"Startup Mindset" Tetap Jadi Faktor Penting Penarik Talenta
Bagaimana startup besar mengakomodasi pergeseran kultur ketika perusahaan terus berkembang dan "layer" baru terus tercipta
Dalam sebuah survei di Amerika Serikat disebutkan, 1 dari 3 milenial saat ini memilih untuk bekerja di startup dibandingkan korporasi besar. Selain menawarkan fasilitas yang super fun, startup kerap memberikan kebebasan pegawai dalam hal pemilihan dress code, jam kerja fleksibel, dan pilihan remote working.
Selain faktor di atas, startup dianggap menawarkan suasana kerja yang dinamis, kesempatan untuk menyuarakan ide, kontribusi secara individu secara bebas, dan kemudahan untuk melancarkan pekerjaan tanpa adanya batasan birokrasi dan struktural manajemen yang kaku.
Fleksibilitas yang ditawarkan memunculkan peluang untuk maju dan kesempatan untuk meningkatkan jenjang karier mereka dengan cepat. Di sisi lain, konsep karier korporasi biasanya memiliki jalur yang lebih kaku dan proses yang panjang dan berliku.
Meskipun demikian, seiring dengan perkembangan perusahaan, bibit birokrasi menyeruak. Mereka yang memiliki ribuan karyawan dan memiliki status unicorn atau centaur terlihat mulai meninggalkan esensi atau cita rasa khas startup dan mulai beroperasi seperti korporasi.
Kultur startup masih diminati
Meskipun menikmati fasilitas lengkap dan memberikan kesempatan untuk banyak belajar, beberapa testimoni pegawai atau mantan pegawai startup unicorn mengklaim perusahaan sebesar itu makin terlihat meninggalkan esensi startup dan mulai menerapkan sistem bekerja ala korporasi.
"Minusnya dari bekerja dengan startup besar adalah manajemen sudah mulai mengarah ke korporasi sehingga semakin banyak layer untuk approval dan kontribusi individual mulai tidak terasa dan cenderung terlihat, walaupun perusahaan tetap mengapresiasi pekerjaan setiap karyawannya," kata seorang mantan pegawai Gojek, yang memilih tidak disebutkan namanya, kepada DailySocial.
Saat ini ia memilih untuk bekerja di startup yang masih dalam skala kecil dan masih merintis untuk menjadi besar. Ia mengklaim startup tersebut masih mengedepankan flat hierarchy, sehingga tidak ada senioritas dan semua orang bisa memberikan pendapat, ide, dan kontribusi kepada perusahaan.
"Selain itu, kontribusi individu kepada perusahaan lebih terlihat dan terasa jika berada di startup kecil karena jumlah karyawan yang masih sedikit. Banyak yang masih bisa di-explore sehingga kita bisa belajar hal baru lebih banyak," lanjutnya.
Tinneke, yang bekerja di Block 71, memberikan pendapat yang berbeda. Menurutnya, banyak talenta digital yang masih ingin menikmati suasana kerja dinamis dengan mengedepankan mental startup dalam keseharian mereka.
Jika startup tidak mampu menerapkan konsep work-life balance, perusahaan bisa mengakomodir konsep work-life integration, yaitu kebebasan bagi pegawai menikmati pekerjaan yang mereka lakukan dengn tidak melarang pegawai bersenang-senang di luar jam kerja. Pegawai dianjurkan pula untuk menjalankan hobi mereka, apalagi yang berkaitan dengan passion mereka di komunitas dan dunia startup.
"Perusahaan kami masih menerapkan esensi startup hingga saat ini. Khususnya, startup terkenal dengan gaya kerja yang cepat dan tidak bertele-tele dan ini merupakan kultur perusahaan kami yang belum berubah hingga sekarang. Kami selalu menanyakan diri sendiri what’s new, what’s exciting sehingga kami selalu tertantang untuk membuat inovasi produk ataupun cara baru dalam bekerja." kata Tinneke.
Hal serupa diterapkan manajemen UangTeman. Diklaim UangTeman masih menerapkan semangat perusahaan startup karena kultur perusahaannya masih sangat cair. Meskipun tetap ada jalur koordinasi formal dengan team leader, pegawai juga memungkinkan untuk berdiskusi secara informal dengan siapapun, termasuk dengan pimpinan perusahaan.
"Di UangTeman, manajemen sangat memperhatikan produktivitas karyawan dalam bekerja. Tuntutan kerja yang dinamis dalam startup diimbangi dengan disediakannya fasilitas penunjang yang memadai, termasuk fasilitas hiburan seperti gaming room, meja biliar, karaoke room, hingga sleeping pod. Fasilitas itu bisa dimanfaatkan kapanpun dibutuhkan oleh karyawan untuk bisa menyelesaikan pekerjaan sesuai tenggat waktu," kata Dimas, pegawai UangTeman.
Sementara menurut Yunnie, yang saat ini bekerja di AnyMind Group, sebuah perusahaan teknologi asal Jepang yang beroperasi di Indonesia, pegawai diberikan kesempatan untuk berinisiatif, terutama untuk perkembangan perusahaan dan setiap individu di dalamnya. Melalui proses ini, pegawai belajar banyak untuk bertanggung jawab atas kebebasan yang diberikan dan perusahaan selalu mendukung setiap inisiatif yang diambil agar bisa menghasilkan output yang sesuai.
"Saya percaya dengan struktur yang terorganisir di perusahaan berada di tahap yang tepat untuk itu, di mana perusahaan yang masih memiliki 'startup mindset' mendorong pegawai untuk berkembang. Berkembang bukan hanya berarti dalam jumlah atau angka, tapi juga bisa mengantarkan value di setiap prosesnya."
Arahan startup unicorn
Bagi Bukalapak, konsep work-life balance menjadi bentuk implementasi yang bertujuan menunjang pertumbuhan tanpa meninggalkan esensi dan semangat bekerja di perusahaan startup.
Chief of Talent Bukalapak Bagus Harimawan mengatakan:
"Kami percaya bahwa work-life balance penting dijaga oleh perusahaan agar tetap dapat mempertahankan dan meningkatkan produktivitas karyawan. Pada dasarnya, work-life balance tidak hanya menjadi tanggung jawab dari perusahaan maupun karyawan, tapi juga proses kolaborasi antara perusahaan dan pegawai untuk menciptakan keseimbangan pada lingkup ruang kerja. Perusahaan dapat memberikan dukungan demi terciptanya hal ini melalui fasilitas yang dapat menunjang hal tersebut."
Ia melanjutkan, "Bukalapak melihat talenta sebagai aset yang sangat penting. Hal ini yang mendasari prinsip kami bahwa talenta di Bukalapak harus memiliki agility mindset dan skill set untuk dapat menyesuaikan kebutuhan dan menghadapi tantangan bisnis agar dapat terus berinovasi menghasilkan produk / fitur yang menjawab kebutuhan para pengguna Bukalapak dan lebih luas lagi, memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat Indonesia."
Sementara itu, menurut CHRO Gojek Monica Oudang, meskipun telah berkembang semakin besar, Gojek mengklaim tetap menerapkan bottom-up initiative. Perusahaan berupaya mendorong tim untuk mengeluarkan ide-ide, sedangkan pemimpin bertugas mengayomi, memberikan insight dan arahan, dan mendorong adanya inovasi yang berkesinambungan.
Disinggung apakah Gojek sebagai perusahaan teknologi sudah mulai menerapkan manajemen ala korporasi dan meninggalkan kultur startup, Monica menyebutkan, Gojek percaya bahwa budaya perusahaan itu didorong oleh kepemimpinan. Perusahaan mendorong pemimpin untuk merangkul timnya, mendorong tim untuk tidak takut berbuat salah, dan berani bertanggung jawab atas kesalahan.
Monica berujar:
"Salah satu nilai perusahaan yang kami bangun adalah be fast and fearless, yang bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi siapapun dalam berinovasi dan berkontribusi namun demi kepentingan serta kemajuan organisasi."
- Amir Karimuddin berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Sign up for our
newsletter