5 Sorotan Utama Industri Startup di 2020
Mengupas "Startup Report 2019" bersama Editor in Chief DailySocial Amir Karimuddin di #SelasaStartup
DSResearch baru saja menerbitkan Startup Report 2019 yang didukung Bank Mandiri dan Vidio. Ada sejumlah paparan menarik yang terkumpul dalam laporan ini, mulai dari iklim investasi hingga peluang pertumbuhan dari bisnis vertikal baru di luar e-commerce dan ride-hailing.
Laporan ini juga menyoroti persaingan ketat startup online travel agent atau OTA yang saat ini masih dikuasai oleh startup unicorn Traveloka dengan valuasi $4,5 miliar di 2019 dan Tiket.com yang dicaplok oleh Blibli.com di tahun yang sama.
Kemudian, persaingan juga masih terjadi pada sektor veteran e-commerce. Saat ini lima posisi teratas e-commerce Indonesia diduduki oleh Shopee, Lazada, Tokopedia, Blibli,com, dan JD.id.
Untuk mengetahui paparan menarik selanjutnya, simak ulasan Editor in Chief DailySocial Amir Karimuddin pada sesi #SelasaStartup kali ini.
Gojek jadi "decacorn" dan potensi merger dengan Grab
Startup Report 2019 menyoroti status baru Gojek sebagai "decacorn" pertama di Indonesia, setelah menerima suntikan dana putaran seri F dari tiga perusahaan Mitsubishi. Dengan pendanaan baru ini, Gojek kini bernilai sebesar lebih dari $10 miliar.
Namun, valuasi ini juga belum tentu menjamin proyeksi profitabilitas Gojek ke depan. Apalagi jika Gojek berencana untuk menggunakan mayoritas pendanaan ini untuk mengakuisisi pasar secara eksponensial lewat strategi diskon atau promo harga.
Dalam hipotesisnya, Amir menilai Gojek belum dapat mengantongi untung meskipun startup ini sudah menjadi layanan top of mind bagi masyarakat Indonesia. Menurutnya, bisa jadi pendapatan yang diperoleh belum mampu menutup biaya yang dikeluarkan untuk mengakuisisi pasar.
Padahal, layanan ride-hailing di Indonesia cuma didominasi dua pemain, yakni Gojek dan Grab. Kondisi duopoli tak serta merta membuat kedua startup ini meraih untung. Contoh paling relevan adalah kasus duopoli Uber dan Grab di Singapura. Meski ujung-ujungnya merger juga, toh untungnya belum signifikan.
"Di level maturity ini, investor sudah mulai minta return ke LP, mereka harus cari cara untuk exit. Jika caranya lewat IPO, salah satu yang dikejar adalah profitabilitas. Untuk mencapainya, mungkin ya, melalui monopoli. Tidak ada persaingan, mereka bisa menentukan value yang ditargetkan," jelasnya.
Namun, tambahnya, perlu digarisbawahi bahwa aksi monopoli belum tentu membuat pelayanan pelanggan menjadi lebih baik. Pelanggan dinilai tidak punya bargaining power karena tidak ada pilihan. Jika ada kelanjutan "cerita" dari situasi duopoli tersebut, Amir menilai para stakeholder perlu melihat sekop yang lebih luas, tak hanya bisnis tapi juga regulasi.
Angin segar iklim investasi startup 2019
Sorotan selanjutnya adalah iklim investasi startup di Indonesia di sepanjang 2019. Startup Report 2019 mencatat ada 113 transaksi yang diumumkan ke publik dengan total nilai sebesar $2,95 miliar. Jumlah transaksi ini jauh lebih besar dari tahun 2017 (67 transaksi) dan 2018 (71 transaksi).
Yang menarik, jumlah transaksi pendanaan seri A naik dua kali lipat sebanyak 31 transaksi dibandingkan 2018 sebanyak 15 transaksi. Dari sisi kontribusi nilai, Gojek "memakan" lebih dari separuhnya dengan suntikan $2 miliar. Sisanya tak sampai $1 miliar dibagi ke 112 transaksi lain.
"Tahun 2019 memberikan angin segar bagi para pemain industri yang sudah mulai mature. Artinya, mulai banyak VC yang masuk ke later stage karena mereka sudah menyiapkan 'anak VC' lain untuk main di stage di bawahnya," ujar Amir.
Jika dirinci dari bisnis vertikal, financial menjadi sektor terbanyak yang menerima pendanaan. Kemudian diikuti oleh layanan e-commerce, on-demand, dan SaaS.
"Meski sektor ini kurang seksi karena B2B, tapi SaaS memiliki potensi pertumbuhan yang bagus karena ada jaminan revenue lebih baik dibanding layanan yang masuk ke pasar ritel," ucapnya.
'Seleksi alam' industri startup di 2020
Amir memperkirakan bakal ada sejumlah startup bakal mendulang pertumbuhan bisnis luar biasa dikarenakan pandemi COVID-19. Sebaliknya, sejumlah startup juga bakal menghadapi cobaan besar akibat wabah ini. Yang sudah pasti adalah startup di sektor online travel agent (OTA) dan turunannya.
Situasi saat ini dinilai dapat menjadi 'seleksi alam' bagi startup apapun. Untuk melewati krisis ini, leadership menjadi hal yang patut dimiliki oleh pemimpin startup. Mereka perlu menyikapi sejumlah hal dengan cepat.
"Kalau ada startup yang tidak bisa melihat kondisi keuangan dalam setahun ke depan, mungkin sulit bagi mereka untuk bertahan. Tapi, startup yang tetap produktif, mampu mempertahankan layanan di situasi sekarang, dan dapat beradaptasi dengan penerapan WFH bisa bertahan ke depan. Situasi ini jauh lebih sulit dibandingkan krisis ekonomi yang lain," tuturnya.
3 sektor yang bakal curi perhatian di 2020
Lebih rinci perihal prediksi di atas, Amir memperkirakan ada tiga vertikal bisnis startup yang bakal mencuri perhatian di tahun 2020, yakni pendidikan, kesehatan, dan pertanian. Pemicu terbesarnya adalah pandemi COVID-19 yang bakal mendongkrak pertumbuhan luar biasa.
Ambil contoh startup edtech Ruangguru yang bekerja sama dengan operator Telkomsel untuk menggratiskan layanannya. Startup ini panen traction karena pemerintah meliburkan sekolah dan perkuliahan.
Kemudian, startup agritech yang mencoba memberikan solusi dari hulu ke hilir. Salah satu startup yang mengakomodasi hal ini adalah TaniHub yang memiliki anak usaha TaniFund dan TaniSupply. Sektor agritech tentu menarik bagi pasar Indonesia sebagai negara agraris. Dengan situasi seperti ini, permintaan layanan e-groceries tentu akan meningkat.
Terakhir adalah healthtech. Situasi saat ini mewajibkan masyarakat Indonesia untuk menomorsatukan kesehatan. Tak heran apabila layanan healthtech yang didominasi Halodoc (67,7%) dan Alodokter (28,5%) bakal mendapatkan traction tinggi.
"Belum lagi bicara layanan turunannya, seperti insurtech. Ada banyak pemain baru yang menawarkan produk inovatif, terutama berkaitan micro insurance," tambah Amir.
Test case bagi startup edtech
Masih berkaitan dengan pandemi. Amir juga menyoroti penuh tentang bagaimana situasi ini dapat menjadi ajang pembuktian layanan edukasi online yang selama ini digencarkan oleh startup edtech seperti Ruangguru, Zenius, dan Quipper.
"Suka tidak suka, pandemi COVID-19 dapat menjadi jawaban apakah solusi yang diterapkan platform teknologi pendidikan benar-benar sesuai kebutuhan masyarakat, terutama di segmen grassroot. Selain itu, inisiasi sejumlah startup untuk menggratiskan layanan turut mendorong adopsi menjadi lebih besar," katanya.
Krisis kesehatan global ini juga dinilai dapat mengubah cara belajar-mengajar masyarakat Indonesia ke depan, di mana solusi edtech bisa jadi jawabannya. Hal ini karena selama ini Indonesia belum melihat urgensi dari adopsi edtech dan e-learning hanya menjadi 'suplemen' pembelajaran.
"Dengan kondisi sekolah [dan kampus] ditutup, ini akan menjadi test case menarik apakah mereka siap untuk menjadi platform primer, tidak hanya suplemen. Kita akan lihat sepanjang tahun ini," tutupnya.
Sign up for our
newsletter