[Simply Business] Menyiapkan Ekosistem Wirausaha
Beberapa tahun terakhir, wirausaha/entrepreneurship menjadi keyword yang sangat seksi. Banyak pihak yang mulai terlibat dalam kegiatan yang mendukung kewirausahaan. Tidak ada yang buruk di sini. Sebuah ekosistem kewirausahaan yang kuat selalu menganut kepercayaan "the more the merrier". Seperti sebuah ekosistem biologis, teori Darwin juga berlaku di sini. Siapa yang memang 'kuat' dan serius berkecimpung mendorong kewirausahaan akan terus ada, sementara mereka yang sekedar ikut-ikutan akan 'hilang' menuju kepunahan.
Sudah sering kita mendengar istilah 'ekosistem kewirausahaan' disebut, setidaknya dua kali di paragraf di atas. Saya sendiri bahkan pernah menulis cukup panjang tentang ini dan memuatnya di website Kinara. Tetapi kadang saya pun tidak begitu jelas sebenarnya siapa saja yang seharusnya menjadi bagian dari sebuah ekosistem kewirausahaan yang sehat, hingga akhinya menemukan buku Startup Communities tulisan Brad Feld. Sebelumnya saya cukup sering membaca artikel-artikel Brad di blog pribadinya dan juga dua buah buku lain tulisannya.
Saya sangat merekomendasikan buku itu untuk siapapun yang serius ingin mendukung kemajuan wirausaha Indonesia. Akhirnya saya bisa memetakan apa saja yang perlu dilakukan dan perlu ada untuk mendukung gerakan kewirausahaan. Yang membuat saya semakin tertarik adalah buku itu menceritakan tumbuhnya Boulder, Colorado sebagai sebuah hotspot startup di AS, bukan cerita tentang Silicon Valley. Buat saya, Silicon Valley terlalu jauh jika dibandingkan dengan daerah manapun dalam segi kewirausahaan. Jadi jangan membayangkan bahwa dengan menamakan sebuah daerah dengan kata Valley, secara otomatis wirausaha baru akan langsung tumbuh sehat. Silicon Valley sudah menjadi pusat teknologi sejak 50-an setelah Perang Dunia II, terlalu jauh untuk daerah manapun di dunia untuk menyaingi keberhasilannya menjadikan berbagai inovasi menjadi bisnis, dari kecil hingga raksasa.
Gerakan wirausaha di Boulder baru dimulai pertengahan 90-an, saat dotcom bubble dimulai. Butuh waktu hampir 20 tahun hingga tumbuh menjadi seperti sekarang. Jadi jika gerakan kewirausahaan Indonesia dimulai awal 2010-an, mungkin kita memang baru akan melihat hasilnya tahun 2030-an. Itu pun jika dilakukan dengan benar. Tanpa staying power para pelakunya, sangat mungkin gerakan ini mati di tengah jalan atau berjalan jauh lebih lambat.
Jadi apa saja makhluk yang harus ada di sebuah ekosistem kewirausahaan Indonesia supaya bisa saling mendukung? Jawaban ini saya sadur dari buku Startup Communities dengan interpretasi saya dalam situasi lokal Indonesia:
- entrepreneur
menurut Brad Feld, setiap gerakan kewirausahaan harus berpusat pada para entrepreneur dan dipimpin oleh para entrepreneur. Pihak lain harus ada tetapi berperan sebagai pendukung. Hal ini yang saya lihat sering salah kaprah di Indonesia. Terlalu banyak pihak yang ingin mendapat pujian sehingga mengambil alih fungsi kepemimpinan
- komunitas
salah satu ciri kepemimpinan oleh para entrepreneur adalah tumbuhnya komunitas-komunitas wirausaha yang murni gerakan swadaya. Komunitas terbentuk dengan organik, tanpa dibuat-buat, karena muncul dari kesadaran beberapa pebisnis yang ingin saling mendukung. Tanpa kepentingan lain di dalamnya, bahkan sering tanpa bentuk resmi. Terlalu sering komunitas yang terlalu resmi membentuk asosiasi atau sejenisnya akhirnya menjadi terlaku kaku dan terjebak melakukan hal-hal yang tidak penting atau ditunggangi kepentingan. Menurut saya, sebuah komunitas yang kuat akan mendukung para entrepreneur untuk mengembangkan networking demi pengembangan bisnis. Selain itu (dan bahkan mungkin lebih penting) adalah bisa menemukan mentor di sana, para entrepreneur lain yang sudah lebih berpengalaman untuk bertukar pikiran
- capacity building
entrepreneur yang baik selalu perlu mengembangkan dirinya. Secara non-formal, pengembangan skill dan kapasitas dilakukan dengan berjejaring dan diskusi dengan pebisnis lain ataupun mentor. Secara formal, terkadang perlu ada lembaga-lembaga yang mengadakan pelatihan, seminar, workshop atau apapun sebutannya. Hal ini bisa juga melibatkan Universitas yang memiliki program entrepreneurship, program inkubasi, dan lainnya. Kelemahan yang sering terlihat adalah program yang terlalu teoritis dan akademik dan tidak relevan dengan kenyataan. Lagi-lagi, hal ini mungkin karena tidak dilibatkannya para pebisnis sendiri. Program inkubasi yang cukup besar di AS dimulai oleh para pebisnis yang sudah berhasil mencapai fase sukses dan berpindah kuadran menjadi investor, seperti Y Combinator, Techstars dan 500 Startups
- jasa pendukung bisnis
jasa akuntansi, pajak, legal, desain, market research, konsultan, human resource dan banyak lagi selalu dibutuhkan oleh mereka yang serius menjalankan bisnis. Saat ini kebanyakan dari mereka masih terlalu berfokus kepada bisnis besar saja, padahal ada ribuan UKM yang mencari jasa mereka. Sayangnya ini diiringi dengan kemampuan membayar para UKM yang kurang, tetapi saya yakin ada jalan tengahnya
- investor
sebelum bisnis menjadi bankable, seringkali harus ada investor yang mendukung mereka. Saat ini mulai banyak investor, baik pribadi (angel) ataupun institusi (venture capital) yang memfokuskan diri ke investasi tahap awal (early-stage investment). Tentunya perlu lebih banyak lagi pihak investor karena seperti dokter, kami akan memiliki spesialisasi sendiri-sendiri. Ada yang menjadi spesialis berinvestasi pada ide baru yang bahkan belum dimulai (seed stage), dan ada yang memfokuskan diri ke tahap berikut (Round A atau B). Ada yang fokus di industri digital dan IT, dan ada yang fokus di industri lain. Banyak sebab mengapa investasi tahap awal di Indonesia lambat berkembang, seperti kesulitan untuk merealisasikan pengembangan bisnis (exit market) dan kepastian hukum dan peraturan
- pemerintah
walaupun sering terlambat, dukungan pemerintah selalu dibutuhkan untuk mereformasi aturan dan melindungi semua pihak. Tentunya PR pemerintah kita masih banyak sekali, dimulai dengan streamlining pihak yang berwenang di bidang kewirausahaan. Tak kurang dari enam Kementerian dan lembaga pemerintah lain memiliki program menyentuh kewirausahaan yang sering berjalan sendiri-sendiri. Bayangkan keterkejutan kami waktu mengetahui bahwa Kementerian Tenaga Kerja pun memiliki program untuk mendukung inkubasi bisnis. Terlalu banyak hal 'aneh' lainnya dari sisi peraturan dan perlindungan hak perdata. Reformasi hukum masih panjang jalannya, karena bahkan untuk hal mendasar seperti korupsi (sektor publik) saja baru mulai berjalan, belum sampai menyentuh penyimpangan dan korupsi di sektor swasta
Nah, kalau dengan pemetaan versi saya ini, tentu terlihat di mana saja kelemahan yang masih ada. Banyak cara untuk berkontribusi, tidak harus sebagai entrepreneur saja. Setelah membaca artikel ini, silahkan tentukan di mana posisi Anda. Sayangnya, tidak ada posisi sebagai penonton atau cheerleader saja. Mari mulai bergerak!
Setelah 12 tahun berkecimpung di dunia perbankan, Dondi Hananto mendirikan Kinara Indonesia, sebuah inkubator bisnis di Indonesia yang memiliki visi untuk membangun ekosistem kewirausahaan di Indonesia. Ia juga merupakan salah satu pendiri Wujudkan, sebuah platform crowdfunding untuk merealisasikan berbagai macam proyek kreatif di Indonesia. Anda dapat follow Dondi di Twitter, @dondihananto.
Header image dari Shutterstock
Sign up for our
newsletter