Salah kaprah smart city di Indonesia
Smart city bukan masalah teknologi, ada fenomena gunung es soal standard operating procedure dan tata kelola IT dan data.
Dalam dua tahun ke belakang, jargon “smart city” sedang jadi tren di kalangan pemerintahan di Indonesia. Beberapa kota sudah mulai menginisiasi program “smart city” ini dengan berbagai pendekatan dan eksekusi yang juga beragam. Smart city menjadi nilai jual para pemimpin daerah karena menjanjikan suatu hal yang baru dan membuat orang bebas berkreasi. Namun setelah dua tahun, ada beberapa hal yang menjadikan program smart city di beberapa tempat di Indonesia menjadi salah kaprah: Smart city bukan masalah teknologi.
Ada beberapa daerah yang sudah menginisiasi program smart city secara eksplisit maupun tidak, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, Semarang, Bogor, Bekasi, dan kota-kota lain sedang bersiap diri, seperti Banjarmasin, Manado, dan lainnya. Saya mencoba mengambil beberapa sampel pendekatan berdasarkan pengetahuan yang saya dapatkan dari beberapa kota yang sudah dan sedang berinisiasi.
Semua berawal dari keinginan membuat pemerintahan yang memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada warganya: kemudahan dalam pengurusan surat atau izin, kemudahan pengaduan masyarakat, transparansi pelayanan, meningkatkan kecepatan pelayanan publik, angkutan umum yang lebih dapat diandalkan, peningkatan keamanan, dan lainnya. Cara yang dilakukan untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik ini adalah dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Simpelnya, kata kunci smart city di Indonesia: IT, pelayanan publik, efisiensi, efektif, transparansi.
Namun ada hal yang terlewat dari pendekatan eksekusi smart city di Indonesia: Inisiasi berfokus pada apa yang terlihat.
Aplikasi, CCTV, ruang command center, pembangunan area berjudul technopolis/technopark, dan hal yang terlihat lainnya menjadi pendekatan yang biasanya dilakukan pemerintah daerah.
Padahal untuk melancarkan program smart city di Indonesia, ada banyak PR yang tak terlihat. Hal ini adalah fenomena gunung es. Ada banyak persyaratan dan kondisi yang harus dicapai sehingga teknologi dan pembangunan ruangan atau area fisik bisa membantu kinerja dari program smart city.
Berdasarkan pengalaman, ada beberapa hal penting yang biasanya terlewat oleh para inisiator smart city di pemerintahan: Standard operating procedure dan tata kelola IT dan data.
Standard operating procedure
Smart city bukan tentang teknologi. Smart city bukan cuma aplikasi, punya CCTV banyak, command center yang mewah, free Wi-Fi, atau bentuk teknologi kekinian lainnya yang selalu digembar-gemborkan.
Jika dengan program smart city teknologi dianggap solusi. maka program itu pasti gagal. Teknologi bukanlah solusi, namun hanya berbentuk enabler sehingga suatu problem bisa diselesaikan dengan lebih efisien dan efektif.
Yang paling penting justru proses bisnisnya. Jika sepakat bahwa smart city dijalankan untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik, maka PR-nya adalah bagaimana standard operating procedure (SOP) dalam pelayanan publik dapat diselesaikan dengan lebih baik menggunakan teknologi.
Contohnya begini, Bandung Command Center pernah mendemokan penanganan aplikasi pelaporan kedaruratan. Pertanyaannya, sejauh mana prosedur penanganan ini bisa bantu menyelesaikan masalah. Seberapa cepat petugas bisa langsung datang ke tempat kejadian perkara setelah seseorang melaporkan ada kondisi darurat di kota? Siapa saja stakeholder yang terkait dengan penanganan hal ini? Bagaimana pihak polisi terlibat dalam penanganan ini, sedangkan polisi adalah pihak di luar Pemerintah Kota.
Contoh lain, saat kejadian bom Sarinah di Jakarta. Karena belum ada prosedur yang terkait dengan kondisi serangan bom, tim di Jakarta Smart City tidak bisa melakukan apa-apa karena tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan secara terstruktur. Pada akhirnya semua berjalan menurut insting dan sebagai evaluasi diperkuatlah SOP sehingga tidak terulang lagi kasus ketidaktahuan ini.
Contoh lain lagi, saat kota punya command center, apa saja yang bisa dilakukan di sana, monitor besar yang ada di ruangan tersebut mau diisi oleh apa? Fungsinya apa saja?
Seharusnya semua ini berawal dari pembuatan SOP. Misalkan dalam pembuatan izin, dibutuhkan 3 proses: proses A, B, dan C. Keseluruhan proses ini membutuhkan waktu 10 hari kerja karena proses B memakan waktu 80% dari total. Lalu dengan adanya teknologi, proses B dapat selesai dalam hitungan menit, sehingga 3 proses ini bisa selesai dalam 1 jam. Baru di sini teknologi masuk sebagai enabler dari proses yang ada. Ini baru cerdas.
Tata kelola IT dan data
Problem klasik pemerintah adalah silo. Belum ada integrasi dan interoperabilitas di level sistem IT dan juga data di pemerintahan yang sudah terstandarisasi.
Data inti pembangunan hanyalah dua. Jika dua data ini sudah dikelola dengan baik, maka data lain yang mereferensi pada data ini juga akan lebih baik dari sisi kualitas. Data inti pembangunan itu: data kependudukan dan data geospasial. Data pendidikan, ekonomi, perpajakan, perizinan, dan lainnya pasti harus punya referensi ke data kependudukan dan geospasial.
Permasalahannya, bahkan dua data inti saja belum dikelola dengan baik. Bagaimana penggunaannya, bagaimana data ini disimpan, bagaimana jika terjadi duplikasi, siapa saja yang boleh mengakses data ini dan sejauh mana sistem IT pemerintahan harus mereferensi data ini. Hal ini biasanya belum ada jawabannya di pemerintah daerah.
Integrasi antar sistem IT yang ada di pemerintahan juga masih sangat minim. Contoh carut marutnya di antara lain: Dinas A membuat Peta X, dinas B membuat peta Y, kedua peta ini ternyata saling konflik karena me-refer pada data yang berbeda. Ada juga kasus suatu sistem informasi pemerintahan mengumpulkan NIK sendiri, sedangkan NIK ini seharusnya mereferensi pada data kependudukan yang dikelola oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Selama belum diatur tata kelola IT dan data di pemerintahan, mau buat 1000 aplikasi sekalipun, aplikasi itu juga tidak akan bermanfaat karena tidak ada integrasi dan interoperabilitas di antara sistem dan data yang ada.
Dua hal ini menurut saya adalah PR besar dari semua pihak yang terlibat dalam inisiasi smart city di Indonesia. Prinsip yang harus selalu dipegang adalah teknologi hadir untuk membantu meningkatkan kualitas proses bisnis, bukan proses bisnis yang mengikuti teknologi. Jangan sampai daerah-daerah lain yang memulai program smart city hanya terpaku pada teknologi kekinian saja. Harus dimulai dari pertanyaan mengapa saya harus menjalankan program ini dan apa tujuan saya harus mencanangkan program smart city.
Saya melihat dinamika inisiasi smart city di Indonesia akan lebih berwarna lagi. Makin banyak pemimpin daerah yang ingin memperbaiki kualitas pelayanan publiknya khususnya dan secara umum memperbaiki kualitas hidup daerahnya. Jangan lupa untuk jangan sampai salah kaprah dan terbuai dengan kecanggihan teknologi semata.
- Disclosure: Artikel tamu ini ditulis oleh Prasetyo Andy Wicaksono dan pertama kali dimuat di laman Medium-nya dengan penyuntingan.
Prasetyo adalah Head of IT Development di Jakarta Smart City, unit pengelola kota pintar pemerintah provinsi DKI Jakarta. Ia bisa dikontak via LinkedIn.
Sign up for our
newsletter