Perjalanan The Able Art, Bisnis dengan Misi Sosial yang Optimis Bangkit Pasca Pandemi
Begini kisah The Able Art dalam melalui masa pandemi dengan bantuan digitalisasi.
Seperti yang kita ketahui, pandemi memang berdampak kepada sebagian besar bisnis. Terutama mereka yang penjualannya tidak sepenuhnya mengandalkan platform penjualan online, seperti The Able Art.
The Able Art adalah sebuah bisnis berbasis social enterprise yang mereproduksi lukisan para seniman difabel menjadi produk fashion, seperti pouch, tote bag, dan scarf. Sebagai bisnis di bidang seni yang memiliki social value, The Able Art mengandalkan platform digital dan pameran offline sebagai sarana penjualan.
Lalu, bagaimana nasib The Able Art saat dan pasca pandemi? Apa yang membuatnya bertahan hingga saat ini? Simak perjalanan penuh pembelajaran The Able Art yang dibagikan oleh Tommy, Founder The Able Art, berikut ini.
Terinspirasi dari Tayangan “Melukis dengan Hati” Kick Andy
The Able Art merupakan sebuah ide bisnis yang datang setelah Tommy melihat program Kick Andy dengan tema “Melukis dengan Hati”.
Pada tayangan tersebut, Bapak Sadikin Pard dan Winda, seniman pelukis difabel, menjadi narasumbernya. Dari situ, muncul keprihatinan Tommy terhadap kondisi para seniman difabel di Indonesia yang juga menjadi awal perjalanan The Able Art.
Setelah itu, Tommy melakukan riset serta berdiskusi dengan Bapak Sadikin Pard di Malang. Setelah ia yakin dengan rencananya, Tommy pun melepaskan karirnya di bidang IT untuk fokus mendirikan The Able Art dan meningkatkan kesejahteraan para seniman difabel.
Kemudian, pada 3 Desember 2007, The Able Art resmi berdiri dan beroperasi hingga sekarang dengan total 7 seniman dan 1 sanggar lukis per tahun ini.
Memulai dengan Zero Knowledge di Bidang Fashion
Berangkat dari latar belakang IT, Tommy memulai The Able Art dengan nol pengetahuan pada bidang fashion,seni, dan retail. Fakta ini, diungkapkan oleh Tommy, membuat perjalanan The Able Art bak roller coaster karena perlu melakukan banyak trial and error.
"Perjalanan TAA bukan perjalanan yang mulus. Perjalanan kami seperti roller coaster. (Kami) memulai dengan zero knowledge tentang fashion, lukisan, dan bisnis retail karena background saya IT. (Hal ini) membuat awalan TAA seperti meraba-raba dan banyak melakukan trial and error baik di sisi produksi, penjualan, dan partnership dengan seniman," ujar Tommy.
Meski begitu, pada tahun 2018, akhirnya The Able Art menemukan konsistensinya setelah mendapatkan kesempatan inkubasi di Instellar Incubator untuk social enterprise yang juga membawa The Able Art memenangkan beberapa kejuaraan e-commerce.
"Pada tahun 2018, kami mendapatkan kesempatan inkubasi di Instellar inkubator untuk social enterprise. Dari situ kami mulai menemukan konsistensi baik di produksi dan membawa kami menjadi Top 100 Blibli The Big Start 2018, dilanjutkan dengan menjadi juara 3 di Tokopedia MAKERFEST Nasional 2018," lanjutnya.
Tidak berhenti sampai di situ, The Able Art kemudian mendapatkan kesempatan berharga untuk bisa diwawancarai oleh Andy F. Noya di program yang mengilhami bisnisnya, yakni Kick Andy. Sejak saat itu, penjualan The Able Art, baik online maupun offline, meningkat.
Menyisihkan Profit untuk Seniman Pemula
Tidak hanya fokus dalam menghasilkan profit melalui penjualan online dan offline, The Able Art juga memiliki misi untuk mendukung dan melatih seniman-seniman pemula.
Misi tersebut diwujudkan The Able Art dengan menyisihkan 5% dari profit untuk menyediakan alat lukis guna para seniman pemula berlatih.
Selain didukung dalam bentuk peralatan lukis, para seniman pemula juga diberikan bimbingan dan masukan dari para seniman-seniman senior The Able Art dan guru-guru sanggar lukis.
“Untuk seniman pemula, kami menyisihkan 5% dari profit kami untuk support alat lukis seperti cat dan kanvas untuk mereka berlatih, dan kami juga memberikan bimbingan dan masukan untuk mereka melalui seniman-seniman yang sudah senior dan guru sanggar lukis yang menjadi partner kami,” jelas Tommy.
Perjalanan Bangkit Pasca Pandemi
Penjualan Menurun Drastis saat Pandemi Covid-19
Badai pandemi Covid-19 diketahui menumbangkan banyak usaha. Meskipun penjualan sempat menurut drastis akibat tidak adanya event-eventoffline, tapi The Able Art berhasil survive selama 2 tahun terakhir ini.
"Sejak badai Covid-19 di Maret 2020 melanda, kami mengalami penurunan penjualan yang drastis karena event-eventoffline tidak bisa dilaksanakan dan ekonomi tidak menentu. Setelah survive dua tahun, kami siap dan sangat yakin bisa bangkit dan lompat lebih tinggi lagi daripada tahun-tahun sebelumnya," kata Tommy.
Menata Ulang Strategi Penjualan
Sejak tahun 2017 hingga awal tahun 2020, The Able Art aktif dalam menggunakan platform-platformonline, seperti WhatsApp, media sosial Instagram, dan e-commerceTokopedia, sebagai sarana berjualan.
Diakui oleh Tommy, penggunaan platform-platform tersebut cukup efektif dan menghasilkan bertambahnya penjualan.
“Platform yang kami gunakan antara lain melalui WA, IG dan tokopedia untuk promosi dan penjualan. So far, penjualan bertambah dari tahun 2017 sampai 2020 awal.”
Tapi, sayangnya, sejak pandemi, penjualan menurun secara drastis, sehingga Tommy dan tim perlu menata strategi baru agar penjualan produk The Able Art kembali konsisten.
Tekad Menjadi Salah Satu Kunci untuk Bertahan
Memulai bisnis di bidang fashion, seni, dan retail dari nol memang bukanlah sesuatu yang mudah. Meski terlihat mulus dan indah, tapi nyatanya banyak kesulitan yang dihadapi oleh The Able Art sebagai bisnis berbasis social enterprise.
Tommy menjelaskan bahwa kesulitan yang dihadapi seringkali datang ketika melakukan penjualan online. Ketika berjualan online, sulit bagi The Able Art menonjolkan social value yang dimilikinya.
“Kesulitannya lebih ke arah saat menjual online. Kami tidak bisa menonjolkan social value yang kami miliki dan buyer cenderung cari product yang lebih murah.”
Meskipun begitu, kesulitan-kesulitan tersebut tidak menjadi alasan The Able Art untuk menghentikan niat baiknya. Tekad, visi, dan misinya sejak awal, yang ingin berperan untuk bisa mendukung para seniman difabel, menjadi alasan utama The Able Art bisa bertahan sampai sekarang.
Merambah Pasar B2B hingga NFT
Ketika berbicara soal inovasi, Tommy menjelaskan bahwa The Able Art melakukan inovasi pada beberapa hal, salah satunya produk. The Able Art kini telah memiliki lebih banyak jenis produk jika dibandingkan saat pertama kali berdiri.
Kemudian, The Able Art juga mulai menjalin hubungan dan berdiskusi dengan perusahaan enterprise sebagai langkah nyata masuknya ke ranah B2B dari yang sebelumnya hanya fokus kepada B2C.
“Kami mulai masuk ke ranah B2B dari yang sebelumnya hanya B2C, dimana kami banyak berdiskusi dengan perusahaan enterprise untuk bisa berperan dalam ‘giving back to society’,” katanya.
Tidak hanya itu, The Able Art kini juga mulai merambah NFT sebagai platform untuk menjual lukisan digital.
Berpesan untuk Para Pegiat Usaha Lain di Luar Sana
Sejak pandemi, keputusan untuk go digital sudah bukan merupakan pilihan lagi, melainkan suatu keharusan. Meskipun untuk The Able Art peran offline belum bisa ditinggalkan karena dinilai lebih efektif untuk menonjolkan social value, namun Tommy tetap mengakui tanpa platform digital bisnis akan sulit untuk berkembang.
“Tanpa digitalisasi, bisnis kita akan sulit untuk berkembang karena market sekarang lebih besar digital walaupun peran offline juga belum bisa sepenuhnya ditinggal, terutama untuk bisnis yang memiliki social value yang membutuhkan tatap muka diskusi untuk menjelaskan value-nya.”
Maka dari itu, Tommy berpesan kepada pelaku bisnis di luar sana untuk mulai go digital. Entah dengan cara belajar sendiri atau merekrut talenta muda yang lebih paham dunia digital untuk membantu mengembangkan bisnis.
Meskipun banyak kesulitan yang dihadapi, terutama dalam menyampaikan social value-nya, The Able Art tetap semangat untuk terus mewujudkan misinya dalam memperjuangkan kesejahteraan seniman difabel dan memperkenalkan karya mereka ke dunia yang lebih luas. Tentunya dengan bantuan digitalisasi.
Sign up for our
newsletter