Startup Social Commerce KitaBeli Dikabarkan Lakukan Likuidasi
Sejak 2020 berdiri, KitaBeli telah kumpulkan pendanaan sekitar Rp460 miliar dari East Ventures, AC Ventures, Argor, dan lainnya
Startup social commerce Kitabeli tengah melakukan proses likuidasi. Hal ini disinyalir sebagai respons atas model bisnis yang diusung tidak berhasil mencapai product-market fit secara optimal. Kabar terkait likuidasi ini dikonfirmasi salah satu sumber terpercaya yang turut terlibat dalam proses ini.
Sejak debut di tahun 2020, KitaBeli sudah mengumumkan 3x putaran pendanaan, dimulai dari tahap awal di tahun 2020 (oleh East Ventures dan AC Ventures), dilanjutkan tahapan seri A di tahun 2021, dan pendanaan lanjutan di tahun 2022. Setidaknya dari nominal yang diumumkan ke publik, mereka telah mengumpulkan dana hingga $30 juta atau sekitar 460 miliar Rupiah.
Selain yang disebutkan, beberapa investor ternama turut mendanai startup yang digawangi Prateek Chaturvedi, Ivana Tjandra, Subhash Bishnoi, dan Gopal Singh Rathore tersebut, di antaranya Glade Brook, Argor Capital (Go-Ventures), InnoVen Capital, Kenangan Fund (Kopi Kenangan), dan beberapa lainnya.
Terkait langkah selanjutnya (apakah hanya tutup atau founder akan pivot ke bisnis lain), kami sudah mencoba menghubungi pihak terkait namun belum mendapatkan respons.
Ini bukan kali pertama startup social commerce yang beroperasi di Indonesia mengalami kesulitan bisnis. Sebelumnya pada kuartal pertama tahun ini, RateS juga tutup semua akses ke pergudangan mereka. Terpantau semua stok produk di aplikasi tidak bisa diakses. Saat ini bahkan situs dan aplikasi sudah tidak lagi tersedia untuk transaksi.
Mengusung konsep social commerce, KitaBeli fokus menjual produk FMCG di pasar tier-2 dan 3. Mereka membangun jaringan kemitraan di berbagai lokasi untuk membantu para pelanggan melakukan pembelian berkelompok (team buying) dengan harapan mendapatkan jaminan harga beli yang lebih kompetitif.
Ini mirip yang dikerjakan PinDuoDuo di Tiongkok, berharap bisa memberdayakan komunitas lokal di daerah-daerah.
Hipotesis awal KitaBeli adalah ingin menjangkau distribusi produk FMCG di kota lapis dua yang nilainya lebih dari $100 miliar -- dengan lebih dari 200 juta konsumen yang terhadap 50% dari PDB. Sistem logistik dan rantai pasok yang kurang efisien dilihat sebagai peluang, sehingga pendekatan lewat teknologi coba dihadirkan.
Solusi KitaBeli salah satunya dengan menghadirkan gudang dan pusat pemenuhan di area-area operasionalnya. Mereka mengklaim bisa mereduksi harga akhir ke konsumen antara 10%-50% -- termasuk memotong rantai pasok dengan mengambil produk langsung dari brand dan prinsipal.
Namun demikian, untuk masuk ke kota lapis dua memang banyak hal yang harus dihadapi. Selain investasi besar di infrastruktur, pemain seperti KitaBeli dihadapkan pada tantangan edukasi pasar. Model tradisional (beli barang dengan jumlah sedikit di warung) dan kebiasaan masyarakat (seperti kasbon di warung dan pengalaman saat pergi ke warung) menjadi aspek-aspek yang tidak terfasilitasi dengan digitalisasi tersebut.
More Coverage:
Kendati demikian tidak semua model social commerce mengalami pasar surut. Pemain lain seperti Dagangan justru tengah ekspansif hadir di kota-kota baru. Pekan ini mereka mulai ekspansi ke Jawa Timur setelah sebelumnya banyak fokus di area Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Pendekatan Dagangan juga berbeda, mengadopsi konsep rural commerce yang dijalankan dengan sistem hub and spoke untuk last-mile delivery. Mereka banyak memasok barang ke pertokoan di wilayah lapis dua dan tiga.
Sign up for our
newsletter