Bagaimana Kehadiran SPAC dan "Dual Class Shares" Dorong Kehadiran Startup Unicorn Melantai di Bursa Efek
BEI sedang menyiapkan aturan memperbolehkan SPAC dan dual "class shares" di Indonesia
Bursa Efek Indonesia (BEI) banyak melakukan pembenahan sejak awal tahun demi menyambut kehadiran tiga perusahaan unicorn. Sejumlah relaksasi telah disiapkan, salah satunya adalah membolehkan mereka go public menggunakan SPAC (Special Purpose Acquisition Company) dan menerbitkan saham kelas ganda (dual class shares). Dua rencana ini sedang dibahas di internal bursa.
Dari pernyataan yang DailySocial terima, Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna Setia menuturkan SPAC dan dual-class shares (DCS) sedang dalam kajian internal, berdiskusi dengan otoritas serta pemangku kepentingan terkait potensi penerapan dan pengaturannya seperti apa di Indonesia.
Menurutnya, dalam setiap proses penyusunan peraturan bursa, pihaknya akan terlebih dahulu melakukan perbandingan dengan beberapa bursa lain di negara lain untuk dapat menentukan best practice yang akan diterapkan di Indonesia.
“Tentunya dengan mempertimbangkan beberapa hal seperti corporate governance, perlindungan investor publik, dan kesesuaian peraturan dengan perundangan yang berlaku,” katanya.
Secara terpisah, mengutip dari Bisnis.com, Nyoman menerangkan kajian yang sedang dilakukan BEI adalah melihat potensi penerapan DCS dengan struktur multiple voting share (MVS). MVS itu sendiri adalah suatu jenis saham yang memiliki lebih dari satu hak suara untuk setiap lembar sahamnya.
Penerapan MVS di beberapa negara rata-rata mengatur maksimal rasio antara saham dengan hak suara adalah 1:10 atau 1 saham memiliki 10 hak suara. Ini berbeda dengan saham biasa yang hanya memiliki satu hak suara untuk tiap lembar sahamnya, biasa disebut ordinary share.
“Secara best practice di beberapa bursaa global, penerapan DCS dengan klasifikasi MVS biasanya hanya akan dipegang oleh para founder yang bertindak sekaligus menjadi manajemen perusahaan atau pihak kunci yang dapat memastikan keberlangsungan visi atau inovasi perusahaan dalam jangka panjang.”
Plus minus SPAC dan DCS
Pada hakikatnya, SPAC dan DCS adalah tren yang terjadi di Amerika Serikat sebagai kiblat perusahaan teknologi. Ketua Amvesindo Edward Chamdani melihat jika SPAC dapat diterapkan di Indonesia, sebenarnya ini tak jauh beda dengan praktik reverse listing (back door listing) namun dengan jaminan biaya dan proses yang jauh lebih murah.
“Yang sering ditakutkan saat reverse listing adalah cangkang perusahaan tersebut tahu-tahu ada masalah pajak atau hukum. Sementara kalau SPAC sudah dijamin bersih karena masih baru. Dari perusahaan yang mau di-merger-kan dengan SPAC juga bisa pilih sponsor mana yang ia suka, yang bisa berikan value dan dana yang cukup,” kata Edward saat dihubungi DailySocial.
Sisi minusnya juga berlaku bagi founder, karena mereka harus melepas sebagian persen saham dan dijual dengan harga lebih murah dari harga pasar.
Praktik DCS sendiri banyak dilirik di Amerika Serikat. Tercatat, sebanyak 26 dari 134 perusahaan go public pada tahun 2018, 25 dari 112 perusahaan baru yang terdaftar pada tahun 2019, dan 32 dari 165 perusahaan yang baru terdaftar pada tahun 2020 mengadopsi DCS.
Fakta tersebut membuat bursa di negara lain seperti Hong Kong, Singapura, dan Shanghai termotivasi melakukan pelonggaran aturan agar bursanya jadi lebih menarik, khususnya perusahaan teknologi. Apalagi Hong Kong sebelumnya telah kehilangan saat Alibaba dan perusahaan besar lainnya berpaling dan memilih go public di New York.
Edward menjelaskan pihaknya bakal sangat mengapresiasi langkah BEI bila praktik DCS dapat diimplementasi di Indonesia karena ini adalah terobosan baru. Di mata investor, DCS bukan barang asing karena tak jauh berbeda dengan saham preferen saat investor menandatangani perjanjian pemegang saham yang diterbitkan perusahaan saat rights issue.
Pemegang saham preferen (preferred share) juga punya hak suara yang lebih tinggi daripada saham biasa (common share), kendati praktik ini kurang umum di Indonesia.
Kehadiran DCS, bagi para founder startup teknologi, sangat bermakna karena dalam perjalanan startup kemungkinan besar sudah melakukan berbagai rangkaian pendanaan yang menyebabkan sahamnya kian terkikis.
Saat menjadi perusahaan publik, DSC berfungsi untuk meyakinkan para investor bahwa di bawah kontrolnya perusahaan dapat mencapai visi dan misi tertentu dalam jangka panjang. Meski founder tersebut secara teknis sahamnya lebih sedikit, tapi hak suaranya lebih besar daripada saham biasa.
“Kalau bursa bisa menerapkan ini, akan jadi hal positif karena rata-rata perusahaan teknologi itu di-drive oleh sosok founder.”
Pada umumnya, saat go public, biasanya tolak ukur perusahaan dilihat dari laporan keuangan dan tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Perusahaan teknologi yang bersifat disruptif dan inovatif sangat dipengaruhi sosok founder untuk menguatkan visi misi perusahaannya yang masih abstrak.
Edward juga berharap dari sisi investor sendiri dapat lebih familiar ke depannya dengan karakteristik perusahaan teknologi yang tolak ukurnya bukan dilihat dari EBITDA, enterprise value (EV), atau price to earning ratio (PE). Jadi, meski profit and loss (P&L) masih negatif, tapi dengan mengerti roadmap dari perusahaan tersebut yang disruptif, pada 10-20 tahun mendatang akan menjadi perusahaan yang valuable.
“Contoh terdekatnya adalah Amazon saat go public, setiap pendapatannya selalu dialihkan menjadi aset, sehingga mereka tidak memberikan dividen kepada pemegang sahamnya. Dengan pengetahuan seperti itu, investor dapat berpikir jangka panjang, tidak kuartalan saja.”
Dibalik gemerlapnya janji yang ditawarkan DCS, selalu ada sisi negatif yang dikhawatirkan karena sistem kapitalisme ini menghilangkan unsur demokratis. Satu saham tidak lagi dinilai satu hak suara. Google bahkan memiliki tiga jenis saham, Class A, B, dan C. Tiap lembar saham Class B menguasai 10 hak suara diisi oleh orang-orang dalam Google. Sementara saham biasa Class A yang dijual ke publik hanya bernilai satu hak suara dan Class C tidak memiliki hak suara.
Akademisi dari Queen Mary University of London, Min Yan, menambahkan, perdebatan lainnya adalah mengenai pergeseran ke cara menahan risiko tata kelola terkait. Langkah-langkah seperti ketentuan penghentian dan pembatasan perbedaan hak suara dirancang untuk menahan kontrol yang berasal dari beberapa kelas saham dengan suara dan memberikan perlindungan wajib bagi pemegang saham dengan suara yang lebih rendah. Namun, tindakan ini, disengaja atau tidak, membahayakan nilai hak suara yang berbeda.
Tindakan tersebut ibarat pedang bermata dua, tidak hanya membantu mengurangi risiko tata kelola tetapi juga merusak isolasi pengontrol dari investor eksternal dan pengaruh pasar.
Minimnya antusiasme perusahaan teknologi untuk melantai di bursa Hong Kong, Singapura, dan Shanghai mencerminkan berkurangnya daya tarik struktur DCS ketika pengamanan wajib ketat. Situasi ini berbanding terbalik dengan Amerika Serikat, sebab di sana tidak ada tindakan pengamanan wajib seperti itu.
Yan juga menekankan, tindakan pengamanan utama, termasuk ketentuan akhir, perbedaan suara maksimum, dan standar tata kelola perusahaan yang ditingkatkan, adalah strategi ex ante. Mengingat objektif dari tindakan tersebut adalah mencegah potensi tidak akuntabilitas dan oportunisme manajerial dengan menahan kemampuan pemegang saham pengendali untuk menggunakan beberapa hak suara mereka.
Karena strategi ex ante yang cenderung ketat, terlalu mengekang kekuasaan pengontrol dan membahayakan manfaat hak suara tertimbang di bawah saham kelas ganda, maka tindakan ex post sebagai alternatif perlu dipertimbangkan.
Menurutnya, tidak ada otoritas keuangan di Asia yang memiliki rezim ex post yang efektif dan kuat. Keberhasilan DCS sebenarnya terletak pada penerimaan pasarnya. Jika sedikit atau tidak ada perusahaan yang memilih untuk go public dengan struktur saham seperti itu, mengizinkan pencatatan dua kelas akan sia-sia.
“Oleh karena itu, saya menyarankan eksplorasi mekanisme yang lebih ex post, seperti litigasi agregat melalui proses perwakilan yang memberikan solusi kepada pemegang saham yang dirugikan ketika masalah dari kurangnya akuntabilitas manajerial terjadi, untuk mengurangi ketergantungan pada kendala ex ante sebagai pengaman wajib,” tutupnya.
- Foto header: Depositphotos.com
Sign up for our
newsletter