[Simply Business] Kita Semua Bisa Meramal!
Artikel kali ini masih diinspirasi dari obrolan makan siang bersama Steve Blank, yang pernah saya ceritakan di artikel sebelumnya: di sini & di sini. Salah satu hal yang membuat dia tertarik untuk meluangkan waktu liburnya bertemu dengan kami adalah dia ingin mengetahui tentang iklim bisnis Indonesia, tentu termasuk perkembangan startup di bidang teknologi. Banyak sekali pertanyaannya tentang hal-hal terkait.
Mengutip kata-katanya, "As locals, you guys have a great advantage compared to foreigners (entrepreneurs and investors). You can somehow act as oracles and predict the future, especially when you have access to the more developed countries like most middle-class locals do."
Apa maksudnya? Kita semua (ya, termasuk Anda pembaca) bisa menjadi peramal masa depan?
Akses ke negara yang lebih maju? Tentu kita semua (ya, lagi-lagi termasuk Anda pembaca) pasti punya. Saya yakin, minimum Anda pembaca DailySocial pasti pernah membaca informasi dan gosip teknologi mutakhir dari TechCrunch, Mashable, The Verge, dll. dan bahkan mungkin rela begadang tadi malam untuk menonton Apple event. Ini yang dimaksud Steve sebagai akses, minimum jalur informasi searah dari sana ke dalam otak Anda.
Bahkan dari pengalaman saya, di era sekarang begitu mudahnya kita menghubungi orang-orang yang jauh di sana. Bahkan jika mereka tidak mengenal kita. Koneksi bisa dilakukan lewat segala cara, alamat email mudah didapat, kebanyakan memiliki akun LinkedIn yang aktif, bahkan beberapa orang dengan senang menjawab kalau kita 'colek' di twitter.
Lalu apa maksud Steve Blank tentang kita, penduduk lokal (apapun warga negaranya), bisa menjadi peramal?
Dengan akses informasi dari luar, tentu kita bisa melihat tren yang terjadi di negara lain yang mungkin beberapa tahun lebih awal terjadi dibanding Indonesia. Contoh paling konkrit: untuk bisnis berbasis internet, sektor yang lebih dulu berkembang adalah e-commerce. Hal ini tidak saya sadari sampai Rama (CEO DailySocial) menjelaskannya di sebuah sesi ngobrol.
Startup yang besar di AS tahun 90an kebanyakan berhubungan dengan perangkat dasar internet (Netscape browser, Hotmail, portal Yahoo, dll) atau e-commerce (Amazon, ebay, Zappos, dll). Kalau perangkat dasar bersifat global dan bisa dipakai di seluruh dunia, layanan e-commerce yang memperjualbelikan barang fisik pasti memiliki keterbatasan. Dengan bantuan kebijakan proteksionis Cina, Alibaba tumbuh dan menjadi raksasa e-commerce B2B dunia.
Sampai sekarang, tiga layanan yang saya sebut tadi belum secara resmi beroperasi di Indonesia. I wish they do! Beberapa kali saya membeli buku fisik di Amazon (karena tidak tersedia versi e-book Kindle) dengan hasil beragam: terkadang barang sampai dalam 2 minggu, dan paling parah lebih dari 3 bulan karena tertahan di bea cukai Indonesia. Beli sepatu di Zappos? Mimpi… Untung juga, karena pertumbuhan koleksi sneakers saya pasti lebih berbahaya bagi kantong
Perkembangan e-commerce Indonesia baru kita lihat 3-4 tahun terakhir ini, dengan peningkatan volume transaksi yang cukup drastis menurut data dari Asosiasi E-commerce Indonesia, idEA. Itupun belum didukung oleh infrastruktur yang memadai, terutama sistem pembayaran (mayoritas masih lewat transfer bank) dan sistem pengiriman (didominasi oleh satu vendor kurir nasional dengan tingkat layanan seadanya). Jika dibanding dengan apa yang terjadi di AS, kita ada 18 tahun di belakang. Mungkin para pedagang yang mulai beriklan di Kaskus sekarang berumur sama dengan Amazon yang kelahiran 1995!
Apa implikasi hal ini? Menurut Steve, dengan mengetahui apa yang terjadi di negara lain beberapa tahun sebelumnya, kita bisa memprediksi apa yang akan terjadi di Indonesia. Hal ini sebenarnya tidak berbeda dengan orang yang asing dengan negara kita. Mereka juga memiliki akses informasi yang sama. Tetapi yang membuat kita punya keuntungan lebih adalah pengetahuan kita tentang kondisi Indonesia sendiri. Banyak hal tidak bisa 100% diimplementasikan di tempat lain karena kondisinya berbeda. Perumpamaan yang sering saya pakai adalah, ikan Koi bibit unggul dari Okinawa bila langsung dipindah ke kolam kecil di rumah saya kemungkinan besar akan mati. Inilah pentingnya sebuah ekosistem.
Seperti makhluk hidup, bisnis punya kemampuan beradaptasi dan berevolusi. Kulit coklat kita lebih tahan matahari dibanding kulit putih (fakta bahwa kasus kanker kulit presentasinya jauh lebih sedikit di Indonesia dibanding Australia). Contoh di bidang teknologi? PayPal menjadi market leader sistem pembayaran yang dimulai dari transaksi online hingga sekarang mulai berkembang menjadi sistem pembayaran offline di outlet fisik. Tetapi yang berkembang pesat di Kenya adalah M-Pesa, pembayaran via telepon genggam, karena lebih cocok dengan ekosistem di sana. Penetrasi internet sangat rendah, kualitas koneksi sangat buruk, tetapi hampir semua orang mengantongi telepon genggam. Sounds familiar? Just like us!
M-Pesa sudah menjadi studi kasus yang sangat terkenal. Banyak sekali riset yang sudah dilakukan oleh pihak akademik tentang faktor yang menjadi kesuksesannya, seperti artikel ini di Harvard Business Review. Hampir seluruh Bank Sentral (termasuk Bank Indonesia) sudah mempelajari model M-Pesa sebagai cara memenuhi target financial inclusion. Pertanyaan berikut adalah, "kenapa sistem seperti M-Pesa tidak berkembang di Indonesia?" Sebagai orang lokal tentu kita akan bisa mencari tahu apa yang menghambat pertumbuhan mobile money, jauh lebih mudah dibanding orang asing yang belum pernah merasakan kesulitan yang kita rasakan setiap hari. Setidaknya, hasil 'ramalan' kita (seharusnya) lebih akurat dibanding orang yang baru datang ke Indonesia.
Dalam skala lebih kecil, saya juga melihat banyak jenis bisnis kreatif yang berkembang lebih dulu di Jawa, seperti bisnis fashion dan makanan (terutama dari Jakarta dan Bandung karena jaringan saya banyak di 2 kota ini) kemudian menjadi bisnis yang juga potensial di kota-kota besar lain. Terutama beberapa kantong di luar Jawa yang sedang menjadi motor pertumbuhan ekonomi Indonesia dan memiliki buying power yang sangat kuat.
Kembali ke pendapat Steve, kita semua bisa menjadi peramal dan memprediksi masa depan apa yang akan terjadi di sektor teknologi di Indonesia, dan kita bisa menjadi peramal yang lebih baik dibanding orang asing yang (belum) paham tentang situasi lokal. Kita bisa lebih tahu jenis ikan Koi seperti apa yang bisa bertahan hidup di kolam kecil di halaman belakang rumah saya. Beberapa observasi yang saya pernah temui akan saya rangkum dalam artikel lain.
Sekarang, apakah kita cukup puas menjadi peramal nomor judi togel, atau ikut mengambil resiko dan 'menang besar' jika nomor ramalan itu benar keluar?
Setelah 12 tahun berkecimpung di dunia perbankan, Dondi Hananto mendirikan Kinara Indonesia, sebuah inkubator bisnis di Indonesia yang memiliki visi untuk membangun ekosistem kewirausahaan di Indonesia. Ia juga merupakan salah satu pendiri Wujudkan, sebuah platform crowdfunding untuk merealisasikan berbagai macam proyek kreatif di Indonesia. Anda dapat follow Dondi di Twitter @dondihananto.
[ilustrasi foto dari Shutterstock]
Sign up for our
newsletter