Startup Quick Commerce “Bananas” Resmi Tutup, Segera Pivot ke Bisnis Baru
CEO Bananas Mario Gaw menyampaikan, meski tutup ia akan mempertahankan sejumlah karyawannya untuk pivot ke bisnis baru
Startup quick commerce Bananas mengumumkan akan tutup layanan e-grocery setelah resmi beroperasi selama 10 bulan. Kegagalan menemukan unit ekonomi yang cocok jadi penyebab utama diambilnya keputusan tersebut.
Kepada DailySocial.id, Co-founder & CEO Bananas Mario Gaw menyampaikan, meski tutup ia akan mempertahankan sejumlah karyawannya untuk pivot ke bisnis baru yang benar-benar berfokus pada menyelesaikan masalah dengan unit ekonomi yang lebih baik. “Totally new [bisnis] focusing on a pain point with better unit economics,” ucapnya.
Dalam pengumuman yang disampaikan perusahaan di media sosial, perusahaan mengucapkan rasa terima kasih kepada mitra dan pemasok utama yang telah mendukung hadirnya layanan e-grocery dari Bananas untuk melayani para konsumen. Namun, perusahaan mengakui setelah beroperasi selama berbulan-bulan, sembari terus bereksperimen dengan berbagai bagian bisnis, tidak menemukan bagaimana dapat menciptakan unit ekonomi yang dapat bekerja.
“Dengan dukungan luar biasa dari investor kami, kami telah memutuskan untuk memanfaatkan runway yang tersisa untuk membangun sesuatu yang lebih baik,” tulis pengumuman tersebut.
Lebih lanjut disampaikan, berkaitan dengan itu manajemen akan menghentikan layanan e-grocery setelah selesai menjual semua stok dengan diskon yang signifikan. Perusahaan juga memastikan semua talentanya yang terkena dampak dapat segera mendapat tempat baru selama masa transisi ini, dengan memanfaatkan jaringan dan kolega di industri.
“Ini hanya perpisahan sementara dari tim di balik Bananas. Kami yakin bahwa masa-masa sulit ini hanya akan menempa orang-orang di dalamnya untuk menjadi lebih baik dan lebih kuat di masa depan,” tutup pengumuman tersebut.
Saat awal debut, Bananas telah didukung oleh sejumlah investor, seperti East Ventures, SMDV, Arise, dan Y Combinator. Total dana yang diperoleh sebesar $1,5 juta.
Tantangan di quick commerce
Awalnya Bananas memosisikan diri sebagai quick commerce untuk konsumen middle to high. Kalangan ini didefinisikan punya gaya hidup sibuk, seperti profesional dan orang tua karier yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Mereka juga bukan tipikal yang oportunis yang selalu disokong dengan diskon atau cashback.
“Kami melihat segmen ini masih sangat baru, mereka malas menghabiskan waktu di jalan, belum lagi harus antre di supermarket dan angkut belanjaannya yang berat itu. Angle kami adalah mengincar mereka, bukan yang harus dipancing dengan promo,” kata Mario saat interview dalam sesi #SelasaStartup pada September lalu.
Ia pun mengakui bahwa tantangan di quick commerce ini begitu besar karena menyatukan seluruh kerumitan dalam operasionalnya. Misalnya, harus bangun dark store, mengurus inventaris, sourcing barang di lokasi mana yang laku mana yang tidak, ini baru sebagian kecil saja.
“Jadi semua fungsi dan lini itu susah. Pun juga dari marketing untuk akuisisi user di Pondok Indah dan Kelapa Gading mungkin lebih mudah bikin event di mall. Tapi belum tentu di lokasi lain sama karena beda gaya hidup dan kebiasaan.”
Di tambah lagi, dengan kenaikan harga BBM, otomatis membuat Bananas harus putar otak untuk tetap menekan pengeluaran di tengah perang bisnis ritel yang marginnya terkenal tipis. Solusi yang kini tengah diusahakan adalah mengembangkan algoritma agar sistem pengantaran dapat dilakukan dalam satu batch untuk satu kendaraan sekali jalan untuk satu area.
Sebelumnya, Dropezy juga mengambil langkah serupa dengan pivot ke bisnis yang benar-benar baru di luar e-grocery. Kompetitor terdekat Dropezy dan Bananas, yang bergerak di vertikal sama hanya menyisakan Astro yang masih beroperasi.
Astro mulai mengembangkan produk private label, dinamai Astro Goods. Sejauh ini, produk yang sudah dirilis dari makanan ringan, makanan segar, paket siap masak, hingga kerajinan tangan. Selanjutnya, Astro Kitchen untuk produk makanan dan minuman siap santap. Disebutkan, perusahaan memiliki lebih dari 40 dark store yang terbesar di Jabodetabek.
HappyFresh juga sempat berhenti, namun kembali beroperasi setelah terima dana segar berbentuk debt dari Genesis, InnoVen, dan Mars. Ketiganya merupakan modal ventura yang berfokus pada pendanaan berbasis utang (debt).
Sign up for our
newsletter