Siasat Tri Masuk ke Bisnis Digital Lewat Aplikasi Bima+
Belum berpikir sebagai bisnis yang memperhitungkan untung dan rugi
Dalam berbisnis, selalu ada pemain yang memilih langkah mundur atau terus maju. Operator GSM Hutchison 3 Indonesia (Tri) bisa dikatakan sebagai pemain termuda yang terjun ke bisnis digital dibandingkan operator lainnya.
Tri menandakan partisipasinya di bisnis digital pada tahun lalu saat menggelar Festival Ambisiku, yang sifatnya lebih ke arah offline. Kemudian, meresmikan kehadirannya pada bulan lalu lewat peluncuran aplikasi Bima+.
Langkah Tri tidak bisa dikatakan terlambat, sebab bisa menjadi keuntungan bagi perusahaan untuk mempelajari keadaan pasar agar tidak melakukan kesalahan yang sama. Semuanya kembali ke strategi yang dilakukan tiap perusahaan. Seolah tidak ingin ikut "nyemplung" ke kolam yang sama, Tri memilih strategi yang sedikit "berbelok" dalam implementasinya di bisnis digital.
Dikutip dari DetikInet, aplikasi Bima+ diklaim sudah diunduh lebih dari 250 ribu kali pada dua minggu setelah peluncuran di Mei 2017. Dari angka tersebut, 75% diantaranya adalah pengguna aktif. Sementara ini, Bima+ baru bisa dipakai oleh pengguna Android.
[Baca juga: XL Axiata Pasang “Rambu Kuning” untuk Bisnis Digital dan Indosat Ooredoo Pilih Kembali ke Khitah, Divisi Bisnis Digital Dikurangi]
Saat ditemui DailySocial, perwakilan Tri, Sudheer Chawla (Head of VAS & Digital Services) dan Fahroni Arifin (Head of Brand Communication), banyak membeberkan bagaimana tingkat persaingan bisnis digital diantara pemain operator dan keseriusan komitmen perusahaan terjun di divisi ini untuk jangka waktu panjang.
Sudheer mengatakan pendekatan tahap awal yang dilakukan Tri saat terjun ke bisnis digital ini bukan langsung menjual produk, melainkan showcasing. Milenial dapat menggunakan Bima+ untuk menunjukkan keahlian atau produk kreatifnya ke seluruh pengguna Tri dan non Tri yang mengunduh aplikasi.
Dari situ dapat menggiring terjadinya kolaborasi, tidak hanya sekadar proses transaksi jual beli. Pihaknya lebih menyukai penyebutan Bima+ sebagai panggung digital dan creative hub, tidak seperti marketplace atau layanan e-commerce pada umumnya.
"Kami tidak mau mengikuti apa yang orang lain lakukan. Pendekatan kami ambil lebih berbeda. Sebab mereka [operator lainnya] adalah pemain besar yang sudah memiliki pangsa pasar. Kami pikir untuk terjun ke kolam yang sama bukanlah hal terbaik untuk dilakukan pada saat ini," katanya.
Dia melanjutkan, "Lagipula, waktu sekarang sudah berubah sehingga mempengaruhi demand, suplai, dan ekspektasi. Pada akhirnya, kami mungkin akan melakukan yang sama yakni transaksi jual beli. Tapi kami lebih menginginkan milenial untuk tampil, menunjukkan kemampuan mereka, bantu kami [beri masukan], dan kami akan bantu mereka [beri panggung di Bima+]."
Mendukung pernyataan Sudheer, Fahroni mengungkapkan sejauh ini Tri belum melihat bisnis digital sebagai alat bisnis yang memperhitungkan untung rugi. Perusahaan lebih mengejar bagaimana melayani pengguna dengan service terbaik.
"Kami spirit-nya berbeda. Meski pada akhirnya ini adalah bisnis, ketika niat awalnya berbeda maka apa yang dilakukan ke depannya juga akan berbeda," katanya.
Dia mengklaim sebulan pasca aplikasi ini diluncurkan sudah menciptakan pendapatan meski belum besar bagi perusahaan. Konten berbayar yang paling laku terjual di antaranya musik, film, dan aplikasi. Konten ini dapat dibeli dengan potong pulsa khusus untuk pengguna Tri. Sementara untuk pengguna non Tri dapat memakai alternatif pembayaran seperti internet banking dan kartu kredit.
Konten lainnya yang terdapat di aplikasi dan dapat diakses non pengguna Tri adalah &Co, sebuah creative hub yang menampilkan produk kreatif terkurasi. Adapun total brand lokal yang terpampang di &Co diklaim mencapai lebih dari 400 brand.
&Co belum menyediakan fasilitas transaksi jual beli yang terintegrasi. Untuk membeli produk, pengguna sementara ini akan dibawa ke situs masing-masing produk atau media sosial dan melakukan pembelian secara manual.
"Saat ini untuk &Co masih fokus untuk showcasing. Kami belum sediakan jual beli di dalamnya. Yang terpenting bagaimana mereka bisa ada di dalam terlebih dulu, lalu menunjukkan kualitasnya untuk jangkau calon konsumen. Ini terlihat kan bagaimana treatment awal kami, tidak langsung berjualan untuk mendapat pendapatan."
Inisiatif baru
Tidak berhenti di sini, Tri akan terus mengembangkan peningkatan layanan Bima+ berikutnya. Targetnya Tri ingin mengintegrasikan seluruh layanannya di dalam Bima+, seperti sistem pembayarannya atau lainnya. Hanya saja, Fahroni enggan membeberkan lebih detil akan seperti apa realisasinya dan kapan akan diluncurkan.
Menurutnya perusahaan harus berhati-hati dalam meluncurkan suatu inisiatif baru agar fungsinya tidak seperti layanan e-commerce pada umumnya. Di tambah inisiasi Bima+ dan &Co adalah kali pertamanya dilakukan Tri Indonesia dan belum pernah diterapkan Tri lainnya di seluruh dunia.
"Sebab tujuan yang ingin dipahami oleh pasar adalah Tri empower anak muda, bukan Tri buat e-commerce. Semoga bentuk integrasi yang kami maksud, tidak lama lagi meluncur. Yang terpenting, bagaimana mewujudkan solusi dari masalah yang dihadapi milenial."
Untuk menjaring lebih banyak produk kreatif dan berkualitas di dalam &Co, perusahaan juga melakukan gerilya ke berbagai pelosok Indonesia. Pengusaha yang diajak Tri pun bukanlah distributor yang menjadi perpanjangan tangan dari produsen. Produk yang dihasilkan adalah hasil kreativitas sendiri dan orisinal.
Terkait investasi dan realisasi kucuran dana yang sudah dikucurkan Tri untuk Bima+, Fahroni enggan membeberkannya.
"Kami akan pastikan produk terkurasi dengan baik, yang terpenting adalah kualitas produk bukan kuantitasnya. Kami ingin jadikan &Co sebagai tempat orang-orang mencari produk terbaik, yang selama ini sulit ditemukan ketika harus mencari di platform media sosial lainnya," pungkas Fahroni.
Sign up for our
newsletter