealthtech lebih jauh. Pluang aktif mengadakan program edukasi Pluang Talks dalam bentuk webinar melalui berbagai channel digital di Clubhouse, Instagram Live, dan Telegram Discussion.

“Selama program edukasi ini, memang terlihat antusiasme dari peserta yang hadir dengan banyaknya pertanyaan yang mereka lontarkan.”

Sigit menambahkan, pengetahuan mengenai investasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengalaman berinvestasi seorang pengguna. “Kami berkolaborasi dengan fund managers dan key opinion leaders untuk mengedukasi masyarakat lewat berbagai forum seperti webinar YouTube, Telegram audio chat, dan strategi konten di kanal-kanal media sosial. Ini kami lakukan secara cuma-cuma,” tutupnya.

- Foto header: Depositphotos.com

Are you sure to continue this transaction?
Yes
No
processing your transaction....
Transaction Failed
Try Again

Sign up for our
newsletter

Subscribe Newsletter
Are you sure to continue this transaction?
Yes
No
processing your transaction....
Transaction Failed
Try Again